Arti Tragedi Bom Surabaya untuk Wilayah Asia Tenggara

JAKARTA, Indonesia —Dalam kurun waktu hanya 24 jam sejak Minggu, 13 Mei lalu, Indonesia dan bahkan dunia dikejutkan dengan rentetan insiden ledakan bom yang terjadi di lima lokasi berbeda. Diawali dari tiga ledakan di tiga gereja pada Minggu pagi, kemudian disusul ledakan di sebuah rusunawa di Minggu malam dan ledakan di Mapolrestabes Surabaya, Senin, 14 Mei pagi.
Yang lebih mengagetkan lagi adalah fakta bahwa ada dua keluarga yang disebut sebagai pelaku ledakan di empat lokasi berbeda.
Zachary Abuza, ahli di bidang terorisme di kawasan Asia Tenggara menyebut bagaimana signifikannya tragedi bom Surabaya untuk seluruh Asia Tenggara. Saat berbincang dengan Rappler lewat sambungan video conference, Rabu, 16 Mei, Zac menyoroti modus baru ledakan bom dengan melibatkan keluarga.
"Ini belum pernah kita lihat sebelumnya. Memang seperti kita ketahui, terorisme di Indonesia bukan hal yang baru. Tapi penggunaan modus seperti ini [keluarga] seperti ingin dijadikan penyamaran untuk aksi mereka supaya tidak terlalu mencuri perhatian," ujar Zac.
Menurut Zac, pemanfaatan anak-anak dalam aksi terorisme sebenarnya bukan jadi hal yang baru. IS sudah melakukannya di Suriah bahkan di Afrika. Tapi pilihan untuk mengorbankan seluruh anggota keluarga, ini yang belum pernah terjadi di belahan dunia manapun. "Ini sangat mengejutkan," kata Zac yang belum bisa mengidentifikasi apakah modus aksi terorisme dengan melibatkan keluarga seperti ini akan jadi tren nantinya.
"Mungkin mereka melakukannya sebagai sel-sel individu yang ingin memperlihatkan komitmen mereka pada gerakan tertentu. Atau mungkin untuk menunjukkan bahwa mereka bersedia melakukan apapun demi tujuan tertentu, termasuk mengorbankan anak-anaknya sendiri."
Namun fakta bahwa lagi-lagi aksi terorisme terjadi di Indonesia, tidak terlalu mengejutkan Zac. Karena sebelumnya pun di Indonesia pernah terjadi serangan teroris yang dilakukan kelompok afiliasi Al-Qaeda. Ini yang membuat Indonesia berbeda dengan beberapa negara lain di kawasan Asia Tenggara.
"Filipina misalnya, belum pernah terjadi kasus bom bunuh diri, meski ada konflik terorisme yang terjadi di Mindanao. Di Malaysia, pukulan keras menghantan mereka karena sejak 2014 tercatat ada 9 usaha serangan dan selama era Jamaah Islamiyah (JI) di era 2000-an, tidak pernah ada aksi terorisme di sana. Jadi Malaysia cukup concern dengan isu ini. Apalagi diketahui ada 9 pelaku bom bunuh diri asal Malaysia di Irak dan Suriah."
Perbandingan di Asia Tenggara
Meski terjadi berdekatan dengan bulan Ramadan, aksi teror bom di Surabaya tidak dianggap Zac sesuatu yang sengaja dirancang untuk momen tersebut. Bahkan menurutnya, beberapa data rekam jejak aksi terorisme justru meningkat di bulan Ramadan, bahkan di zona perang seperti Irak dan Suriah.
Dan jika membandingkan teror bom Surabaya dengan yang teror serupa di wilayah Asia Tenggara, Zac berusaha menggali ingatannya dari era 2000-an saat JI berhasil melancarkan satu aksi dalam satu tahun muali tahun 2000-2009. Namun setelah 2010, setelah penggerebekan pusat pelatihan di Aceh dan proses naturalisasi lebih dari 120 anggotanya, termasuk para petinggi kala itu, JI seperti kehilangan taringnya.
