6 Pitutur Luhur Jawa yang Bikin Hidup Gen Z Makin Tenang dan Bijak!

- Pitutur luhur Jawa mengajarkan kekuatan sejati bukan hanya soal keberanian dan ketegasan, tetapi juga tentang kelembutan dan kebijaksanaan.
- Memayu Hayuning Buwana mengajarkan bahwa hidup yang baik bukan hanya tentang kebahagiaan pribadi, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa memberikan manfaat bagi orang lain dan menjaga keseimbangan dunia.
- Jangan mudah terpukau dengan pencapaian orang lain di media sosial, jangan meratapi masa lalu, aja kagetan terhadap perubahan, dan jangan sombong dengan ilmu yang kita punya.
Di era digital yang serba cepat ini, hidup terasa makin penuh tantangan. Media sosial membuat kita selalu terpapar pencapaian orang lain, standar sukses terus berubah, dan ekspektasi masyarakat makin tinggi. Kadang, kita jadi gampang overthinking, merasa kurang, atau bahkan kewalahan menghadapi hidup.
Tapi tahukah kamu? Nenek moyang kita sudah punya banyak petuah bijak yang bisa dijadikan pegangan hidup, bahkan hingga sekarang. Pitutur luhur Jawa bukan sekadar kata-kata indah yang menjadi kearifan lokal, tapi juga mengandung filosofi dalam yang bisa bikin hidup kita lebih tenang, penuh makna, dan jauh dari stres.
Yuk, simak enam pitutur luhur Jawa yang ternyata relate banget buat Gen Z di zaman sekarang!
1. Sura dira jayanigrat, lebur dening pangestuti

Di dunia yang penuh persaingan ini, kita sering diajarkan bahwa untuk sukses, kita harus tegas, keras, dan selalu siap bertarung. Sejak kecil, kita mendengar bahwa hidup adalah perjuangan, bahwa hanya yang terkuat yang akan bertahan. Kita diajarkan untuk tidak mudah menyerah, menghadapi kritik dengan ketegasan, dan membalas tekanan dengan kekuatan yang sama besar. Namun, apakah benar menjadi kuat berarti harus selalu berhadapan dengan sikap keras dan agresif?
Pitutur ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukan hanya soal keberanian dan ketegasan, tetapi juga tentang kelembutan dan kebijaksanaan. Sura Dira Jayaningrat berarti segala bentuk keangkaramurkaan dan kekerasan, sedangkan Lebur Dening Pangastuti berarti semuanya bisa dilebur dengan kelembutan dan kebaikan hati. Ini mengingatkan kita bahwa bukan kekuatan fisik atau amarah yang menyelesaikan masalah, tetapi ketenangan, kesabaran, dan sikap penuh empati.
Misalnya, dalam menghadapi perbedaan pendapat, kita sering melihat orang saling berdebat di media sosial dengan penuh provokasi dan saling menjatuhkan. Padahal, bukankah lebih baik jika kita tetap tenang, mendengarkan dengan baik, dan merespons dengan kepala dingin? Dunia sudah terlalu bising dengan pertengkaran, dan menjadi pribadi yang lembut tapi tetap tegas adalah sebuah kekuatan yang langka.
Kelembutan bukan tanda kelemahan. Justru, butuh keberanian besar untuk tetap tenang di tengah badai, untuk tidak membalas kebencian dengan kebencian, dan untuk tetap memilih jalan yang penuh empati meskipun dunia terus memprovokasi kita untuk marah. Itulah kekuatan sejati yang diajarkan dalam pitutur ini—bahwa segala bentuk kejahatan, amarah, dan ketidakadilan bisa dilebur dengan kebijaksanaan dan kebaikan hati.
2. Memayu hayuning buwana, ambrasta dur hangkara

