Cek Pertamax Oplosan, Komisi DPR VI Fraksi PDIP Sidak ke SPBU

- Inspeksi mendadak dilakukan anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDIP ke SPBU Pertamina di Jakarta Barat.
- Kebutuhan Pertalite dan Pertamax mayoritas masih diimpor, dengan porsi impor Pertamax mencapai 95 persen.
- Anjloknya penjualan Pertamax dipengaruhi isu korupsi dan pengoplosan, menyebabkan kerugian konsumen hingga Rp17,4 triliun per tahun.
Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) menggelar inspeksi mendadak (sidak) ke SPBU Pertamina di Jalan Palmerah Utara, Palmerah, Jakarta Barat, Senin (3/3/2025).
Kader PDIP yang hadir dalam sidak di antaranya Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Adisatrya Suryo Sulisto dan anggota Komisi VI DPR RI F-PIP yakni Mufti Aimah Nurul Anam, Darmadi Durianto, Rieke Diah Pitaloka, Sadarestuwati, Ida Nurlaela Wiradinata, Budi Sulistyono, dan GM Totok Hedisantosa.
Dalam kunjungan itu, mereka juga didampingi langsung oleh Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina Patra Niaga, Harsono Budi Santoso, dan Direktur Rekayasa dan Infrastruktur Darat, Eduward Adolof Kawi.
"Ini kami dari Komisi VI DPR, PDI Perjuangan, meninjau langsung ke lapangan, ke salah satu SPBU untuk mengecek fakta di lapangan seperti apa. Tadi kami didampingi oleh dua direksi dari Patra Niaga, Pak Harsono dan Pak Eduward," ujar Adisatrya saat ditemui di lokasi.
1. Soroti rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap Pertamina

PDIP secara khusus menyoroti tingkat kepercayaan konsumen terhadap Pertamina yang saat ini sedang rendah. Mereka pun menanyakan langsung bagaimana proses impor hingga disalurkan ke SPBU.
"Kami ingin memastikan apakah konsumen itu mendapatkan produk sesuai yang dijanjikan oleh Pertamina atau tidak. Tadi kami banyak bertanya kepada bapak-bapak dari Patra Niaga proses dari impor lalu juga disalurkannya ke SPBU itu seperti apa. Yang kami tangkap, yang pertama tadi soal adanya kebutuhan impor dan juga dari kilang sendiri untuk kebutuhan nasional," ucap Adisatrya.
2. Kebutuhan Pertamax dan Pertalite mayoritas masih impor

Adisatrya menuturkan, berdasarkan keterangan dari pihak Pertamina, kebutuhan Pertalite dan Pertamax masih didominasi impor dari luar negeri. Bahkan, untuk Pertamax porsi impornya sampai 95 persen.
"Untuk Pertalite tadi RON 90 itu 80 ribu kiloliter per hari. Untuk Pertamax yang kami dapatkan tadi 20 ribu kiloliter per hari untuk RON 92. Nah, jadi total 100 ribu. Komponen impornya, komposisi impornya kalau untuk Pertamax tadi yang kami dapatkan 90 sampai 95 persen. Jadi mayoritas ini impor. Kalau Pertalite itu 55 persen. Berarti juga mayoritas impor," tuturnya.
3. Penjualan Pertamax anjlok hingga 10 persen

Lebih lanjut, Adisatrya mengatakan, pihak Pertamina mengakui adanya penurunan hingga 10 persen terhadap penjualan Pertamax. Sementara, untuk Pertalite masih terbilang stagnan.
"Nah, terkait peralihan tadi diakui sendiri oleh Direksi Pertamax bahwa di segmen Pertalite hampir tidak ada pergeseran ke tempat lain. Kalau di segmen Pertamax itu turun sekitar 10 persen. Ini cukup signifikan ya," ungkap dia.
Adisatrya menilai anjloknya penjualan Pertamax dipengaruhi dengan isu korupsi dan dugaan pengoplosan. Di sisi lain, segmentasi bensin kelas atas Pertamina bersaing dengan merek lain.
"Karena memang alternatifnya di segmen atas ini ya di mana konsumennya mungkin lebih mampu ya untuk membeli dari brand-brand lain, merek-merek lain yang mereka beralih. Tapi mereka yakini itu mungkin hanya untuk sementara," kata dia.
Sebelumnya, Direktur Ekonomi Digital dari Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, memperkirakan kerugian konsumen per hari akibat pembelian BBM Pertamax oplosan mencapai Rp47,6 miliar.
Angka itu diperoleh dari harga jual Pertamax pada 2023 per liter-nya mencapai Rp13.400, dikurangi harga jual Pertalite di tahun yang sama, yaitu Rp10.000, lalu dikalikan 14.007,907 (konsumsi Pertamax per hari pada 2023).
Dari angka tersebut, menghasilkan kerugian konsumen mencapai Rp47,6 miliar. Bila dikalikan 360 hari, maka total kerugian konsumen per tahun akibat Pertamax yang dioplos mencapai Rp17,4 triliun.
"Kalau kita hitung per 2023 total ada Rp17,4 triliun kerugian masyarakat, yang itu disebabkan dari consumer loss saja. Belum kita hitung dari mesin yang rusak dan sebagainya. Begitu juga pump gasoline-nya yang rusak dan sebagainya," ujar Nailul ketika memberikan keterangan pers di kantor LBH Jakarta, Jumat, 28 Februari 2025.
Nailul juga menyebut, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang hilang akibat kerugian konsumen yang muncul dari kasus rasuah tersebut yakni mencapai Rp13,4 triliun. Dari peristiwa tersebut, kata Nailul, membuktikan bahwa yang rugi tidak hanya negara.
"Ada juga kerugian cukup dalam yang dirasakan dari sisi konsumen," tutur dia.
Itu sebabnya CELIOS, kata Nailul, memilih mendampingi LBH Jakarta untuk membuka pos pengaduan bagi korban Pertamax oplosan. Diharapkan, pembukaan pos pengaduan bagi korban lebih bermanfaat dibandingkan sidak dadakan yang dilakukan oleh Komisi XII DPR pada Kamis kemarin.
"Kasus (pengoplosan) terjadi pada 2018-2023, sidaknya dilakukan pada 2025. Ini kan gak make sense," katanya.
Sementara, Kejaksaan Agung (Kejagung) buka suara soal modus oplos minyak yang dilakukan para terduga kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengungkapkan, Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ada saat ini bukan dari hasil oplosan, dan tak ada kaitannya dengan modus para tersangka yang mengoplos Pertalite jadi Pertamax pada tahun kasus terjadi.
"Jadi jangan ada pemikiran di masyarakat bahwa seolah-olah minyak yang sekarang dipakai itu adalah oplosan, itu enggak tepat," kata dia di Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025.