Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Deretan Ketua Umum PBNU sebelum Yahya Cholil Staquf

Yahya Cholil Staquf (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Jakarta, IDN Times - KH Yahya Cholil Staquf terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2021-2026. Hal itu berdasarkan pemilihan suara dalam Muktamar ke-34 NU digelar di Gedung Serba Guna (GSG) Universitas Lampung (Unila), Jumat (24/12/2021) pagi.

Dia terpilih dengan perolehan suara 337 mengungguli lawannya, KH Said Aqil Siradj yang memperoleh suara sebanyak 201. Dua nama itu dipilih kembali dalam putaran kedua.

Mulanya, pemilihan dilakukan dengan bentuk bakal calon Ketua Umum PBNU. Ada nama Yahya Staquf, Said Aqil, As'ad Ali, Marzuki Mustamar, Ramadan Bayo. Berdasarkan aturan yang ada, bakal calon yang memiliki lebih dari 99 suara, berhak lanjut ke putaran berikutnya. Di putaran ini, hanya Yahya dan Said yang berhak melaju.

Dengan suara terbanyak ini, pria yang akrab disapa Gus Yahya ini akan memimpin kepengurusan PBNU hingga lima tahun ke depan. Mari tengok rekam jejaknya dan deretan ketua umum pendahulu Gus Yahya. Ada siapa saja?

1. Profil Gus Yahya

Yahya Cholil Staquf (ANTARA FOTO/Abdu Faisal)

Kiai yang akrab disapa Gus Yahya merupakan kiai yang yang lahir di Rembang pada 16 Februari 1966. Dia merupakan kakak dari Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.

Gus Yahya semasa kecil menimba ilmu di pesantren Krapyak, Yogyakarta. Gus Yahya kemudian kuliah di Universitas Gadjah Mada dengan menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

Gus Yahya pernah menjadi Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Pada 2018, Gus Yahya dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

Sejumlah kegiatan di kancah global kerap diikuti Gus Yahya. Mulai dari Dewan Eksekutif Agama di Amerika Serikat, kemudian ikut dalam International Religious Freedom (IRF) Summit di Washington, DC, Amerika Serikat dan konferensi tingkat tinggi (KTT).

2. Ketum PBNU dari masa ke masa

Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (nu.or.id)

IDN Times menghimpun sejumlah tokoh yang pernah menjabat ketua umum PBNU sejak berdiri pada 1926. Ketua umum PBNU pertama yakni KH Hasan Gipo.

Dalam kepengurusan PBNU, ada struktur ketua umum dan Rais 'Aam. Pada awal berdiri, sebutannya Rais Akbar. Rais Akbar ini merupakan sebutan untuk pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU yang disematkan kepada KH Hasyim Asy'ari.

Rais Akbar hanya dijabat Kiai Hasyim Asy'ari. Setelah itu, jabatan tertinggi PBNU sebagai Rais 'Aam. Berikut daftar ketua umum PBNU dari masa ke masa:

1926-1929
Rais Akbar: Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari
Ketua Umum: KH Hasan Gipo

1920-1937
Rais Akbar: Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari
Ketua Umum: KH Ahmad Noor

1937-1946
Rais Akbar: Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari
Ketua Umum: KH Mahfudz Siddiq

1946-1947
Rais Akbar: Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari
Ketua Umum: KH Nahwari Thohir

1947-1951
Rais 'Aam: KH Abdul Wahab Hasbullah
Ketua Umum: KH Nahrawi Thohir

1951-1954
Rais 'Aam: KH Abdul Wahab Hasbullah
Ketua Umum: KH Abdul Wahid Hasyim

1954-1956
Rais 'Aam: KH Abdul Wahab Hasbullah
Ketua Umum: KH Muhammad Dahlan

1956-1971
Rais 'Aam: KH Abdul Wahab Hasbullah
Ketua Umum: KH Idham Cholid

1971-1984
Rais 'Aam PBNU: KH Bisri Syansuri
Ketua Umum: KH Idham Cholid

1984-1999
Rais 'Aam: KH Muhammad Ilyas Ruchyat
Ketua Umum: KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur

1994-2010
Rais 'Aam: KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfuz
Ketua Umum: KH Hasyim Muzadi

2010-2015
Rais 'Aam: KH Amad Musthofa Bisri
Ketua Umum: KH Said Aqil Siradj

Said Aqil terpilih kembali menjadi ketua umum PBNU dari 2015-2021. Pada 2015-2018, Rais 'Aam PBNU dijabat KH Ma'ruf Amin. Kemudian digantikan KH Miftachul Akhyar hingga kini.

