Papua Future Project, Optimisme Anak Daerah Membangun Negeri

Bukan lagi katanya, Indonesia memang negeri yang indah. Hamparan lautannya dipenuhi pulau-pulau memesona. Pernak-pernik suku dan budayanya pun turut menghiasi setiap sudut wilayahnya.
Namun siapa sangka, ternyata kekayaan ini tak membuat Indonesia selalu istimewa. Justru menciptakan kesenjangan yang begitu nyata. Kamu pernah berjalan-jalan ke Timur Indonesia? Alamnya benar-benar mengagumkan, bukan? Sayangnya banyak saudara-saudara kita di sana yang tak bersekolah, tak mengenal baca dan aksara.
Kalau sudah begitu, bagaimana mereka akan menjaga dan melestarikan alam dan budayanya? Tak ada pena untuk menuliskan sejarah, tak ada buku untuk menggali pengetahuannya. Jika ada pun, mereka tak tahu harus berbuat apa, sebab tak pernah diajarkan untuk menggunakannya.
1. Mengenal Pulau Mansinam, sebuah pulau kecil di Papua Barat

Pulau Mansinam adalah sebuah pulau kecil di ujung timur Indonesia yang terletak tak jauh dari kota Manokwari, ibu kota Propinsi Papua Barat. Pulau ini hanya berjarak sekitar 6 kilometer, atau jika ditempuh dengan perahu, membutuhkan waktu sekitar 15 hingga 20 menit.
Tak hanya dekat dengan perkotaan, pulau ini juga memiliki kekayaan alam dan bahari yang menakjubkan, tak kalah dengan Raja Ampat. Masyarakat di Pulau Mansinam hampir sepenuhnya mengandalkan kekayaan alamnya untuk keberlangsungan hidup. Bahkan, tanah dan laut sudah dianggap seperti ayah-ibu dalam adat mereka. Ya, masyarakat di sini begitu lekat dengan alam dan adat istiadat budayanya.
Ada yang lebih menarik lagi. Meski terdengar kurang populer bagi beberapa orang, ternyata Pulau Mansinam menyimpan sejarah besar bagi peradaban masyarakat Papua.
Di sinilah titik pertama kali Injil masuk di Bumi Cenderawasih, yang kemudian membuat masyarakatnya jadi mengenal agama. Karena nilai sejarah tersebut, Pulau Mansinam akhirnya dijadikan sebagai ikon wisata religi bagi kabupaten Manokwari di mana setiap tanggal 5 Desember, yang merupakan hari peringatan pengabaran Injil, ribuan masyarakat Papua akan berbondong-bondong menuju ke pulau ini untuk merayakannya.
2. Kesenjangan pendidikan di Pulau Mansinam

Sayangnya, di balik nilai sejarah dan eksotisme alam yang dimiliki Pulau Mansinam, tak membuatnya istimewa dalam sektor pendidikan. Masih banyak anak yang tak bersekolah, tidak belajar, tak bisa membaca, menulis, berhitung, apalagi mengenal teknologi.
Pulau yang tak jauh dari perkotaan dan pusat pemerintahan ini hanya memiliki 1 sekolah dasar (SD). Itu pun tak termanfaatkan dengan maksimal dan efektif. Sekolah PAUD yang dulunya dibangun pun terbengkalai karena sulitnya akses menuju lokasi.
Setiap harinya, anak-anak di Pulau Mansinam hanya belajar sekitar 2 jam. Terkadang, mereka juga tidak belajar jika guru-gurunya tidak datang --- misalnya karena terkendala cuaca saat menyeberang ke pulau atau untuk alasan lain.
Tak hanya perkara akses dan fasilitas, Pulau Mansinam juga dihadapkan dengan kualitas sumber daya pengajar yang masih terbilang rendah. Rata-rata, guru di sini belum bisa mengikuti perkembangan dan penerapan kurikulum terbaru yang ditetapkan poleh Pusat. Bagaimana mungkin, mereka saja seolah juga 'terlupakan'.
Kondisi ini terlihat begitu kontras dengan kehidupan di Kota Manokwari yang jaraknya tak jauh. Padahal jika kamu berdiri di tepian pantai Mansinam, kamu sudah bisa menyaksikan kemegahan kota Manokwari dengan dekat --- tak perlu jauh mata memandang.
3. Optimisme anak daerah membangun desa