Di era sekarang, banyak orang berlomba-lomba mengejar kesuksesan. Kita diajarkan untuk memiliki mimpi besar, bekerja keras, dan mencapai sebanyak mungkin dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Namun, dalam perjalanan itu, sering kali kita lupa bahwa hidup ini bukan hanya tentang diri kita sendiri. Ada dunia yang lebih luas di luar sana, dengan manusia lain yang juga berjuang, serta alam yang terus memberikan kehidupan bagi kita.
Pitutur Memayu Hayuning Buwana mengajarkan bahwa hidup yang baik bukan hanya tentang kebahagiaan pribadi, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa memberikan manfaat bagi orang lain dan menjaga keseimbangan dunia. Sementara itu, Ambrasta dur Hangkara berarti menyingkirkan sifat tamak dan serakah yang bisa merusak harmoni kehidupan. Jika kita hanya fokus pada ambisi pribadi tanpa peduli pada orang lain atau lingkungan, maka kita bukan hanya merusak kehidupan orang lain, tetapi juga menanam benih kehancuran bagi diri sendiri.
Coba perhatikan bagaimana dunia modern berjalan. Banyak orang mengejar kesuksesan dengan segala cara, bahkan jika itu berarti merugikan orang lain atau mengorbankan lingkungan. Kita melihat bagaimana hutan-hutan ditebang demi kepentingan bisnis, bagaimana eksploitasi tenaga kerja terjadi di berbagai industri, dan bagaimana kompetisi sering kali menghilangkan rasa kemanusiaan. Tapi apakah benar kesuksesan yang sejati adalah yang dibangun di atas penderitaan orang lain atau kerusakan alam?
Sebagai generasi yang lebih sadar akan isu sosial dan lingkungan, kita bisa menerapkan nilai ini dalam banyak hal. Misalnya, dengan mengurangi konsumsi plastik, tidak buang sampah sembarangan, atau berkontribusi dalam gerakan sosial. Tidak harus dengan hal besar—sesederhana bersikap baik kepada orang lain, membantu teman yang kesulitan, atau menyebarkan energi positif juga bisa menjadi bentuk memayu hayuning buwana.
Karena pada akhirnya, hidup yang bermakna adalah yang tidak hanya baik untuk diri sendiri, tapi juga membawa kebaikan bagi dunia.
3. Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman

Pernah merasa iri melihat pencapaian orang lain di media sosial? Atau menyesal karena dulu gak mengambil kesempatan tertentu? Atau mungkin, sering terkejut dengan perubahan yang terjadi begitu cepat di hidupmu?
Di era media sosial, kita sering kagum melihat kehidupan orang lain. Pencapaian besar, liburan mewah, atau kesuksesan instan bisa membuat kita gumunan (terlalu heran). Padahal, apa yang tampak luar biasa belum tentu semudah itu di balik layar. Jangan mudah terpukau, karena setiap keberhasilan punya proses panjang yang tidak selalu terlihat.
Selain itu, kita juga sering terjebak dalam getunan (penyesalan). Menyesali keputusan yang sudah diambil hanya akan membuang energi. Hidup terus berjalan, dan setiap langkah, baik atau buruk, selalu membawa pelajaran. Daripada meratapi masa lalu, lebih baik fokus pada apa yang bisa diperbaiki ke depan.
Hidup juga penuh dengan perubahan yang serba cepat. Oleh karena itu, kita ditekankan untuk aja kagetan—jika terlalu kagetan, kita akan mudah panik dan sulit beradaptasi. Dunia tidak akan menunggu kita siap, jadi kita harus belajar menerima perubahan dengan kepala dingin.
Terakhir, yang tak kalah penting, aja aleman—jangan manja. Tidak semua hal akan berjalan sesuai keinginan kita, dan dunia tidak selalu memberikan kenyamanan. Jika sedikit kesulitan saja sudah membuat kita menyerah, kita akan sulit berkembang. Mental yang kuat dan sikap yang tenang adalah kunci untuk menghadapi hidup tanpa mudah goyah.
4. Aja keminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka

