Anak Muda Takut Bersuara, Rawan Alami Fenomena Democratic Burnout

- Riset “Understanding Youth Engagement and Civic Space in Indonesia” yang melibatkan 505 responden berusia 18-25 tahun, menunjukkan 73,9 persen responden merasa takut menyampaikan pendapat di ruang publik.
- Peneliti Bidang Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat YPM, Neildeva Despendya, memaparkan pentingnya ruang sipil bagi kaum muda. Data Civicus menempatkan Indonesia hanya mendapat skor 48 dari 100 dalam indeks kebebasan sipil dunia.
- Indonesia masih menghadapi regresi demokrasi akibat berbagai kebijakan pembatasan seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eelektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.
Jakarta, IDN Times - Peneliti dari Northwestern University, Muhammad Fajar, menyoroti fenomena penyempitan ruang sipil dan kebebasan berekspresi bagi anak muda. Ia menilai hambatan terbesar bagi anak muda bukan hanya terbatasnya ruang, tetapi juga risiko hukum, keamanan digital, dan lemahnya lembaga pelindung sipil.
"Faktor sosial-ekonomi dan pendidikan sangat memengaruhi tingkat keberanian. Kelompok menengah atas cenderung lebih kritis, sementara kelompok bawah lebih berhati-hati,” kata Fajar dalam acara diskusi bertajuk Spill The Research yang digelar Yayasan Partisipasi Muda (YPM) dan FISIP UI di Universitas Indonesia (UI), Jawa Barat, dikutip Rabu (22/10/2025).
Kasus penyempitan ruang berekspresi bagi anak muda ini bisa menimbulkan fenomena democratic burnout atau kelelahan kolektif akibat represi dan ketimpangan.
"Banyak anak muda merasa perjuangannya tak membawa perubahan nyata,” ucap Fajar.
1. Riset menunjukkan anak muda takut berpendapat di ruang publik

Fajar memaparkan riset “Understanding Youth Engagement and Civic Space in Indonesia” yang melibatkan 505 responden berusia 18-25 tahun.
Hasilnya, sebanyak 73,9 persen responden merasa takut menyampaikan pendapat di ruang publik, sementara 42 persen menilai pemerintah belum cukup melindungi hak-hak sipil.
2. Soroti rapor merah Indonesia terkait indeks kebebasan sipil dunia

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Bidang Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat YPM, Neildeva Despendya, memaparkan pentingnya ruang sipil bagi kaum muda. Ia mengutip pemikiran Jürgen Habermas, ruang publik seharusnya menjamin kebebasan berpendapat.
"Ruang sipil yang sehat memungkinkan masyarakat mengekspresikan ide, mengkritik kebijakan, dan berpartisipasi dalam politik,” kata Neil.
Neil juga menyoroti data Civicus yang menempatkan Indonesia hanya mendapat skor 48 dari 100 dalam indeks kebebasan sipil dunia. Ia mengingatkan penyempitan ruang sipil membuat masyarakat apatis dan anak muda kehilangan ruang untuk berinovasi.
3. Indonesia masih menghadapi regresi demokrasi

Lebih lanjut, Dosen Ilmu Politik UI, Muhammad Imam, mengingatkan Indonesia masih menghadapi regresi demokrasi akibat berbagai kebijakan pembatasan seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eelektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.
"Kita demokratis secara prosedural, tapi belum substantif. Tanpa perlawanan anak muda, demokrasi hanya akan tinggal nama,” ujar Imam.