Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Hersa Aranti Bangun Sadari, Media Edukasi bagi Generasi Melek Mental

Intinya sih...
  • Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental, terutama bagi generasi muda, meningkat secara signifikan.
  • Platform psikoedukasi di media sosial memberikan ruang aman untuk mendapatkan pengetahuan dan dukungan emosional terkait kesehatan mental.
  • Sadari adalah platform online yang menyediakan konten reflektif dan informatif serta layanan berbasis komunitas untuk kesehatan mental.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental, mengalami peningkatan yang signifikan, terlebih bagi generasi muda. Kualitas kesejahteraan jiwa yang terus tumbuh, memantik munculnya platfom psikoedukasi di berbagai channel media sosial. 

Di tengah tantangan kehidupan modern, platform daring yang berfokus pada topik kesehatan mental menawarkan ruang aman bagi individu untuk mendapatkan pengetahuan serta dukungan emosional. Tentunya, layanan semacam ini membentuk ekosistem yang lebih inklusif dan suportif bagi mereka yang tengah berjuang. 

Dengan memanfaatkan teknologi dan pendekatan berbasis data, Hersa Aranti menginisiasi platform bertajuk "Sadari". Hersa yang juga berprofesi sebagai psikolog klinis, berbagi dengan IDN Times melalui wawancara eksklusif pada Sabtu (24/4/2025) tentang perjalanannya membangun Sadari. 

1. Mengenal Sadari, platform seputar kesehatan mental yang hadirkan konten psikoedukasi berbasis data dan riset

Sadari menjadi platform online yang hadir dengan pendekatan edukatif melalui kanal media sosial. Layanan ini menyuguhkan konten reflektif dan informatif untuk topik kesehatan mental, spesifiknya mengenali dan mengembangkan diri. 

Sadari telah berdiri sejak 2020. Aktivitas dan layanan yang ditawarkan berbasis komunitas, diperuntukan bagi masyarakat umum dan profesional di bidang psikologi. Sadari menyelenggarakan forum diskusi, layanan konseling, serta psikoedukasi berbasis data melalui media sosial Instagram. 

Hal ini dijelaskan oleh Hersa kepada IDN Times, "Sadari Psychological Health Care and Development Center adalah penyedia layanan kesehatan mental, termasuk counseling, psikoterapi, assessment, workshop, dan seminar. Terus juga sektor psikoedukasi yang diberikan oleh psikolog berlisensi dan juga mental health enthusiast."

Kehadiran Sadari turut berkontribusi dalam memperluas akses terhadap layanan kesehatan mental di Indonesia. Hal ini menjadi upaya kolektif untuk menjaga keseimbangan jiwa masyarakat.

Hersa menerangkan keunggulan Sadari, "Pertama, kami itu berbasis komunitas di mana kami punya komunitas untuk masyarakat secara umum atau masyarakat luas yang mau belajar tentang kesehatan mental, yang mau dapat update tentang berita kesehatan mental terkini. Juga ada komunitas praktisi, di mana praktisi ini isinya ada psikolog, counselor, ada psikiater juga tergabung. Kami secara reguler juga membuat forum-forum diskusi, pembahasan kasus, sehingga kami bisa terus update dengan perkembangan dunia kesehatan mental saat ini, bisa bertukar pikiran, dan sebagai profesional bisa terus mengasah kompetensi dan skill kami sebagai pemberi layanan kesehatan mental."

Lonjakan platform daring berkaitan dengan kesehatan mental, membawa angin segar bagi masyarakat. Akses yang mudah dan praktis memungkinan berbagai elemen terhubung dengan cepat. Di sisi lain, fenomena ini dapat membuka celah potensi kekeliruan dalam penanganan isu yang kompleks dan sensitif. 

Menghindari konten viral yang tak bertanggung jawab, Hersa menyampaikan langkah yang diambil oleh Sadari dalam meminimalisir risiko tersebut. Evidence based, riset, dan pandangan profesional jadi kunci untuk mempertahankan kualitas materi dari konten psikoedukasi oleh Sadari. 

"Sadari ini berbasis data dalam memberikan intervensi atau layanan itu selalu berbasis evidence-based, berbasis dengan evidence atau research yang ada, dan penemuan dan teori terkini juga. Kemudian segala hal yang didiskusikan di dalam sesi itu ada pencatatannya. Jadi, di awal itu ada assessment sehingga nantinya kita bisa lihat sebelum sesi sama misalnya setelah beberapa kali sesi, itu perubahannya seperti apa. Ada data kuantitatif terkait dengan state psikologi seseorang dan hal-hal yang dibahas di sesi, perencanaan ke depan, progress itu juga ada pendataan dan pencatatannya yang di-share ke klien. Klien ini bisa tetap in touch dengan progress yang ada, harapannya bisa terus berproses," ujar Hersa. 