"Setelah itu mereka kebanyakan bergerak secara gerilya. Tahun 2014 saat IS merajalela, seperti ada kebangkitan di kalangan komunitas jihadis Salafi di Asia Tenggara. Banyak orang lantas terbang ke Irak dan Suriah dan beberapa juga tinggal di Asia Tenggara dan memulai gerakan radikal untuk mempersiapkan serangannya," tambah Zac.
Yang terjadi di Indonesia mulai tahun 2016 kebanyakan adalah aksi serangan yang dilakukan oleh sel-sel lokal yang terinpirasi oleh IS, dan kemudian diklaim oleh IS tentunya. Tapi semuanya masih terlihat amatir. "Jumlah korban sedikit, ada yang tidak terlalu berhasil, termasuk penyerangan di Mapolresta Surabaya. Intinya, aksi-aksi yang kita lihat di Indonesia sejak tahun 2016, secara kualitas sangat rendah."

Tapi ketika bisa melakukan 5 ledakan dalam 24 jam tentu bukan hal sepele. Ini menunjukkan peningkatan di soal teknik, perencanaan dan jenis material peledak yang digunakan. "Kecuali yang terjadi di rusunawa. Kenapa itu meledak lebih awal dari rencana karena terbuat dari TATP, peledak berbahan dasar acetone yang gampang menguap. Susah diracik namun gampang menguap. Jadi secara teknik skill mereka mulai meningkat di Indonesia."
Peran perempuan dan anak
Yang dilihat Zac, modus pemanfaatan perempuan dan anak dalam aksi terorisme akan jadi tren ke depannya. Apalagi perempuan juga semakin memegang peranan penting dalam jaringan. Saat era JI, peran perempuan hanya sebatas pendukung di balik layar. Tapi sejak IS, perempuan mendapat porsi lebih. Baik sebagai yang merekrut anggota, yang melakukan indoktrinasi, personel logistik, pendanaan dan banyak lagi. Mereka tersebar sebagai sel-sel di berbagai daerah.
"Tapi sekarang perempuan-perempuan ini muncul ke permukaan sebagai pelaku bom bunuh diri. Seperti yang diketahui, Indonesia pertama kali menahan perempuan yang pernah menjalani pelatihan bom bunuh diri Desember tahun lalu."

Efek regional
Ketika ada pertanyaan apakah yang terjadi di Indonesia dan di Marawi, Filipina bisa jadi seperti cara para teroris untuk bersaing mendapatkan perhatian dari IS, Zac menyebut tidak selalu. Tapi memang ada koneksi meski tak langsung. "Ada hubungan antara anggota Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), payung organisasi IS di Indonesia dengan beberapa militan di Filipina Selatan. Dan kita tahu ada sekitar 40 warga Indonesia dan Malaysia yang tengah bertempur di Marawi sekarang."
Kata Zac, terorisme bisa saja merajalela di Indonesia dan Malaysia, misalnya. Tapi mereka tidak akan pernah bisa berkuasa secara regional di Asia Tenggara. "Penting untuk melihat permasalahan ini secara regional. Para militan pasti memanfaatkan ini. Ada beberapa hal yang lebih mudah dilakukan di sebuah negara. Selatan Filipina selalu jadi sumber senjata yang bagus untuk para militan di Indonesia. Dan provinsi di Selatan Thailand selalu jadi sumber untuk militan di Malaysia. Jadi sebenarnya mereka beroperasi lintas negara."
Zac juga menyebut keberadaan kelompok jaringan di Timur Kalimantan dan Sabah, kemudian meluas hingga kepulauan Sulu ke arah Mindanao. "Jadi diperlukan kerjasama regional di sini. Kalau tidak, para militan bisa seenak mereka ke sana ke mari dengan mudahnya."
