Anggota Pansus DPR: Reforma Agraria Harus Menyentuh Petani Kecil

- Ketahanan pangan harus memberikan keadilan struktur
- Petani harus ditempatkan sebagai subjek utama dengan hak jelas atas tanah
- Program pangan skala besar harus berjalan seiring dengan reforma agraria yang berkeadilan
Jakarta, IDN Times - Anggota Pansus Agraria DPR RI, Azis Subekti, menegaskan agar reforma agraria harus membawa dampak positif bagi kelompok petani kecil. Menurutnya, kebijakan yang dilakukan harus membawa kepastian hak atas tanah petani, mencegah alih fungsi lahan produktif, dan penataan kemitraan.
"Karena itu, saya mendorong langkah-langkah yang lebih membumi. Pertama, reforma agraria harus benar-benar menyentuh petani kecil, kepastian hak atas tanah, pencegahan alih fungsi lahan produktif, dan penataan kemitraan agar tidak timpang," kata dia dalam keterangannya, Sabtu (13/12/2025).
Isu kedua yang didorong agar kebijakan lebih berdampak adalah program pangan berskala besar harus menempatkan petani lokal sebagai pelaku utama. Bukan sekadar buruh, tetapi pemilik manfaat, dengan skema pembiayaan, pendampingan, dan akses pasar yang jelas.
Lalu ketiga, infrastruktur dasar pertanian harus diperkuat, irigasi, embung, jalan tani, gudang, pengering, sampai alat pascapanen, terutama di wilayah yang medannya berat dan rawan bencana.
"Keempat, perlindungan lingkungan harus jadi satu paket dengan agenda pangan, konservasi lereng, perbaikan tata air, dan pengendalian risiko longsor wajib masuk perencanaan program. Termasuk untuk daerah-daerah di Wonosobo yang irigasinya sudah kering, revitalisasi perlu diprioritaskan, karena membangun baru biasanya jauh lebih mahal daripada memperbaiki yang sudah ada," ujar Azis.
1. Ketahanan pangan yang adil bukan hanya soal angka produksi

Anggota Komisi II DPR RI ini menekankan, ketahanan pangan yang adil bukan hanya soal angka produksi.
"Namun, harus memberikan keadilan struktur, siapa yang menguasai lahan, menikmati nilai tambah, dan dilindungi ketika krisis datang," ujar Azis.
2. Petani harus ditempatkan sebagai subjek

Azis lantas menyebut, petani harus ditempatkan sebagai subjek utama yang memiliki hak jelas atas tanah, punya ruang menentukan pilihan usaha, posisi tawar di pasar, serta menikmati nilai tambah dari kerja kerasnya.
Apabila petani ditempatkan sebagai subjek, maka kebijakan pangan akan lebih inklusif, kuat, dan tahan guncangan. Selain itu, jika sinergi pusat–daerah berjalan sejak awal, dengan pemerintah daerah dilibatkan dan petani ditempatkan pada prioritas kebijakan, maka pembangunan ketahanan pangan benar-benar akan bermuara pada kesejahteraan petani Indonesia.
"Tanpa itu, peningkatan produksi pun mudah rapuh, begitu biaya naik, lahan tertekan, atau harga jatuh, yang pertama kali terpukul selalu petani kecil," kata Azis.
3. Program pangan skala besar harus berjalan seiring dengan reforma agraria yang berkeadilan

Lebih lanjut, kata Azis, program pangan skala besar, termasuk Food Estate wajib berjalan beriringan dengan reforma agraria yang berkeadilan. Tanpa pembenahan struktur penguasaan tanah, proyek pangan berisiko memperlebar konflik agraria, menyingkirkan petani kecil, dan menambah tekanan ekologis. Negara harus tegas, lahan pertanian produktif milik rakyat perlu dilindungi, bukan justru tersisih oleh ekspansi yang tidak terkendali.
"Di lapangan, isu pangan juga bukan semata urusan produksi. Petani berhadapan dengan harga di tingkat produsen, ketersediaan dan biaya pupuk serta sarana produksi, kondisi irigasi, jalan usaha tani, sampai akses pascapanen," jelas dia.















