5 Tekanan Sukses sebelum Usia 25 yang Bikin Gen Z Terbebani, Relate?

Di tengah arus informasi yang begitu cepat, Gen Z tumbuh dalam era yang serba terukur dan terlihat. Setiap pencapaian seolah harus dibagikan ke publik dan menjadi bahan perbandingan. Hal itu menciptakan tekanan besar untuk cepat sukses dan terlihat mapan sebelum usia 25.
Tekanan itu bisa datang dari mana saja, media sosial, keluarga, teman, bahkan dari standar ideal yang dibangun sendiri. Padahal, proses tumbuh setiap orang berbeda dan tidak selalu bisa dilihat dari luar. Lima hal berikut menjadi tekanan yang sering dirasakan Gen Z, meski jarang dibicarakan secara terbuka.
1. Harus sudah memiliki karier yang stabil

Banyak anak muda merasa bahwa karier harus segera dibangun dan mapan setelah lulus sekolah atau kuliah. Tekanan untuk cepat mendapatkan pekerjaan tetap dan terus naik jabatan bisa menjadi beban. Jika belum mencapai posisi yang dianggap ideal, sering muncul rasa tidak berharga atau tertinggal.
Sayangnya, kenyataan tidak selalu berjalan secepat ekspektasi. Dunia kerja penuh persaingan dan tidak semua orang langsung cocok dengan pekerjaan pertamanya. Sehingga wajar jika membutuhkan waktu untuk mencoba, gagal, pindah, dan akhirnya menemukan karier yang benar-benar sesuai.
2. Punya penghasilan tinggi di usia muda

Di media sosial, mudah ditemukan kisah anak muda yang sudah memiliki rumah, mobil, bahkan investasi besar. Meski inspiratif, cerita-cerita itu bisa menjadi sumber tekanan jika terus dibandingkan. Banyak Gen Z yang akhirnya merasa gaji atau penghasilannya tidak cukup, meskipun sebenarnya sudah realistis untuk tahap usianya.
Padahal, setiap orang memulai dari titik yang beragam. Sehingga keberhasilan finansial bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga berkaitan dengan keberlanjutan. Tidak apa-apa jika membutuhkan waktu untuk mencapai stabilitas ekonomi.
3. Harus terlihat produktif setiap saat

Budaya bekerja tanpa henti sering dijadikan standar keberhasilan masa kini. Gen Z merasa harus selalu sibuk hanya demi dianggap rajin dan produktif. Jika tidak sedang melakukan sesuatu yang produktif, maka muncul rasa bersalah seolah sedang menyia-nyiakan waktu.
Padahal, produktivitas tidak harus berarti sibuk secara terus-menerus. Tubuh dan pikiran juga butuh jeda untuk bisa bekerja secara sehat dan berkelanjutan. Menjaga ritme kerja yang seimbang justru bisa membawa hasil yang lebih baik dalam jangka panjang.
4. Wajib memiliki personal branding yang keren

Di era digital, citra diri seakan menjadi bagian penting dari kesuksesan. Banyak Gen Z merasa harus selalu tampil menarik di media sosial dan terlihat memiliki kehidupan yang penuh pencapaian. Tidak sedikit yang merasa tertekan karena takut terlihat biasa saja.
Padahal, personal branding seharusnya mencerminkan diri sendiri, bukan sesuatu yang dibuat demi validasi. Tidak semua pencapaian harus diumumkan dan tidak semua proses perlu terlihat oleh orang lain. Selama bersikap jujur dan nyaman dengan diri sendiri, hal itu sudah cukup.
5. Sudah harus tahu arah hidup

Tekanan lainnya datang dari anggapan bahwa di usia 20-an seseorang sudah harus tahu tujuan hidupnya dengan pasti. Banyak Gen Z yang merasa cemas jika belum tahu ingin jadi apa, atau masih mencoba berbagai hal. Hal itu kerap dianggap sebagai tanda tidak serius atau belum dewasa.
Padahal, pencarian arah hidup adalah proses yang wajar dan bisa berubah seiring waktu. Tidak ada tenggat waktu yang pasti untuk tahu ‘mau jadi apa’ dalam hidup. Hal yang penting adalah terus mencoba, belajar, dan tidak takut mengubah arah jika memang dibutuhkan.
Tekanan untuk cepat sukses sebelum usia 25 memang nyata dan sering terasa membebani. Standar yang tidak realistis sering membuat Gen Z merasa tidak cukup, bahkan ketika sudah berusaha sebaik mungkin. Kita perlu memahami bahwa kesuksesan bukan perlombaan karena setiap orang punya garis waktu yang berbeda.