Di zaman serba informasi ini, banyak orang merasa paling tahu segalanya. Apalagi dengan adanya internet, kita bisa mencari segala jawaban dalam hitungan detik. Tapi, terlalu percaya diri tanpa mau belajar dari orang lain justru bisa membuat kita tersesat.
Pitutur ini mengingatkan kita untuk tidak sombong dengan ilmu yang kita punya. Jangan merasa paling pintar (aja keminter), karena dunia ini penuh dengan hal yang belum kita ketahui. Seseorang yang terlalu percaya diri tanpa mau mendengar pendapat orang lain justru akan mudah keblinger atau salah arah. Sikap ini kerap kali dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak orang yang berpikir bahwa mereka selalu benar dan tidak mau menerima kritik. Mereka lebih suka berdebat daripada mendengarkan, lebih sibuk membuktikan diri daripada belajar. Akhirnya, mereka terjebak dalam kepercayaan yang salah atau bahkan menyesatkan diri sendiri. Orang yang benar-benar cerdas adalah mereka yang terbuka terhadap ilmu baru dan mau belajar dari siapa saja, bukan yang merasa sudah tahu segalanya.
Selain itu, pitutur ini juga mengajarkan kita untuk tidak cidra, yang berarti tidak berbuat curang atau berkhianat. Di dunia yang semakin kompetitif, godaan untuk mengambil jalan pintas semakin besar. Kita sering melihat orang-orang yang rela menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya—dari memanipulasi data, menyebar berita bohong, hingga mengkhianati kepercayaan orang lain.
Namun, cepat atau lambat, kebohongan dan kecurangan pasti akan membawa celaka. Mungkin seseorang bisa mendapatkan kesuksesan instan dengan cara yang licik, tetapi kebahagiaan dan ketenangan hidup tidak bisa dibeli dengan kebohongan. Kejujuran, integritas, dan kerendahan hati adalah kunci utama untuk hidup yang benar-benar bermakna.
5. Nerimo ing pandum

Di zaman sekarang, kita sering merasa tidak cukup. Tidak cukup sukses, tidak cukup kaya, tidak cukup diakui. Media sosial semakin
memperparah perasaan ini. Kita melihat orang-orang berbagi pencapaian mereka—teman yang baru saja lulus dengan predikat cum laude, rekan sebaya yang sudah punya bisnis sendiri, atau bahkan orang yang sekadar mengunggah gaya hidup mewahnya. Tanpa sadar, kita membandingkan hidup kita dengan mereka, bertanya-tanya: Kenapa aku belum bisa seperti itu? Apa yang salah dengan diriku?
Pitutur Nerimo Ing Pandum mengajarkan bahwa kunci kebahagiaan bukan terletak pada memiliki segalanya, tapi pada kemampuan kita untuk menerima apa yang sudah menjadi bagian kita dengan ikhlas. Bukan berarti kita harus pasrah dan berhenti berusaha, tetapi kita harus belajar untuk mensyukuri apa yang kita miliki, tanpa terus-menerus merasa kurang.
Bayangkan seperti ini: ada dua orang dengan pekerjaan yang sama, gaji yang sama, dan gaya hidup yang mirip. Yang satu selalu mengeluh karena merasa kurang sukses dibandingkan teman-temannya, sementara yang lain menikmati pekerjaannya, merasa cukup dengan yang ia punya, dan bersyukur atas setiap pencapaian kecil yang diraih. Siapa yang lebih bahagia? Tentu saja yang bisa nerimo, bukan?
Kadang, yang kita butuhkan bukanlah lebih banyak, tapi cukup. Kita tidak harus menjadi yang paling kaya, paling terkenal, atau paling sukses untuk bisa hidup tenang. Jika kita terus melihat hidup sebagai perlombaan tanpa akhir, kita hanya akan kelelahan mengejar sesuatu yang tidak ada habisnya.
Menerima hidup dengan ikhlas bukan berarti menyerah pada keadaan. Justru, ketika kita bisa bersyukur, kita jadi lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting. Kita bisa berusaha lebih baik tanpa terbebani tekanan harus selalu lebih dari orang lain. Kita bisa menikmati hidup tanpa dihantui rasa kurang.
Jadi, daripada sibuk membandingkan hidup dengan orang lain, kenapa tidak mulai melihat ke dalam diri sendiri? Apa saja hal yang sudah kita capai? Apa saja hal kecil yang bisa kita syukuri hari ini? Dengan hati yang lebih tenang dan lapang, kita bisa menemukan kebahagiaan yang sebenarnya—bukan dari pencapaian besar atau validasi orang lain, tetapi dari rasa cukup dalam diri kita sendiri.
6. Alon-alon waton kelakon