Satu yang dirasa mengkhawatirkan oleh Zac adalah keberadaan sel-sel IS di Malaysia. Karena posisi mereka untuk bisa mengeksekusi aksi terorisme semakin menunjukkan titik terang. "Warga Indonesia lebih tahan banting. Ingat serangan di Starbucks Sarinah? Keesokan harinya mereka sudah menyajikan kopi. Seperti tidak ada yang berubah. Saya rasa warga Malaysia tidak akan bisa seperti itu jika merespon serangan. Pasti akan lebih traumatis bagi mereka dan pemerintahnya pasti akan bereaksi berlebihan, yang mana justru itulah yang jadi keinginan para teroris."
Filipina punya masalah sendiri. Kelompok Armed Forces of the Philippines (AFP) mulai terbentuk meski masih sangat kecil. Bukan cuma kelompok Abu Sayyaf di Sulu. Ada juga kelompok Maute. Personel mereka sangat cukup untuk bisa bergabung. Ada juga BIFF (Bangsomoro Islamic Freedom Fighters), Ansar Khalifa Philippines.
"Saya selalu khawatir dengan proses perdamaian di Moro Islamic Liberation Frotn (MILF) yang terhenti," ujar Zac.
Usaha pertahanan
Secara umum, jika terkait dengan penanganan terorisme, pihak kepolisian di negara-negara Asia Tenggara dinilai Zac cukup berhasil. "Kepolisian Indonesia layak mendapatkan acungan jempol atas apa yang sudah mereka lakukan selama beberapa tahun ini. Ada lebih dari seribu penahanan pelaku dan terduga teroris. Dan yang membuat daya tercengang tentang Indonesia adalah karena kebanyakan dari pelaku ini melewati proses persidangan."
Proses persidangan ini, kata Zac, sangat krusial untuk membentuk demokrasi yang meski rapuh tapi tetap berpegang pada hukum. Dengan menyidangkan pelaku-pelaku ini akan secara otomatis mendiskreditkan gerakan dan ideologi kelompok jaringan terorisme.
Untungnya, setelah tragedi bom Bali 2002, kita sudah melihat banyak kerja sama yang dilakukan di bidang terorisme antar negara Asia Tenggara. Apalagi setelah kelahiran IS tahun 2014. Kerja sama proaktif antar negara membuat pergerakan anggota IS bisa diredam.
Yang terpenting, kata Zac, dari upaya penanganan meluasnya ideologi radikal dan terorisme ini tidak hanya datang dari kepolisian dan pemerintah saja, tapi harus dari warga masyarakat pula, terutama komunitas Muslim. Di situlah dialog-dialog harus terjadi.
"Itulah juga alasan kenapa saya percaya pada Indonesia karena Islam di Indonesia, meski kelompok radikal mulai bertumbuh, masyarakat Indonesia cepat memulihkan diri. Ditambah lagi, Islam Indonesia yang dibangun dari budaya Jawa yang sangat kental bisa jadi faktor penengah."
Di masa depan, tidak ada yang bisa menjamin serangan teroris tidak akan lagi terjadi, termasuk di Indonesia. Yang akan membedakan apakah jika serangan itu nanti bisa berdampak sangat luas pada masyarakat dan perekonomian atau tidak. "Tapi seperti apapun itu nantinya, sangat penting untuk tidak bereaksi berlebihan. Dan ini berlaku juga untuk pemerintah."
"Saya justru sedang mengkhawatirkan kembalinya Al-Qaeda di wilayah Asia Tenggara, terutama di Indonesia. Karena anggota Al-Qaeda dan JI belum ada yang diketahui berpindah mendukung IS. Ini seperti memberi ruang bagi mereka untuk mendirikan sekolah, mesjid, menjalankan doktrin-doktrin dan melatih generasi baru," kata Zac.
"Mereka seperti ditinggalkan sendiri. Alasan mengapa mereka tidak terlibat di gerakan militan karena waktunya belum tepat. Dan mereka duduk santai menonton rival mereka, IS, menerima serangan demi serangan dari pihak polisi dan militer. Tapi satu hari mereka pasti kembali."
—Rappler.com