3. Muktamar NU Minta Pemerintah dan DPR Buat UU Perubahan Iklim

Logo Muktamar ke-34 NU. (dok. Panitia Muktamar ke-34 NU)

Sebelumnya, Muktamar ke-34 NU mendorong pemerintah dan DPR membuat undang-undang secara khusus yang mengatur perubahan iklim. Keputusan ini disepakati peserta dalam Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah yang dilaksanakan di Gedung Serbaguna (GSG) Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, Kamis (23/12/2021).

“Hendaknya diterbitkan landasan hukum yang lebih kuat mengenai kelembagaan dan tata laksana penanganan perubahan iklim yang lebih menyeluruh berupa Undang-undang tentang Perubahan Iklim,” bunyi rekomendasi dalam draf Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah.

UU tersebut perlu melibatkan berbagai pihak dan memuat langkah rencana aksi, mobilisasi pendanaan, sampai dengan pemantauan atas capaiannya, sehingga keberlanjutan kehidupan generasi mendatang terjaga dan lestari. Urgensi UU tersebut mengingat perlunya pemerintah menjaga agar laju emisi gas rumah kaca (GRK) tahunannya berada pada tingkat 1 persen untuk mencapai target unconditional scenario dengan berbagai kebijakan dan langkah strategis serta regulasinya.

Hal tersebut agar mampu berkontribusi pada upaya membatasi pemanasan global kurang dari 1.5 derajat Celcius. UU tersebut juga penting guna memenuhi target terwujudnya puncak emisi GRK nasional pada periode implementasi NDC (tahun 2020-2030).

Untuk itu, pemerintah hendaknya menggeser “beban” sektor kehutanan pada sektor energi dalam NDC Indonesia. Hal itu akan menjadikan upaya yang lebih besar dalam pengendalian perubahan iklim menjadi rasional.

4. Pemerintah perlu terus merestorasi ekosistem hutan

Muktamar ke-34 NU di Lampung (youtube.com/NU Channel)

Di sisi lain, pemerintah juga perlu terus merestorasi ekosistem hutan sebab akan memberikan manfaat pada masyarakat, antara lain menjaga keanekaragaman hayati, menjaga dan memperbaiki sumber daya alam serta jasa lingkungan. Lebih lanjut, usulan pembentukan UU tentang Perubahan Iklim ini juga dilandasi perlunya landasan hukum yang lebih kuat dalam mengatasi isu tersebut.

Sebab, landasan hukum saat ini lebih bersifat pada arahan operasional dalam penanganan perubahan iklim dengan adanya adopsi perjanjian perubahan iklim dan arahan perlunya respons penanganan perubahan iklim dalam UU 32/2009, UU 31/2009, dan PP 46/2016. Selain itu, regulasi yang ada masih belum memfokuskan kepada perubahan dan penanganan iklim.

Anggota Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah, KH Saifullah Ma’shum menjelaskan, perubahan iklim tidak boleh dianggap enteng. Adanya 18 regulasi di semua tingkatan, baik nasional maupun internasional, belum cukup efektif menghindarkan Negeri Zamrud Khatulistiwa ini dari bahaya bencana perubahan iklim.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) itu menegaskan, perlunya koordinasi dan konsistensi semua pihak dalam menerapkan setiap kebijakan dan menerjemahkannya dengan regulasi-regulasi yang ada di bawahnya. Sebab, perubahan iklim yang tidak disikapi secara serius akan memberikan dampak negatif yang besar bagi semua pihak, khususnya para petani yang bekerja dengan mengandalkan faktor alam.

Perjuangan NU untuk memperhatikan perubahan iklim ini sudah dilakukan sejak dahulu. Dalam catatan sejarah, pelestarian lingkungan sudah dibahas sejak Muktamar Ke-28 di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta tahun 1989 dan Muktamar Ke-29 NU di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat tahun 1994. Upaya ini disebut dengan istilah jihad lingkungan.

Hal ini disampaikan oleh perwakilan dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah. Ia juga menegaskan bahwa penting untuk memasukkan landasan Maqashidus Syariah, tujuan ditetapkannya syariat, yakni menjaga agama, menjaga diri, menjaga akal, menjaga harta, menjaga harga diri, hingga menjaga lingkungan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Muhammad Ilman Nafi'an
EditorMuhammad Ilman Nafi'an
Follow Us