Dikritik Bawaslu, KPU Sebut Sirekap Lebih Baik Dibandingkan E-Voting

Jakarta, IDN Times - Sistem Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) pada Pilkada 2020 mendapat kritik dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Penyebabnya, Sirekap dikhawatirkan bisa menimbulkan kerawanan baru usai pemilihan.
Kendati demikian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tetap kekeh menggunakan Sirekap untuk rekapitulasi suara Pilkada 2020, karena dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan Pemungutan Suara Elektronik (e-voting).
”Seperti halnya Korea Selatan yang secara teknologi sudah mumpuni tetapi masih menerapkan pemungutan suara secara manual. Melihat data, kira-kira dari 178 negara yang memiliki lembaga penyelenggara pemilu seperti Indonesia, hanya 46 negara yang menerapkan e-voting.” kata anggota KPU RI Pramono, dalam keterangan tertulis, Rabu (11/11/2020).
Menurut pria kelahiran Jawa Tengah itu, dengan segala kelebihan Sirekap diharapkan menjadi angin segar bagi perbaikan demokrasi elektoral di Indonesia. Apalagi sistem ini juga memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
1. KPU akan terus sosialisasikan Sirekap, dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota

Senada dengan Pramono, anggota KPU RI Viryan mengingatkan, jika pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemilihan harus juga didukung oleh kepercayaan masyarakat.
Oleh sebab itu, KPU akan terus melakukan sosialisasi Sirekap, baik di tingkat pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota.
”Dengan menyosialisasikan dan mengedukasi masyarakat tentang metode baru yang akan digunakan dalam tahapan rekapitulasi, pada Pemilihan Serentak 2020 nanti,” kata Viryan.
2. Bawaslu kritik Sirekap karena akan menyulitkan pihaknya menangani sengketa pilkada

Sebelumnya, anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, pihaknya akan melayangkan surat keberatan kepada KPU terkait penggunakan Sirekap dalam proses penghitungan suara di Pilkada 2020.
Alasannya, proses penanganan sengketa pilkada akan sulit dilakukan oleh Bawaslu lantaran formulir model C.KWK atau kertas yang berisi data perolehan suara pasangan calon (paslon), hanya diunggah ke aplikasi Sirekap tanpa menyertakan penghitungan suara secara manual.
"Nah ini kita akan kesulitan dalam melakukan penanganan pelanggaran. Kita berharap usulan ini nanti bisa disetujui karena besar risiko yang harus kita tanggung. Mudah-mudahan surat Bawaslu bisa direspona secara baik oleh KPU,” kata Dewi melalui keterangan tertulisnya, Senin (10/11/2020).
3. Masyarakat sipil menilai waktu sosialisasi Sirekap oleh KPU terlalu sempit

Tak hanya Bawaslu, koalisi masyarakat sipil pemerhati Pemilu seperti Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Kode Insiatif, hingga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga ikut mengkritik Sirekap.
Peneliti JPPR, Alwan Ola mengatakan, kehadiran Sirekap justru memberikan risiko baru terkait hasil rekapitulasi suara. Sebab, formulir model C.KWK hanya difoto melalui telepon pintar dan diunggah ke aplikasi Sirekap secara berjenjang, mulai dari TPS dikirim ke PPK dan KPU.
Selain itu, lanjut Ola, sosialisasi Sirekap kepada petugas dan peserta terhitung sangat sempit. KPU baru melakukan uji pubik Sirekap pada Jumat, 30 Oktober 2020. Artinya hanya sekitar satu bulan bagi petugas dan pengawasan untuk menguasai penggunaan aplikasi Sirekap tersebut, hingga hari pemilihan pada 9 Desember mendatang.
“Sirekap ini malah memberikan suatu dimensi kerawanan tersendiri. Satu, sejauh mana ketersediaan SDM kita untuk menerima Sirekap. Kedua sejauh mana aspek sosialisasi untuk memberikan pengetahuan kepada teman-teman penyelenggara KPPS dan PPK, dan ketiga adalah apa sudah dilakukan simulasi secara komprehensif, itu juga belum,” kata Ola dalam sesi diskusi daring, Minggu (8/11/2020).