FIS 2023: Najwa Shihab Bicara Kesetaraan Gender di Ranah Profesional

Jakarta, IDN Times - Kita mungkin telah menyaksikan banyak posisi strategis di berbagai perusahaan didominasi oleh gender tertentu. Itu bukan lagi isu baru, banyak laki-laki menduduki posisi pemimpin smentara perempuan tak diberi kesempatan dan suara yang setara.
Masihkah kesetaraan di dunia kerja mengalami ketimpangan? Dalam Fortune Indonesia Summit 2023 pada Kamis (16/3/23), Najwa Shihab selaku jurnalis dan founder Narasi bersama dengan Philia Wibowo sebagai partner McKinsey Indonesia membuktikan keterwakilan perempuan menduduki posisi strategis di perusahaan.
Kedua perempuan dengan background berbeda membagikan keresahannya serta bagaimana keduanya mendobrak stigma dan bias gender. Najwa dan Philia turut mendorong perempuan agar lebih berdaya dan memiliki kekuatan untuk memimpin berbagai bidang yang digeluti.
1. Profesi sebagai jurnalis menjadi pekerjaan yang menantang bagi Najwa Shihab

Profesi sebagai jurnalis tak bisa dianggap remeh terutama bagi perempuan. Dilihat dari seringnya perempuan yang bergerak di bidang ini mengalami kekerasan, secara digital ada kasus seperti doxing, peretasan, hingga persekusi.
"Hasil survei UNESCO, 73 persen jurnalis perempuan mendapatkan intimidasi, mendapatkan pelecehan, mendapatkan ancaman secara online dan itu terkait dengan kerja jurnalisnya," ujar Najwa.
Najwa menekankan tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis perempuan di era digital sebagai hambatan yang masih terus terjadi hingga saat ini. Hasil riset dari UNSECO tersebut membenarkan apa yang dialami oleh Najwa sebagai perempuan yang bergerak di industri media.
Hal tersebut turut membuktikan bahwa perempuan rentan mengalami kekerasan dalam profesinya. Tak menutup kemungkinan di ranah bisnis atau bidang yang lain.
2. Mendobrak maskulintas di industri media

Najwa yang telah bekiprah selama lebih dari dua puluh tahun sebagai jurnalis, kini membangun perusahaan medianya sendiri, Narasi. Bukan tanpa sebab, Najwa ingin mendobrak maskulinitas dalam industri media massa.
Ia turut mendukung kesetaraan dan menyuarakan suara perempuan melalui pekerjaannya saat ini. "Kita, perempuan, harus kerja keras dua kali lebih baik dan lebih banyak untuk bisa mendapatkan pengakuan yang setara dengan teman laki-laki kita, itu kenyataannya," katanya.
Saat ini, dominasi kepemimpinan laki-laki di industri media masih sangat masif. Sangat sedikit perempuan yang menduduki posisi strategis bila kita bicara media.
Padahal ada banyak sekali keresahan dan isu perempuan yang masih perlu disuarakan lebih lantang. Ide, gagasan, dan pengalaman perempuan harus mendapat wadah agar bisa didengar lebih luas oleh publik.
"Saya sangat bangga dengan profesi sebagai jurnalis. Dan saya sangat bangga dengan identitas sebagai perempuan karena saya merasa, sekali lagi, tempat untuk bisa menggugah dan memengaruhi perjalanan publik, itu bisa dilakukan kalau perempuan menduduki posisi-posisi strategis di area-area publik," tambah Najwa.
3. Saat perempuan membuat keputusan, mereka menghadapi dilema dan penghakiman dari luar

Bias gender menyebabkan perempuan tak dapat bergerak maju dan melangkah lebih jauh untuk mengembangkan dirinya. Kesulitan yang kerap di hadapi perempuan seringkali datang dari stigma, label sosial, hingga beban yang disematkan kepadanya.
Dalam membuat pilihan, Najwa menyadari perempuan tak sepenuhnya bebas mengambil keputusan. "Menurut saya, membuat pilihan apa pun dalam hidup itu selalu rumit, apa pun gender kita. Tapi memang kalau bicara perempuan, membuat keputusan dan mengambil pilihan-pilihan itu tantangannya jauh lebih banyak. Dan ketika kita melakukan tantangan itu, ada dilema dan penghakiman dari luar," tuturnya.
4. Beban domestik dapat menghambat perempuan untuk bergerak maju

Ketimpangan pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki juga terjadi tak hanya di ranah publik, namun juga ranah domestik. Pekerjaan domestik yang kerap dibebankan kepada perempuan mengekang perempuan untuk bergerak.
Bicara mengenai perbedaan presepsi dari perempuan dan laki-laki, Najwa menuturkan, "Ada juga pertanyaan 'how do you do it all?' Seolah-olah memang semua harus bisa dikerjakan oleh perempuan. Bapak-bapak tidak pernah ditanya 'how do you do it all?' karena memang beban domestik tidak pernah ditaruh di pundak laki-laki."
Perempuan seolah harus dapat melakukan semuanya, pekerjaan domestik dan profesional. Keduanya harus dapat ditangani secara bersamaan dengan baik. Padahal, pekerjaan domestik tak sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan.
"Jadi, kalau kita bicara kesetaraan menurut saya, kesetaraan di dunia kerja tidak akan mungkin tercapai, kalau tidak ada kesetaraan pembagian pekerjaan rumah tangga. Kuncinya demokrasi domestik, itu yang akan menentukan, menurut saya," lanjutnya.
5. Millennial dan Gen Z sadar akan kesetaraan, namun tak terrealisasikan dalam kehidupan sehari-hari

Dorongan untuk memberikan kesempatan lebih banyak untuk perempuan disampaikan Najwa dengan penuh semangat. Baginya, kita tidak bisa berharap perubahan di hidup atau perilaku saja. Jika ingin perubahan yang signifikan, harus dilakukan di semua level termasuk mengubah mindset masyarakat.
"Saya mau bilang, generasi sekarang ini, Gen Z, Millennial sudah punya pandangan tentang kesetaraan yang lebih egaliter. Dan mereka ketika ditanya apa ukuran kesuksesan, mereka menyebut sukses di karier tapi juga sukses sebagai bapak dan ayah dan sebagai suami. Ya, keinginan itu ada tapi lagi-lagi, keinginan baik itu tidak termanifestasi dalam perubahan perilaku sehari-hari," tutup Najwa.
Kesetaraan bagi perempuan di dunia kerja telah menjadi isu hangat yang diperbincangkan sejak lama. Memang, isu ini membutuhkan waktu yang tak sebentar dan perlu kerja keras, namun Najwa optimis hal ini akan terwujud seiring berjalannya waktu.