Sadari memberikan layanan berupa sesi psikologis yang di dalamnya terdapat assesment, observasi, wawancara, kemudian psikoterapi. Semuanya disesuaikan dengan kebutuhan individu. Psikolog yang tergabung dalam komunitas secara reguler, turut berdiskusi untuk terus memberikan inisiatif yang bisa meningkatkan mutu layanan.

"Sosial media @sadari_diri ini untuk masyarakat umum, di mana di dalamnya ada konten-konten psikoedukasi tentang psikologi. Itu yang membuat psikolog-psikolog di Sadari. Kemudian juga sosial media namanya @sadari__academy yang diperuntukkan untuk praktisi di bidang kesehatan mental. Di dalamnya, kami biasanya membagikan riset-riset terkini tentang perkembangan dunia kesehatan mental, kemudian ada jadwal-jadwal forum diskusi untuk akhirnya kita bisa terus sharing, terus membantu satu sama lain juga untuk perjalanan sebagai praktisi kesehatan mental," tambah Hersa. 

2. Sejak kecil telah tertarik dengan interaksi antar manusia, jadi dorongan Hersa membangun platform kesehatan mental

Perjalanan Hersa membangun layanan kesehatan mental, didasari oleh keinginannya memberikan kebermanfaatan secara lebih luas pada masyarakat. Melalui keahliannya di ranah psikologi, Hersa kemudian mendirikan Sadari sebagai sarana kesehatan mental yang dapat menjangkau masyarakat secara lebih luas.

Hersa mendapatkan gelar Sarjana Psikologi dari Universitas Indonesia. Dari perguruan tinggi yang sama, ia meraih predikat Master of Clinical Psychology, kemudian membangun karier profesional di bidang yang selaras. 

Ditanya soal alasan menggeluti bidang psikologi, khususnya kesehatan mental, Hersa menyampaikan, "Kalau saya sendiri sebenarnya, ini perjalanan yang cukup pribadi karena dari awal, mungkin bisa dibilang dari kecil, saya lumayan tertarik sama manusia. Dari dulu kalau ikut acara keluarga, selalu wondering kenapa ada orang yang tingkah lakunya kayak gini, tapi kakak sama adiknya beda, sepupunya beda lagi. Karakteristiknya macam-macam. Masalahnya macam-macam Jadi, dari dulu lumayan tertarik ke dunia manusia dan ilmu yang mempelajari kehidupan, dinamika manusia itu kan Psikologi. Jadi, di situ saya mulai belajar tentang psikologi."

Ketertarikannya terhadap interaksi antar manusia telah ditunjukan sejak kecil. Melalui pengamatan sehari-hari, serta rasa ingin tahu yang tinggi, membawa Ia pada dunia psikologi. Hal tersebut juga yang mengantarkannya menjadi co founder dan CEO Sadari untuk membantu pengembangan diri bagi banyak orang.

"Saya sebagai orang yang suka menginisiasi hal baru, suka membangun hal baru, baik itu program, acara, dan sebagainya, akhirnya waktu itu ngobrol dengan partner saya untuk bikin inisiatif berupa platform di mana di dalamnya kita bisa banyak menginisiasi hal baru, bisa bikin acara, bisa bikin webinar, bisa kasih banyak layanan. Menurut saya, itu merupakan perjalanan yang bisa (mewadahi) saya menjadi praktisi secara maksimal, memberikan kontribusi, dan menjadi perjalanan yang berwarna juga. Akhirnya, tercetuslah ide untuk membuat platform layanan kesehatan mental itu," papar Hersa. 

3. Tantangan membangun platform mental health di tengah konten viral yang kurang bertanggung jawab

Dalam membangun layanan berbasis psikologi, Hersa menemukan sejumlah tantangan, terlebih berkaitan dengan bisnis model yang diterapkan. Menganalisis keterkaitan antara produk market yang sesuai kebutuhan, tanpa melanggar kaidah dan ethical code sebagai psikolog, dinilai cukup menantang untuknya.

