Anggota DPR Desak Penulisan Ulang Sejarah Dihentikan Jika Politis

- Bonnie mengingatkan, penyangkalan terhadap peristiwa kelam pada kerusuhan Mei 1998 hanya akan menambah luka batin para korban serta masyarakat yang terlibat dalam tragedi berdarah era reformasi.
- Fadli Zon harusnya tidak menyangkal soal tindak kekerasan pada kerusuhan 1998
Jakarta, IDN Times - Sejarawan sekaligus Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, mendesak Kementerian Kebudayaan menghentikan proyek penulisan ulang sejarah jika hanya bertujuan politis. Apalagi jika tujuan penulisan ulang sejarah untuk menyeleksi cerita perjalanan bangsa Indonesia sesuai keinginan pemegang kekuasaan sehingga bersifat parsial atau sebagian dan tidak menyeluruh.
"Jangan lakukan penulisan sejarah melalui pendekatan kekuasaan yang bersifat selektif dan parsial atas pertimbangan-pertimbangan politis. Apabila ini terjadi, lebih baik hentikan saja proyek penulisan sejarah ini," kata dia dalam keterangannya, Rabu (18/6/2025).
Ia pun secara khusus mengkritisi pernyataan Menteri Budaya (Menbud), Fadli Zon, yang dianggap berpandangan subyektif dengan menyebut peristiwa memilukan dalam tragedi 1998 tersebut tidak pernah terjadi.
"Apa yang menurut Menteri Kebudayaan tidak ada, bukan berarti tak terjadi," kata Bonnie.
Ia pun secara khusus mengkritisi pernyataan Fadli Zon yang dianggap berpandangan subyektif dengan menyebut peristiwa memilukan dalam tragedi ‘98 tersebut tidak pernah terjadi.
"Apa yang menurut Menteri Kebudayaan tidak ada, bukan berarti tak terjadi," kata Bonnie.
1. Penyangkalan pemerkosaan massal 1998 menambah trauma korban

Bonnie mengingatkan, penyangkalan terhadap peristiwa kelam pada kerusuhan Mei 1998 hanya akan menambah luka batin para korban serta masyarakat yang terlibat dalam tragedi berdarah era reformasi. Terlebih sampai disebut sebagai rumor yang tak ada buktinya.
"Penyangkalan atas peristiwa pemerkosaan massal terhadap kaum perempuan Tionghoa dalam kerusuhan rasial 1998 hanya akan menambah beban traumatik pada penyintas dan keluarganya, bahkan kepada masyarakat yang mengalami peristiwa itu," kata Bonnie.
2. Fadli Zon harusnya tidak menyangkal soal tindak kekerasan pada kerusuhan 1998

Bonnie menilai, Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan yang menggagas proyek penulisan ulang sejarah Indonesia mestinya tidak melanggengkan budaya penyangkalan atas tindak kekerasan. Terutama kekerasan seksual pada kaum perempuan China dalam kerusuhan rasial pada tahun 1998.
"Kalau semangat menulis sejarah untuk mempersatukan, mengapa cara berpikirnya parsial dengan mempersoalkan istilah massal atau tidak dalam kekerasan seksual tersebut, padahal laporan TGPF jelas menyebutkan ada lebih dari 50 korban perkosaan," kata Bonnie.
Menurut Anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan ini, karya sejarah akan berguna untuk anak cucu bangsa bukan hanya karena dipenuhi kisah kepahlawanan yang inspiratif. Bonnie menyebut, pengalaman kolektif yang pedih dalam sejarah masa lalu bangsa juga dapat menjadi pembelajaran.
"Tanpa terkecuali untuk penyelenggara negara di masa kini dan masa depan," imbuh dia.
3. Fadli Zon sebut laporan TGPF cuma sebut angka tanpa data pendukung

Sebelumnya, Fadli Zon mengatakan pemerkosaan massal pada kerusuhan 13 sampai 14 Mei 1998 tidak memiliki data pendukung. Pernyataan ini disampaikan merespons kritikan sejumlah pihak atas pernyataannya di IDN Times.
"Laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid," ujar Fadli dikutip pada Senin (16/6/2025).
Menurut Fadli, investigasi salah satu majalah pada saat itu juga tak bisa mengungkap fakta kuat soal penyebutan 'massal' sehingga perlu hati-hati.
"Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri," ujar dia.
Fadli Zon jadi sorotan publik usai menyebut tidak ada pemerkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998. Pernyataan itu berawal dari Fadli Zon ditanya oleh Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis, tentang penulisan revisi buku sejarah Indonesia yang isinya minim peran perempuan
"Kan gini, history, history, sejarah selalu kita mengatakan history itu adalah ada his, ya, not her, salah satu yang menjadi keberatan atau kritik adalah ketika melihat yang 30 halaman konsep penulisan buku sejarah ini sangat minim, misalnya peran perempuan masuk dalam sejarah," ujar Uni Lubis dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
"Itu kan hoaks yang disebarluaskan seolah-olah kongres perempuan tidak ada," jawab Fadli Zon.
Saat ditanya tentang apakah sudah membaca isi draf revisi buku sejarah Indonesia itu, Fadli Zon mengaku belum membacanya. Dia mengatakan, tidak ingin mengintervensi apa yang sedang dikerjakan oleh sejarawan.
Dia mengaku, keterlibatan perempuan pada sejarah Indonesia sangat penting. Uni Lubis kemudian bertanya tentang peristiwa kekerasan yang dialami perempuan pada tahun 1998.
"Termasuk apa yang dialami oleh perempuan dalam peristiwa kerusuhan Mei '98 misalnya. Apakah itu masuk (dalam buku sejarah)?" tanya Uni Lubis.
Fadli Zon mengatakan, apa yang terjadi di peristiwa Mei '98 masih bisa diperdebatkan, termasuk informasi mengenai ada pemerkosaan massal. Menurut dia, selama ini tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei '98.
"Kalau itu menjadi domain kepada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita gak pernah tahu, ada gak fakta keras kalau itu kita bisa berdebat. Nah, ada perkosaan massal. Betul gak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu gak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada gak di dalam buku sejarah itu? Gak pernah ada," ucap Fadli Zon.