Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

IKOHI Jawab Sangkalan Fadli Zon soal Data Pemerkosaan Mei 1998

Ilustrasi Hukum (IDN Times/Fadillah)
Ilustrasi Hukum (IDN Times/Fadillah)
Intinya sih...
  • Kekhawatiran korban untuk bersuara karena tak ada jaminan perlindungan dari negara
  • Penelusuran dari Kejagung tidak ada kelanjutan, ada missing link di situ
  • Tidak ada jaminan laporan benar-benar ditindaklanjuti, korban khawatir akan serangan dan kriminalisasi

Jakarta, IDN Times - Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Zaenal Muttaqin merespons pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyinggung soal data perkosaan massal Mei 1998.

Sebelumnya, pernyataan Fadli Zon viral menyangkal perkosaan massal Mei 1998, dia mengeluarkan klarifikasi berupa siaran pers yang isinya adalah menyatakan istilah "perkosaan massal" dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998 masih menjadi perdebatan selama lebih dari dua dekade. Ia menilai penggunaan istilah itu harus disikapi dengan bijak dan empatik karena data terkait peristiwa tersebut belum pernah dinyatakan konklusif.

Zaenal menjelaskan minimnya dokumentasi negara menjadi penghambat serius dalam membuka informasi dan penuntasan kasus pemerkosaan massal terhadap perempuan pada Mei 1998.

"Ya, khusus pemerkosaan ini, apalagi terhadap etnis Tionghoa, jadi mereka kan jelas sebagai kelompok minoritas yang ganda, mayoritas Kristen Tionghoa, perempuan, itu kan susah untuk... kecuali yang meminta data adalah lembaga resmi, misalnya penyidik ya, yang akan membawa proses pengadilan," ujar Zaenal kepada IDN Times, dikutip Selasa (17/6/2025).

1. Kekhawatiran untuk bersuara di momen seperti ini

Ilustrasi refleksi Tragedi Mei 1998. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Ilustrasi refleksi Tragedi Mei 1998. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Zaenal mengatakan, hingga kini korban masih enggan bersuara karena tidak adanya jaminan perlindungan dari negara. Komnas Perempuan juga kesulitan mengakses data atau meminta korban bersuara karena tak ada jaminan kemana ruang keadillan nanti akan di bawa.

Perlu diketahui bahwa IKOHI, Komnas Perempuan, dan Perempuan Indonesia Tionghoa (PINTI) mengadakan peringatan tahunan yang dipusatkan di Taman Pemakaman Umum Pondok Rangon, Jakarta Timur.

"Memang Komnas Perempuan sendiri juga kesulitan untuk meminta, mendata, atau meminta mereka untuk speak up ya, karena kan tidak ada jaminan. Khawatir kalau tahun-tahun ini mereka speak up soal peristiwa itu, justru akan mendapatkan kriminalisasi. Kan tidak ada jaminan, masalahnya memang begitu," ujarnya.

2. Missing link tidak adanya penelusuran dari Kejagung

Ilustrasi Gedung Kejaksaan Agung. (Dokumentasi Sekretariat Kabinet)
Ilustrasi Gedung Kejaksaan Agung. (Dokumentasi Sekretariat Kabinet)

Dia menyoroti sebenarnya sudah ada laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 sebagai dasar untuk melanjutkan proses hukum. Namun hingga kini, lanjutnya, tidak ada kelanjutan dari aparat penegak hukum.

Seperti diketahui, Komnas HAM sendiri bahkan sudah menyerahkan laporan Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998. Kemudian peristiwa itu dinyatakan sebagai Pelanggaran HAM Berat, yaitu Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

"Kan Komnas HAM itu sudah selesai melakukan penyelidikan pro justisia ya, sebagai langkah pertama dalam proses hukum. Kemudian Kejaksaan Agung tidak menindaklanjuti. Jadi memang ada missing link di situ," kata Zaenal.

3. Tak ada jaminan laporan benar-benar ditindaklanjuti

Ilustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)

Menurutnya, ketakutan korban untuk bersuara juga dipengaruhi oleh nihilnya jaminan bahwa laporan mereka akan benar-benar ditindaklanjuti. Korban juga khawatir ada serangan dari para pihak yang berpotensi melakukan kriminalisasi.

"Jadi korban itu tidak berani terbuka, tidak berani bicara, atau tidak menunjukkan profilnya karena memang tidak ada jaminan bahwa itu akan masuk proses hukum, akan ada jaminan keamanan, tidak ada serangan balik ya dari pihak-pihak yang berpotensi mengkriminalisasi mereka," ujarnya.

Meski begitu, Zaenal mengatakan data korban tetap bisa ditelusuri oleh lembaga resmi negara seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

"Kalau mau minta, Komnas HAM ya pasti bakal ditunjukkan. Maksudnya ada kode, ada BAP itu ya, profilnya, segini, alamatnya di mana, apa, kan bisa ditelusuri. Itu kan harus Komnas HAM minta," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us