"Tantangan yang menurut saya tantangan terbesar, kalau boleh pinjem istilah bisnis, sebenarnya tantangannya adalah menemukan produk marketnya. Market kita dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia, di mana masyarakat Indonesia ini sangat dinamis. Kebutuhannya cepat berubah, preferensinya cepat berubah, dan masih variatif juga terbilang. Udah ada kelompok-kelompok yang melek tentang kesehatan mental, namun ada juga yang stigmanya masih kuat tentang kesehatan mental," ujarnya.

"Jadi, tantangannya itu gimana mengidentifikasi, saat ini, tren masyarakat Indonesia seperti apa, perubahannya bagaimana, kebutuhannya seperti apa, dan beradaptasi terhadap setiap perubahan itu. Di sini, kami cukup mem-value gimana caranya untuk beradaptasi, namun tetap sesuai ethical code sebagai psikolog, tetap sesuai dengan teori riset dan ilmu-ilmu yang memang sudah valid," tambahnya.

Sayangnya, kecepatan akses media sosial turut berpotensi menyebarkan informasi yang memperkuat stigma atau self-diagnosis keliru. Konten-konten viral yang menyederhanakan diagnosis psikologis, berisiko menyesatkan publik. Hersa menyadari hal tersebut, sehingga menekankan bahwa Sadari berupaya meminimalisir narasi yang tidak tepat. 

"Masyarakat Indonesia suka konten-konten yang, let's say, gak lengkap. Misalnya, edukasi tentang gangguan tertentu, yang akhirnya jadi viral, tapi mungkin sebenarnya ada kekeliruan di situ atau informasinya kurang lengkap. Jadi, banyak informasi yang sebenarnya keliru dan tersebar. Di situ, kami sebenarnya ingin menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia, preferensi masyarakat Indonesia sesuai kaidah dan ethical code sebagai psikolog," jelas dia. 

4. Pedang bermata dua dari kesehatan mental di Indonesia, kesehatan meningkat tapi juga kerap melakukan self-diagnosis

Berkembangnya kesadaran akan kesejahteraan jiwa di Indonesia, memunculkan aspek negatif dan positif. Banyak individu mulai sadar dengan berbagai jenis gangguan mental serta menimbulkan empati yang besar, baik bagi diri sendiri maupun orang di sekitar. 

Hersa berbagi perspektifnya, "Terkait dengan isu kesehatan mental di Indonesia, dengan adanya sosial media, masyarakat Indonesia tuh jadi memang lumayan melek. Banyak masyarakat Indonesia yang melek dengan isu-isu kesehatan mental, khususnya mungkin istilah-istilah gangguan. Contohnya ADHD, depresi, anxiety disorder, panic disorder."

Sayangnya, merebaknya pandangan seputar mental health di Indonesia turut memantik tantangan tersendiri, terutama bagi profesional. Masyarakat dengan mudah melakukan diagnosa mandiri, bahkan berdasarkan sedikit informasi yang dimiliki. 

"Challenge tambahan nih, kadang jadinya ada yang self-diagnose, memberikan diagnosa atas diri sendiri, ataupun akhirnya jadinya tersugesti dengan gejala-gejala ini. Sehingga dengan meleknya (kesadaran akan mental health), memang kadang ada porsi yang jadinya tuh perlu disesuaikan lagi atau mungkin direm supaya dalam menanggapi informasi tentang kesehatan mental, bisa lebih bijak juga. Bisa dengan cara yang akhirnya justru membantu diri sendiri, bukan akhirnya malah menyulitkan, bikin tambah pikiran. Itu mungkin tren yang agak terlihat tuh saat ini dengan sosial media," terang Hersa.

5. Hersa berharap orang-orang bisa menormalisasi gangguan kesehatan mental

ilustrasi menjaga kesehatan mental (pexels.com/Mikael Blomkvist)
ilustrasi menjaga kesehatan mental (pexels.com/Mikael Blomkvist)

Kesenjangan pengetahuan terkait kesehatan mental menjadi salah satu latar belakang hadirnya platform Sadari. Layanan ini tidak hanya membantu meningkatkan pemahaman akan kesehatan mental, namun juga mendekatkan akses terhadap profesional.

"Kalau tujuan akhir dari Sadari, sebenarnya tuh ingin menjadi partner bagi masyarakat Indonesia dalam perjalanan pengembangan dirinya. Di mana dia bisa menjadi pribadi yang bisa menghadapi berbagai tantangan yang menyertai dalam kehidupan, menyadari segala potensi diri yang dimiliki, sehingga nantinya bisa melakukan aktualisasi diri dan juga ujung-ujungnya bisa memiliki kehidupan yang bermakna gitu," kata Hersa saat ditanya goals dari platform yang tengah dikembangkannya.

