Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Cara Menyelesaikan Konflik dengan Dewasa pada Usia 20-an

ilustrasi perempuan sedang bertengkar (pexels.com/Liza Summer)
Intinya sih...
  • Usia 20-an merupakan masa transisi yang penuh konflik emosional.
  • Konflik bisa diselesaikan dengan dialog dan empati, bukan pembuktian diri.
  • Minta maaf, menunda respons saat emosi, dan fokus pada solusi merupakan kunci menyelesaikan konflik.

Usia 20-an dianggap sebagai masa transisi paling membingungkan dalam hidup. Kita bukan lagi remaja, tapi juga belum sepenuhnya dewasa secara emosional, finansial, atau bahkan sosial. Pada masa ini, konflik menjadi sesuatu yang gak terhindarkan, baik dengan teman, pasangan, rekan kerja, maupun keluarga. Yang membedakan antara kita yang "bertumbuh" dan yang "terjebak" ialah cara kita menyelesaikan konflik tersebut.

Nah, menyelesaikan konflik dengan dewasa bukan berarti kamu harus selalu mengalah atau menahan emosi. Akan tetapi, ini lebih tentang bagaimana kamu merespons dengan bijak, menghindari drama yang gak perlu, dan tetap menjaga integritas diri. Yuk, kita bahas lebih dalam bagaimana caranya!

1. Pahami bahwa perbedaan itu bukan ancaman

ilustrasi beberapa orang sedang berbicara (unsplash.com/Sable Flow)

Konflik kerap muncul karena kita menganggap orang lain salah, hanya karena mereka memiliki pendapat yang berbeda. Padahal, perbedaan bukan musuh. Justru dari situlah, kamu belajar tentang perspektif baru.

Saat kamu kerja bersama tim dan ada yang punya cara kerja berbeda, misalnya, jangan langsung tersinggung. Coba tanyakan, “Kenapa kamu lebih nyaman pakai cara itu?” Daripada ngegas, lebih baik berdialog. Kadang, yang kamu anggap salah ternyata hanya berbeda pendekatan.

2. Jangan terjebak ego

ilustrasi teman (unsplash.com/Surface)

Pada usia 20-an, kita cenderung defensif karena merasa harus membuktikan diri. Namun, dalam sebuah konflik, yang kamu butuhkan bukan pembuktian, melainkan empati. Cobalah validasi perasaan orang lain dulu sebelum menanggapi. 

Sebagai contoh, kamu bisa katakan, “Aku ngerti, kok, kalau kamu ngerasa kesal soal tadi. Boleh aku jelasin dari sisi aku juga?” Percayalah, nada kalimat seperti ini lebih ampuh meluruhkan konflik daripada argumen panjang tanpa arah.

3. Jangan bertindak dalam keadaan emosi

ilustrasi laki-laki sedang merenung (pexels.com/Martin Péchy)

Saat emosi memuncak, insting pertama kita biasanya adalah langsung membalas. Itu bisa lewat kata-kata sarkas, sindiran halus, atau story penuh kode di media sosial. Namun, sebenarnya, hal terbaik yang bisa kamu lakukan saat sedang emosi ialah diam sejenak.

Menunda respons bukan tanda lemah. Justru ini tanda bahwa kamu punya kemampuan kontrol diri yang baik. Memberi waktu untuk mencerna emosi bisa mencegah kamu mengatakan hal-hal yang nantinya kamu sesali. Kadang, mode pause sejenak bisa menyelamatkan hubungan yang penting.

4. Berani mengakui kesalahan adalah tanda kekuatan

ilustrasi dua orang sedang berbicara (pexels.com/August de Richelieu)

Kita sering mengira bahwa minta maaf merupakan tanda bahwa kita mengakui kekalahan. Padahal, minta maaf dengan tulus justru menunjukkan kedewasaan dan kepercayaan diri. Permintaan maaf bisa membuka ruang penyembuhan, dibanding membela diri dengan alasan yang berputar-putar. Ingat, orang lebih mudah memaafkan kesalahan yang diakui daripada yang ditutup-tutupi.

5. Fokus pada solusi, bukan siapa yang salah

ilustrasi tiga orang sedang berbicara (pexels.com/cottonbro studio)

Dalam konflik, sering kali kita lupa tujuan utama: menyelesaikan masalah. Namun, alih-alih mencari solusi, kadang kita malah sibuk saling menyalahkan. Kalau kamu ingin menyelesaikan konflik dengan dewasa, arahkan pembicaraan agar fokus pada solusi. Dengan begitu, diskusi jadi produktif dan hubungan tetap terjaga.

Menyelesaikan konflik dengan dewasa pada usia 20-an merupakan bagian penting dari proses pendewasaan itu sendiri. Kamu gak harus jadi orang yang selalu benar. Namun, kamu bisa jadi orang yang selalu berusaha bertanggung jawab dan bijak.

Dengan memahami, mendengarkan, dan berbicara dari hati, konflik bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Justru, itu jadi ruang untuk tumbuh, memperkuat hubungan, dan mengenal diri sendiri lebih dalam. Karena pada akhirnya, menjadi dewasa bukan soal usia, tapi bagaimana kamu memperlakukan orang lain, terutama saat keadaan sedang tidak mudah.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha
EditorYudha
Follow Us