Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Standar Sosial di Medsos Makin Tinggi, Generasi Muda Kian Tertekan?

ilustrasi cara cerdas pakai sosial media (unsplash.com/Walls.io)
ilustrasi cara cerdas pakai sosial media (unsplash.com/Walls.io)
Intinya sih...
  • Media sosial membangun standar sosial yang kurang realistis, bikin generasi muda tertekan
  • Curhat di medsos bisa jadi coping mechanism, tapi juga bisa bikin seseorang haus validasi
  • Citra diri generasi muda dipengaruhi oleh media sosial, psikolog sarankan untuk lebih memahami diri dan tak terbawa arus

Apakah kamu menyadari bahwa media sosial memengaruhi banyak aspek kehidupan seseorang? Lebih dari sekadar ruang berbagi momen, media sosial kini membentuk cara pandang seseorang terhadap dunia dan diri sendiri. Generasi muda, sebagai pengguna paling aktif, menjadi kelompok yang paling terdampak oleh arus digital ini.

Di balik kemudahan dan koneksi yang ditawarkan, media sosial menyimpan sisi gelap yang mungkin jarang disadari. Tekanan untuk tampil sempurna, kebutuhan akan validasi melalui jumlah likes dan komentar, hingga paparan terhadap standar hidup yang tidak realistis membuat generasi muda rentan mengalami gangguan kesehatan mental.

Menanggapi fenomena ini, psikolog klinis Hersa Arianti menyampaikan pandangannya dalam sebuah wawancara eksklusif pada Sabtu (24/4/2025). Sebagai founder Sadari, platform psikoedukasi berbasis data, Hersa menyoroti bagaimana media sosial bukan hanya memengaruhi persepsi diri, tetapi juga dapat mengusik kesehatan mental seseorang. Artikel ini akan mengulas lebih dalam bagaimana peran media sosial terhadap harga diri generasi muda, terlebih mereka yang menjadi haus validasi dan hidup berdasarkan standar yang tak sesuai.

1. Media sosial membangun standar sosial yang kurang realistis, bikin generasi muda tertekan

ilustrasi seseorang cemas soa body image (pexels.com/MART PRODUCTION)
ilustrasi seseorang cemas soa body image (pexels.com/MART PRODUCTION)

Media sosial memainkan peran besar dalam membentuk persepsi individu dengan menampilkan citra-citra ideal yang sering kali tidak mencerminkan realitas sebenarnya. Kesuksesan, ketenaran, hingga body image didefinisikan melalui standar yang tidak berdasar, namun kerap dipamerkan seolah itu adalah pencapaian wajar. Hal ini mendorong individu untuk mencari validasi melalui pencapaian serupa.

Sayangnya, standar sosial yang dibangun dari persepsi segelintir orang ini kemudian dijadikan tolak ukur umum yang digeneralisasi. Akibatnya, banyak individu merasa tertinggal, tidak cukup baik, atau bahkan gagal, hanya karena terus membandingkan diri dengan versi terbaik orang lain yang mereka lihat di layar ponsel.

Hersa menjelaskan, "Di era sosial media banyak terbangun ekspektasi-ekspektasi yang kurang realistis. Se-simpel dari segi body image misalnya, bahwa tubuh yang dianggap positif, yang mendapat like banyak itu adalah tubuh yang seperti ini misalnya. Atau kalau melihat di LinkedIn, orang ini kariernya tuh sukses banget berarti kehidupan tuh memang perlu sukses kayak gitu, misalnya. Jadi, ada ekspektasi-ekspektasi tertentu yang kadang tuh kurang manusiawi juga karena apa yang orang lihat di sosial media itu paling beberapa persen dari kehidupan aslinya gitu kan. Sehingga, ada ekspektasi yang kurang realistis dan ada pressure juga untuk bisa memenuhi ekspektasi tersebut".

"Pressure-pressure itu yang akhirnya bikin kepercayaan dirinya menurun, kemudian merasa kurang terus atau merasa frustrated karena mengejar sebuah ekspektasi yang akhirnya sebenarnya gak manusiawi dan gak realistis juga," tambahnya.