Mengingat Sadari memiliki layanan yang cukup luas, mulai dari menangani anak usia dini hingga orang dewasa, Hersa berharap dapat menyebarkan kebermanfaatan secara lebih menyeluruh. Dengan hadirnya Sadari, masyarakat diarahkan agar memiliki kehidupan yang lebih bermakna. 

"Kita gak bosan-bosan memberikan psikoedukasi di setiap kesempatan yang kami miliki, baik itu di ruang sesi, di platform kesehatan mental, di platform kita pribadi, terus lewat seminar. Sadari juga kerjasama dengan beberapa sekolah untuk memberikan edukasi, bahkan dari early age, dari usia-usia SD sudah mulai diperkenalkan dengan istilah kesehatan mental," kata Hersa. 

Lebih jauh, Hersa berharap masyarakat Indonesia dapat memprioritaskan kesehatan mental, sebagaimana kesehatan fisik. Salah satu outcome yang diinginkan dari usaha kolektif ini adalah pemutusan stigma di masyarakat. 

"Untuk masyarakat Indonesia, harapannya bisa memprioritaskan kesehatan mental selayaknya kesehatan fisik dan bisa menormalisasi diskusi mengenai topik-topik yang berkaitan dengan kesehatan mental. Dalam arti menghapus stigma-stigma yang ada tentang pasien yang pergi ke psikolog, tentang orang-orang yang punya gangguan kesehatan mental, dan sebagainya. Rasanya kalau lingkungan masyarakat Indonesia seperti itu disambut dengan tenaga praktisi kesehatan mental yang juga berkualitas, harapannya menjadi Indonesia yang lebih baik," ujar Hersa optimis.  

Hersa juga melontarkan berbagai harapannya terhadap isu kesehatan mental di Indonesia, khususnya bagi praktisi yang berkarier di ranah tersebut.

"Bicara harapan sih, banyak banget ya. Tapi kalau terkait dalam konteks Sadari sendiri, untuk praktisi kesehatan mental, harapannya bisa menjadi praktisi yang terus aktif dalam memberikan edukasi, memberikan layanan kesehatan mental, bisa mengembangkan diri, mengasah kompetensi profesional juga, dan tentunya bisa memberikan mutu layanan yang maksimal bagi masyarakat Indonesia," paparnya.

6. Harapan Hersa untuk perempuan Indonesia

ilustrasi teman yang star syndrome (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)
ilustrasi teman yang star syndrome (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)

Bicara soal perempuan, Hersa memiliki pandangan personal terkait tantangan dan makna perempuan berkualitas. Sebagai seorang perempuan, Ia turut memahami apa yang tengah dialami dan tantangan yang kerap dihadapi oleh sesama.   

"Kadang banyak perempuan yang akhirnya meng-underestimate kemampuannya sendiri. Larut dalam insecurity yang dimiliki, larut dalam feedback negatif yang dia dapatkan, kadang harsh atau bersikap keras ke diri sendiri, mengotak-ngotakkan diri sendiri, seperti kotak-kotak yang ada di masyarakat contohnya. Jadi, kadang itu us against ourself gitu. Kayak diri kita versus diri kita yang akhirnya justru banyak, jadi menghalangi jalan kita sendiri untuk akhirnya bisa tumbuh maksimal gitu. Jadi banyak yang akhirnya melimitasi diri sendiri dan ini hal yang saya temukan di berbagai sektor," ujarnya. 

Ia juga berbagi maknanya menjadi perempuan berkualitas. Harapannya dapat menginspirasi dan membuka pandangan lebih banyak orang. 

"Menurut saya, perempuan berkualitas itu perempuan yang mau mencari tahu tentang potensi dirinya, baik lewat pendidikan, mengenyam pendidikan, memperbanyak pengalaman, dan melakukan aktivitas-aktivitas lain. Setelah mengetahui potensi itu, dia bisa memaksimalkan potensi itu untuk bisa bermanfaat buat dirinya sendiri dan buat orang lain. Dan ini tuh gak harus dalam skala besar sih menurut saya. Skala kecil dimulai dari keluarga sendiri, dari lingkungan sekitar itu tuh udah keren banget gitu. Untuk, balik lagi, dia bisa ada self-actualization ya disebutnya, untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya yang akhirnya bisa bermanfaat buat dia dan orang lain," tutupnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dina Salma
Febriyanti Revitasari
Dina Salma
EditorDina Salma
Follow Us