Pemuda itu bernama Jordy, Brischo Jordy Dudi Padatu nama panjangnya. Ia lahir dan besar di Papua. Beruntung, ia adalah satu dari segelintir anak asli Papua yang mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi.
Pada Maret 2022 lalu, ia merayakan kelulusan sarjananya dari President University dengan menyandang gelar Bachelor of Arts, dari program studi International Relations and Affairs. Beberapa kali, ia juga berkesempatan bergabung dalam organisasi-organisasi internasional. Salah satunya adalah terpilih sebagai Honorary Youth Ambassador Indonesia for New Zealand pada tahun 2017.
Kini, ia juga berkesempatan menjadi partner potensial UNICEF (United Nations Children's Fund) untuk Indonesia. Ia terlibat langsung dalam pengembangan program-program kesehatan dan pembangunan kualitas anak di wilayah Papua.
Selama kurang lebih 22 tahun lahir dan tumbuh di Papua, ia mengakui bukanlah perjalanan hidup yang mudah. Ia merasakan betul bagaimana ketimpangan kehidupan di Papua terjadi, terutama di sektor pendidikan.
"Jadi, saya selama 22 tahun lebih hidup di Papua itu bukan hal yang mudah. Mulai terbatasnya akses pendidikan, profesionalitas guru, akses pendidikan yang kurang baik. Dan itu menggetarkan hati saya. Kira-kira kita harus menunggu sampai kapan lagi (untuk membuat perubahan dalam bidang pendidikan). Kalau kita cuma berharap pada pemerintah atau pejabat-pejabat untuk membuat perubahan itu pasti prosesnya lama. Karena tugas mereka bukan hanya mengurus di bidang pendidikan saja," tuturnya menjelaskan keresahannya terhadap kesenjangan pendidikan di Papua.
Fakta-fakta ini membuatnya tak bisa hanya berpangku tangan. Berkat dan anugerah yang sudah didapatkan, juga harus menjadi berkat bagi anak-anak Papua lainnya. Ia percaya, akan ada jalan untuk mengurai kesenjangan yang dari waktu ke waktu seolah tak pernah ada perubahan.
Pada tahun 2020, saat pandemik COVID-19 merebak hebat di Indonesia, ia menyaksikan betapa memprihatinkan kondisi anak-anak di Papua, terlebih pendidikannya. Anak-anak dibiarkan tak belajar, tak ada rangkulan untuk bersekolah. Tentu saja, kebijakan belajar online bukan solusi bagi mereka yang masih rendah literasi, apalagi memahami teknologi.
Bagi Jordy, kondisi ini sangat menyayat hati. Disaat anak lain sudah merdeka belajar dan berkompetisi, anak-anak di Papua masih jauh dari jangkauan literasi.
"Bagaimana sih Indonesia mau maju, kalau dari pendidikannya saja belum inklusif, belum setara," tuturnya dalam wawancara virtual pada Sabtu (3/12/2022).
"Ketika di luar sana sudah berbondong-bondong bersaing di dunia Internasional, sedangkan teman-teman di Pulau Mansinam, di daerah-daerah kampung, masih stuck di permasalahan buta huruf," ia menambahkan.
4. Papua Future Project sebagai solusi kesenjangan pendidikan di Pulau Mansinam

