Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Din Syamsuddin Desak Muhammadiyah Tolak Tawaran Jokowi Kelola Tambang

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Intinya sih...
  • Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menolak tawaran izin tambang batubara untuk ormas keagamaan.
  • Din menduga ada motif tersembunyi di balik pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan oleh pemerintah.
  • Din juga menyinggung penolakannya menjadi Utusan Khusus Presiden karena ketidakadilan ekonomi yang tak diatasi oleh pemerintah.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengusulkan agar organisasi yang pernah ia pimpin itu menolak tawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang diberikan oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Menurut Din, izin pengelolaan tambang batubara yang diberikan kepada ormas keagamaan lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya. 

"Saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Presiden Joko Widodo atau Menteri Bahlil. Pemberian itu lebih banyak mudharat dibandingkan maslahat-nya," ujar Din dalam keterangan tertulis, Rabu (5/6/2024). 

Ia menambahkan, pemberian konsesi tambang untuk ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dapat dinilai sebagai bentuk perhatian dari pemerintah kepada ormas-ormas tersebut. Namun, ia menduga ada motif tersembunyi di balik pemberian WIUPK bagi ormas keagamaan.

Ia melihat ada upaya untuk mengambil hati ormas-ormas keagamaan tersebut. Inisiatif itu pun juga dinilai sudah terlambat. 

1. Din sempat usulkan agar pemerintah tak berikan konsesi ke pihak tertentu saja

Presidium Gerakan Penegak Kedaulatan Rakyat (GPKR), Din Syamsuddin, saat berorasi di kawasan Patung Kuda, tolak Putusan MK soal PHPU Pilpres 2024. (IDN Times/Ilman Nafi'an)
Presidium Gerakan Penegak Kedaulatan Rakyat (GPKR), Din Syamsuddin, saat berorasi di kawasan Patung Kuda, tolak Putusan MK soal PHPU Pilpres 2024. (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Din kemudian menyinggung momen dulu ketika diminta menjadi Utusan Khusus Presiden untuk dialog dan kerja sama antar agama serta peradaban. Tetapi, tawaran itu ditolak dua kali olehnya. 

Salah satu alasan Din menolak tawaran menjadi utusan khusus lantaran Presiden Jokowi tak bersedia memenuhi permintaannya agar selaku pemimpin, ia bersedia menanggulangi ketidakadilan ekonomi antara segelintir yang menguasai aset nasional di atas 60 persen dengan umat Islam yang terpuruk di bidang ekonomi. 

"Tetapi, ketika itu Presiden menjawab hal tersebut tidak mudah. Saya katakan mudah seandainya ada kehendak politik (political will). Yang saya mintakan hanya pemerintah melakukan aksi keberpihakan (affirmative actions) dengan menciptakan keadilan ekonomi dan tak hanya memberi konsesi kepada pihak tertentu," ujar Din. 

Menurutnya, pemerintah juga perlu menaikan derajat satu atau dua pengusaha muslim agar setara dengan taipan. Hal tersebut, kata dia, diperlukan agar kesenjangan ekonomi yang berhimpit dengan agama serta etnik tak menimbulkan bom waktu bagi Indonesia. 

"Itu juga jadi salah satu alasan mengapa saya mundur dari posisi tersebut (utusan khusus presiden)," kata dia lagi. 

2. Pemberian izin pengelolaan tambang kepada NU dan Muhammadiyah berpotensi membawa jebakan

Ilustrasi Tambang (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Tambang (IDN Times/Aditya Pratama)

Din juga mengutip pendapat dari pakar, bahwa pemberian izin pengelolaan tambang kepada NU dan Muhammadiyah secara cuma-cuma, bisa berpotensi membawa jebakan. Pakar yang dikutip oleh Din menyebut bahwa sistem tata kelola tambang dengan menggunakan sistem IUP dan kontrak karya berasal dari sistem zaman kolonial berdasarkan UU Pertambangan Zaman Belanda (Indische Mijnwet). 

"Sistem itu kemudian dilanggengkan dengan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020. Sistem IUP ini tidak sesuai konstitusi lantaran tidak menjamin bahwa perolehan negara atau APBN harus lebih besar dari keuntungan bersih penambang," kata Din. 

Selain itu, sistem IUP yang telah digunakan selama bertahun-tahun, disalahgunakan oleh pejabat negara yang diberi wewenang. Mulai dari bupati, gubernur, hingga direktur jenderal dalam mengeluarkan IUP. 

"Kewenangan pemberian IUP itu menjadi sumber korupsi. Jika ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut, maka siapa lagi yang diharapkan memberi solusi," tutur dia lagi. 

3. Muhammadiyah akan godok kebijakan pemerintah yang beri izin pengelolaan tambang

Ketua PP Muhammadiyah, Kiai Saad Ibrahim. (www.muhammadiyah.or.id)
Ketua PP Muhammadiyah, Kiai Saad Ibrahim. (www.muhammadiyah.or.id)

Sementara, Ketua PP Muhammadiyah Kiai Saad Ibrahim mengatakan, pihaknya akan membahas lebih dalam kebijakan baru Presiden Jokowi terkait pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan. PP Muhammadiyah akan melihat lebih dulu sisi positif dan negatif dari kebijakan tersebut. Selain itu, mereka akan mengukur kemampuan sumber daya yang dimiliki. 

"Ini tentu akan kami godok lebih dulu secara baik dan sebagainya. Kami bicara soal segi positif segi negatif. Kemudian juga kemampuan dalam bidang itu. Saya kira ini masih akan kami bahas," ujar Ibrahim di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa 4 Juni 2024. 

Ibrahim berpandangan, pengelolaan usaha tambang adalah sesuatu hal yang baru bagi Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan. Untuk itu, Muhammadiyah tidak ingin tergesa-gesa dalam menyikapi kebijakan tersebut, ataupun menerima setiap tawaran yang diberikan pemerintah.

"Di Muhammadiyah ini adalah persoalan yang baru ya, sehingga karena itu perlu kami juga mempertimbangkan, termasuk mengukur kemampuan dulu. Karena itu nanti akan dibicarakan," tutur dia lagi. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Sunariyah Sunariyah
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us