Di era serba cepat ini, kita sering merasa harus segera mencapai sesuatu. Semua orang berlomba-lomba untuk sukses muda, kaya sebelum umur 30, dan mencapai semua impian dalam waktu singkat. Media sosial semakin memperkuat tekanan ini—kita melihat orang lain seumuran sudah berhasil membangun bisnis, membeli rumah, atau bahkan berkeliling dunia, sementara kita masih berjuang mencari arah. Akibatnya, kita sering merasa tertinggal dan berpikir bahwa kalau tidak segera sukses, maka kita gagal.
Tapi kenyataannya, tidak semua hal bisa didapatkan dengan instan. Kesuksesan bukan hanya soal kecepatan, tapi juga soal ketahanan. Banyak orang yang terlalu terburu-buru dalam mengejar sesuatu akhirnya kehilangan arah. Mereka merasa burnout karena terlalu memaksakan diri, kecewa karena ekspektasinya tidak sesuai kenyataan, atau bahkan kehilangan semangat di tengah jalan.
Pitutur Alon-Alon Waton Kelakon mengajarkan bahwa lebih baik berjalan pelan tapi pasti, daripada tergesa-gesa tapi akhirnya gagal. Kesuksesan sejati bukan tentang siapa yang paling cepat mencapainya, tetapi siapa yang bisa bertahan. Daripada sibuk mengejar kecepatan dan membandingkan diri dengan orang lain, lebih baik kita fokus pada konsistensi. Orang yang sukses bukanlah mereka yang berlari paling cepat di awal, tetapi mereka yang tetap berjalan meski jalannya sulit dan panjang.
Banyak tokoh sukses yang membuktikan bahwa keberhasilan membutuhkan waktu dan proses. Kolonel Sanders, pendiri KFC, baru menemukan resep suksesnya di usia 60-an setelah mengalami banyak kegagalan. Oprah Winfrey dipecat dari pekerjaannya di usia muda sebelum akhirnya menjadi ikon di dunia media. Bahkan dalam budaya Jawa sendiri, para leluhur selalu mengajarkan bahwa sesuatu yang dibangun dengan sabar dan telaten akan lebih kokoh dibandingkan sesuatu yang didapatkan dengan cara instan.
Jadi, kalau kamu merasa tertinggal atau belum mencapai apa yang kamu impikan, jangan berkecil hati. Tidak semua orang memiliki jalur yang sama dalam hidup. Yang penting bukan seberapa cepat kita sampai, tetapi seberapa kuat kita bertahan dan menikmati setiap prosesnya. Karena pada akhirnya, yang berjalan dengan penuh kesabaran dan ketekunanlah yang akan benar-benar sampai pada tujuannya.
Pitutur luhur Jawa ini bukan sekadar nasihat kuno, tapi juga panduan hidup yang masih sangat relevan di era modern. Di tengah tekanan dan perubahan yang cepat, kebijaksanaan ini bisa membantu kita untuk tetap tenang, bersikap bijak, dan menjalani hidup dengan lebih seimbang.
Dari enam pitutur ini, mana yang paling relate dengan kehidupanmu? Yuk, share pendapatmu di kolom komentar!