Berangkat dari kekhawatiran-kekhawatiran tersebut, Jordy akhirnya mengajak beberapa temannya untuk mulai mengajar di Pulau Mansinam. Pada akhir 2020, ia pun menggagas sebuah program belajar yang diberi nama Papua Future Project (PFP).
Ia menyebut bahwa Papua Future Project adalah sebuah komunitas berbasis proyek untuk memberikan pendidikan yang lebih inklusif untuk anak-anak asli Papua (indigenous people) di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal), termasuk Pulau Mansinam.
"Nilai-nilai adat istiadat dan budaya (di Pulau Mansinam) tidak boleh hilang. Nah, bagaimana caranya? Yaitu dengan memberikan mereka pendidikan sehingga mereka bisa baca, bisa nulis. Supaya mereka bisa menulis apa yang mereka tahu tentang budayanya sehingga budaya itu tidak terkikis oleh zaman," ujar pendiri Papua Future Project tersebut.
Untuk mendukung inklusivitas pembelajaran yang dimaksudkan, ia memasukkan 3 program utama dalam Papua Future Project, yaitu:
- Bimbingan belajar intensif. Program ini dilaksanakan setiap satu minggu sekali pada hari Sabtu. Para relawan atau tenaga pengajar akan mendatangi Pulau Mansinam dan mengajar selama sekitar 2 hingga 3 jam.
- Literasi buku dan literasi keliling. Pendistribusian buku ke beberapa tempat di pelosok Papua secara bergantian. Program ini juga berkolaborasi dengan komunitas-komunitas setempat untuk membantu anak-anak membaca.
- Kolaborasi dengan UNICEF Indonesia dan Kementerian Kesehatan. Program ini ditujukan untuk memberi akses kesehatan bagi anak-anak di Papua. Kegiatannya meliputi pengenalan kesehatan dasar, seperti cara mencuci tangan dengan benar untuk mencegah penyakit; memperjuangkan hak-hak anak perempuan untuk bersekolah dan mencegah pernikahan usia dini; serta memberikan akses imunisasi.
Menyadari betul bagaimana keterbatasan belajar-mengajar di Papua, Jordy lebih memilih untuk menyusun kurikulum pembelajarannya sendiri, alih-alih mengikuti kurikulum dari Pusat. Mereka menyebutnya dengan 'kurikulum kontekstual' yang mengintegrasikan pembelajaran mata pelajaran di sekolah dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang berkembang di masyarakat.
Selain itu, Papua Future Project juga mengadopsi sistem pembelajaran asynchronous learning, yaitu pembelajaran daring secara tidak langsung. Dalam hal ini, para relawan pengajar akan membuat bahan ajar dalam bentuk video yang kemudian diputar pada sesi pembelajaran tatap muka yang dilakukan rutin setiap minggunya.
Nah, untuk membuat program belajar ini lebih tepat sasaran, PFP menggunakan metode yang disebut dengan adaptive learning. Metode ini dilakukan dengan penyusunan RPP (Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran) secara mandiri yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa di sana. Dengan begitu, program belajar ini bisa mengakomodasi ketertinggalan pendidikan anak-anak di Pulau Mansinam.
Sementara untuk mempermudah mengukur tercapainya program belajar, PFP membagi siswa ke dalam beberapa kelas sesuai kemampuan belajarnya. Berikut pembagiannya:
- Kelas kecil: untuk anak-anak yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung. Anak setingkat SMP yang belum bisa membaca dan menulis juga akan masuk ke dalam kelas kecil.
- Kelas menengah: untuk anak-anak yang sudah bisa membaca dan menulis. Pembelajaran seperti pengenalan lingkungan dan eksplorasi lainnya akan diberikan pada kelas menengah
- Kelas besar: pembelajaran yang difokuskan untuk persiapan masuk ke sekolah lanjutan (SMA). Dalam kelas ini, anak-anak diajarkan menggunakan teknologi tingkat dasar, seperti bagaimana cara mengetik menggunakan komputer dan lain sebagainya.
Untuk tetap menjaga semangat anak-anak belajar, PFP juga memiliki metodenya sendiri. Selain belajar literasi melalui metode 'papan tulis', PFP pun menerapkan metode 'belajar sambil bermain' yang mengasyikkan, seperti ular tangga edukasi, tanya jawab, atau permainan kartu.
5. Tantangan Papua Future Project

Sebagai kegiatan sukarela, Papua Future Project juga tak lepas dari pasang surut dalam membangun dan menjalankan programnya. Terutama terkait sumber daya manusia (pengajar) dan pendanaan.
Pada awal pembentukannya, Jordy sempat menyisihkan waktunya untuk bekerja di sebuah restoran sebagai barista dan server selama 2 hingga 3 bulan. Hal ini ia lakukan untuk mendapatkan modal tambahan mengembangkan PFP. Padahal, waktu itu ia juga sedang sibuk belajar menyelesaikan studinya.
Seiring perjalanannya, PFP juga tak lepas dari masalah yang sama. Hingga saat ini, PFP belum memiliki donatur tetap, hanya donatur online yang didapatkan dari media sosial. Bagi Jordy, tentu ini menjadi tantangan yang berat mengingat transportasi di Papua sangat mahal. Sementara untuk menjalankan PFP, ia harus menjangkau daerah-daerah pelosok.
Meski kini sudah memiliki tenaga relawan sebanyak 250 di seluruh Indonesia, program yang sudah berjalan sekitar 2 tahun ini terkadang juga masih sering kesulitan mendapatkan tenaga pengajar muda yang mau konsisten untuk mengajar di Papua. Pasalnya, akses dan waktu kerap menjadi alasannya.
Meski demikian, hambatan-hambatan yang datang tak sedikit pun membuat langkah Jordy dan kawan-kawan PFP terhenti. Justru, membuatnya semakin terasah untuk mencari solusi-solusi yang absah. Saat ini, mereka juga sedang fokus menyusun program-program baru untuk keberlangsungan PFP ke depannya.
Berkat kegigihan dan ketulusannya untuk "memerdekakan" literasi di ujung timur Indonesia, ia dan kawan-kawan di Papua Future Project akhirnya diganjar dengan penghargaan Semangat Astra Terpadu (SATU) Indonesia Award ke-13 di bidang pendidikan yang diselenggarakan oleh Astra Indonesia. Besar harapan Jordy, bisa menginspirasi banyak orang dari perjalanannya ini.
"Semoga kegiatan ini bisa memotivasi banyak anak muda, khususnya di Papua, untuk mau berkontribusi secara konsisten dalam ranah pendidikan dalam rangka memajukan peradaban anak-anak di Papua," pungkasnya.
Kita Satu Indonesia, mari bergerak bersama-sama mendobrak kesenjangan-kesenjangan yang masih berkembang subur di negeri yang katanya "Surga" ini. Bergandeng tangan, wujudkan mimpi bersama untuk menuju Bangkit Bersama untuk Indonesia. Tersenyumlah Indonesia.