Ekspektasi yang terbentuk dari media sosial sering kali tidak realistis. Kita lupa bahwa yang ditampilkan hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan hidup seseorang. Akan tetapi, memiliki efek psikologis yang nyata, seperti kepercayaan diri menurun, terjebak dalam ambisi mengikuti kesuksesan orang lain, hingga mengalami frustasi karena berusaha mengejar gambaran hidup ideal milik orang lain, tanpa mengukur kemampuan pribadi. Hersa menekankan pentingnya melakukan reality check agar tak terpengaruh tren semacam ini.

Hersa menjelaskan bagaimana generasi muda dapat merespons isu ini demi kestabilan emosinya, "Penting banget untuk reality check, dalam arti kalau ada hal yang kita serap dari sosial media, sebagai manusia kan sebenarnya kita punya critical thinking dan kita bisa mencoba men-challenge itu. Sebenarnya seberapa mungkin sih terjadi di kehidupan nyata? Ada gak sih orang sekitar saya yang akhirnya kayak gini? Ini tuh sebuah persona yang realistis atau enggak sih? Jadi dalam menanggapi informasi-informasi yang ada di luar sana, penting banget untuk kita punya critical thinking. Gak menelan informasi itu bulat-bulat, tapi terus mungkin men-challenge, memperbanyak wawasan kita dengan misalnya jurnal-jurnal ilmiah, wawasan-wawasan yang sifatnya ilmiah juga tentang kesehatan mental. Jadi kita ada layer-nya gitu dalam mencerap informasi dari luar".

2. Curhat di medsos bisa jadi coping mechanism, tapi juga bisa bikin seseorang haus validasi

ilustrasi seseorang mencemaskan body image (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi seseorang mencemaskan body image (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Betul bahwa media sosial dimanfaatkan sebagai wadah bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri, membagikan momen bahagia maupun berbagi pencapaian pribadi. Aktivitas ini kerap menjadi coping mechanism yang membantu individu meregulasi perasaannya. Selama tidak melewati batas dan tetap dalam kendali, dampaknya bisa menjadi positif.

Hersa menanggapi fenomena generasi muda yang senang curhat di platform media sosialnya, "Kalau dari segi dampak sebenarnya akan tergantung pada masing-masing pribadinya. Ada orang yang akhirnya curhat di sosial media hanya untuk katarsis atau ngeluarin unek-unek dan that's it. Jadi dengan dia nulis misalnya dia nge-tweet hal tertentu atau nge-upload tulisan-tulisan curhatannya, itu kayak buang baggage yang dia selama ini simpan dan itu memang bentuk dari coping mechanism, untuk akhirnya meregulasi emosi dalam menghadapi permasalahannya. Kalau seperti itu biasanya sih efeknya positif-positif aja".

Di sisi lain, beberapa orang menjadikan sarana bercerita secara online sebagai media untuk mendapatkan validasi dan simpati dari lingkungan digital. Ketika respons dari audiens menjadi kebutuhan utama, regulasi emosi pun didapatkan secara eksternal. Ketergantungan terhadap respons orang lain bisa menjadi jebakan emosional yang merugikan. Saat tidak ada respons yang diharapkan, curhatan di media sosial bisa mengganggu nilai diri seseorang.

"Tapi ada juga yang tujuannya misalnya untuk mendapatkan respons-respons tertentu dari lingkungan atau yang tujuannya untuk akhirnya bisa mendapat simpati dari lingkungan yang akhirnya membuat dia jadinya ketergantungan dengan respons-respons lingkungannya dia. Itu secara jangka panjang mungkin kalau akhirnya dia curhat terus di satu titik gak ada yang respons, curhatan itu bisa jadi bumerang buat dia. Malah ada trigger tambahan yang membuat dia lebih kepikiran lagi dan cycle seperti itu, kebergantungan dengan orang lain itu, yang akhirnya justru bisa jadi negatif. Karena regulasi emosi dia akan tergantung sama orang lain yang mana kita sebenarnya gak bisa mengontrol orang lain itu," jelas Hersa.

