Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Sinyal Kamu Punya Empati Berlebihan sampai Merugikan Diri Sendiri

curhat
illustrasi curhat (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
Intinya sih...
  • Empati berlebihan dapat merugikan diri sendiri
  • Mengorbankan waktu, merasa bersalah, emosi terpengaruh orang lain
  • Sulit mengatakan "Tidak", mengabaikan kebutuhan pribadi demi orang lain
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Memiliki empati adalah salah satu kualitas yang sangat berharga dalam kehidupan sosial. Dengan empati, seseorang mampu memahami dan merasakan emosi orang lain, sehingga interaksi terasa lebih hangat dan penuh pengertian. Namun, empati yang terlalu berlebihan justru dapat menjadi beban. Bukannya membantu, hal ini bisa membuat seseorang terjebak dalam kelelahan emosional hingga kehilangan keseimbangan hidup.

Empati yang berlebihan kerap membuat seseorang mengabaikan batasan diri. Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi menimbulkan stres, rasa tertekan, dan bahkan menurunkan kualitas hubungan. Menyadari sinyal sejak awal sangat penting agar bisa menjaga diri tetap sehat secara emosional. Berikut lima sinyal yang menandakan empati telah melampaui batas wajar dan mulai merugikan diri sendiri.

1. Selalu mengorbankan waktu untuk masalah orang lain

curhat
illustrasi curhat (pexels.com/Mikhail Nilov)

Jika hampir setiap waktu habis untuk mendengarkan atau membantu orang lain, ini bisa menjadi tanda empati yang berlebihan. Meski niatnya baik, mengorbankan waktu pribadi secara terus-menerus dapat mengganggu rutinitas dan prioritas hidup. Akibatnya, pekerjaan tertunda, waktu istirahat berkurang, dan tubuh mulai kelelahan. Kondisi ini sering terjadi karena sulit menolak permintaan bantuan, meskipun diri sendiri sebenarnya sedang membutuhkan waktu untuk pulih.

Ketika terlalu sering mengesampingkan kebutuhan pribadi, keseimbangan hidup akan terganggu. Hal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga memengaruhi kondisi mental. Memaksa diri untuk selalu siap membantu akan menimbulkan tekanan yang lama-kelamaan mengikis energi emosional. Padahal, memberikan ruang untuk diri sendiri juga penting agar bisa membantu orang lain dengan lebih sehat dan efektif.

2. Merasa bersalah jika tidak bisa membantu

merasa bersalah
illustrasi merasa bersalah (freepik.com/jcomp)

Salah satu ciri empati berlebihan adalah rasa bersalah yang muncul setiap kali tidak bisa membantu orang lain. Rasa bersalah ini sering kali muncul bahkan ketika situasinya berada di luar kendali. Misalnya, saat seseorang meminta bantuan di waktu yang tidak tepat, penolakan akan memicu pikiran negatif bahwa diri telah gagal menjadi teman yang baik. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan berlebih dan rasa tidak tenang.

Dalam jangka panjang, rasa bersalah ini bisa memicu kebiasaan mengabaikan batas pribadi. Seseorang mungkin memaksakan diri untuk terlibat dalam masalah orang lain hanya demi menghilangkan rasa bersalah tersebut. Sayangnya, ini justru membuat beban semakin berat dan memperparah kondisi emosional. Menyadari bahwa tidak semua masalah harus diambil alih adalah langkah penting untuk menjaga kesehatan mental.

3. Emosi mudah terpengaruh oleh perasaan orang lain

teman
illustrasi teman (pexels.com/Liza Summer)

Empati memang membuat seseorang peka terhadap perasaan orang lain, namun jika emosi terlalu mudah terbawa, itu bisa menjadi masalah. Ketika orang terdekat sedang sedih, suasana hati ikut terpuruk meski sebelumnya sedang baik-baik saja. Hal ini sering terjadi tanpa disadari dan membuat diri rentan mengalami fluktuasi emosi. Akibatnya, keseharian terganggu karena suasana hati terlalu bergantung pada kondisi emosional orang lain.

Keadaan ini bisa membuat seseorang kehilangan kendali atas emosi pribadi. Dalam hubungan jangka panjang, kondisi seperti ini menguras energi mental dan membuat kelelahan emosional lebih cepat datang. Meskipun peduli pada orang lain adalah hal baik, tetap penting menjaga jarak emosional yang sehat. Dengan begitu, bisa tetap membantu tanpa harus ikut tenggelam dalam kesedihan atau kemarahan orang lain.

4. Sulit mengatakan “Tidak”

ilustrasi menolak beban kerja (freepik.com/freepik)
ilustrasi menolak beban kerja (freepik.com/freepik)

Kesulitan untuk menolak permintaan orang lain adalah tanda umum empati yang berlebihan. Seseorang yang terlalu empatik sering merasa takut mengecewakan, sehingga memilih untuk selalu mengatakan “Iya” meskipun kondisinya tidak memungkinkan. Kebiasaan ini membuat beban semakin menumpuk dan waktu untuk diri sendiri semakin terbatas. Lambat laun, rasa lelah akan menjadi hal yang wajar dirasakan setiap hari.

Menolak bukan berarti tidak peduli, melainkan bentuk menjaga kesehatan diri agar tetap bisa hadir untuk orang lain di waktu yang tepat. Memaksakan diri untuk selalu menerima permintaan hanya akan menimbulkan ketegangan dan mengurangi kualitas hubungan. Belajar mengatakan “Tidak” dengan cara yang sopan dapat menjadi langkah awal untuk membangun batasan yang sehat.

5. Mengabaikan kebutuhan diri sendiri demi orang lain

ilustrasi burnout (freepik.com/DC Studio)
ilustrasi burnout (freepik.com/DC Studio)

Sinyal terakhir yang patut diwaspadai adalah kecenderungan mengabaikan kebutuhan pribadi demi memenuhi kebutuhan orang lain. Ini bisa berupa menunda makan, mengurangi waktu istirahat, atau bahkan melewatkan kesempatan penting demi membantu. Meskipun terdengar mulia, perilaku ini dapat memicu kelelahan fisik dan emosional dalam jangka panjang.

Jika terus dibiarkan, kebiasaan ini dapat menyebabkan burnout dan kehilangan semangat hidup. Empati yang sehat seharusnya berjalan seiring dengan perawatan diri. Menyisihkan waktu untuk memulihkan tenaga adalah langkah penting agar tetap mampu mendukung orang lain dengan maksimal. Menolong orang lain akan lebih berarti jika dilakukan dalam kondisi tubuh dan pikiran yang kuat.

Empati adalah kualitas yang indah, tetapi jika dibiarkan berlebihan, justru bisa menjadi pedang bermata dua. Menyadari sinyal sejak dini akan membantu menjaga kesehatan mental dan fisik. Mulailah menetapkan batas yang jelas, sehingga kepedulian pada orang lain tetap berjalan tanpa harus mengorbankan diri sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ernia Karina
EditorErnia Karina
Follow Us