3. Citra diri generasi muda dipengaruhi oleh media sosial, psikolog sarankan untuk lebih memahami diri dan tak terbawa arus

ilustrasi media sosial (unsplash.com/RobHampson)
ilustrasi media sosial (unsplash.com/RobHampson)

Individu yang terlalu menggantungkan persepsi diri pada respons eksternal jadi lebih mudah terbawa arus, nilai dirinya bergantung pada pendapat orang lain. Ketergantungan akan validasi eksternal yang didapatkan di media sosial tak hanya menganggu ketenangan batin, tapi juga menjauhkan individu dari jati dirinya.

"Betul, biasanya orang-orang membutuhkan validasi eksternal untuk menaikkan value dirinya. Saat dia mendapatkan likes, saat ada orang memberi feedback positif, itu akhirnya bisa membuat dia memandang dirinya dengan cara yang positif juga. Tapi memang secara jangka panjang dampaknya adalah selalu bergantung sama orang lain. Di mana kalau akhirnya dia dapat banyak likes berarti kan sebenarnya fine gitu ya, tapi kalau di masa-masa tertentu nggak ada likes nih, let's say sebenarnya karena sistem error, tapi dia menganggap itu sebagai wah ini saya lagi jelek, saya kayaknya salah untuk nge-post kayak gini," jelas Hersa.

Ia menambahkan, "Orang yang seperti ini jadinya sangat terbawa 'arus lingkungan', di mana kalau lingkungannya memberi feedback dia oke, kalau nggak dia jadinya down gitu. Nah ini tingkat ketergantungan yang akhirnya kurang sehat juga buat dia karena dia jadinya membutuhkan orang lain di saat kita gak bisa mengontrol orang lain".

Tanpa disadari, validasi eksternal ini perlahan membentuk persepsi diri seseorang, menempatkan harga diri pada penilaian orang luar. Ketergantungan ini membuat kita kehilangan koneksi dengan nilai-nilai pribadi, membuat seseorang kehilangan identitas personal karena berupaya menjadi orang lain. Hersa sampaikan, orang yang telah terjebak dalam siklus ini perlu lebih memahami diri sendiri.

"Untuk menghadapinya gimana, penting banget untuk dicari root cause-nya, kenapa akhirnya dia jadi sangat membutuhkan validasi eksternal. Contohnya, apakah ada isu-isu tertentu dari masa kecilnya, dari cara orangtua mendidiknya, cara dia menilai dirinya, dinamikannya itu seperti apa, untuk akhirnya kita tahu oke root cause-nya di sisi mana, dan jalan keluarnya tuh apa gitu. Dan ini biasanya bisa terjadi saat ada sesi dengan psikolog, karena kan ini sifatnya sangat personal dan sangat subjektif, jadi bisa beda-beda di tiap orang pengalaman apa yang mendasari dia untuk akhirnya sangat butuh validasi eksternal."

Sebagai solusi, Hersa menyarankan agar generasi muda mengidentifikasi mengapa memerlukan validasi eksternal. Ubah cara pandang dan perspektif dengan lebih mengenal pribadi masing-masing.

"Penting bagi kita meng-identify kenapa akhirnya kita membutuhkan itu. Apa yang kita cari sih dari validasi orang lain? Kalau yang kita cari adalah feedback positif misalnya, kita merasa lebih tenang saat ada feedback positif, penting banget untuk kita justru melatih memberikan feedback positif itu justru sumbernya dari diri kita sendiri. Jadi, apa yang kita butuhkan di orang lain, penting banget untuk mencari caranya gimana supaya kebutuhan itu bisa di-fulfill dari diri kita sendiri, supaya chance kita tergantung sama orang lain itu bisa menjadi terputus. Kita bisa merasa positif tanpa membutuhkan bantuan orang lain dan itu udah cukup dengan diri kita sendiri. Jadi, di-switch dari yang tadinya kita mencari external validation, menjadi kita mencari internal validation atau dari diri sendiri," tutup Hersa.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Muhammad Tarmizi Murdianto
EditorMuhammad Tarmizi Murdianto
Follow Us