DPR Buka Wacana Buat Omnibus Law Politik

- Komisi II DPR merancang undang-undang pemilu
- Menunggu keputusan pimpinan DPR terkait arah pembahasan undang-undang pemilu
Jakarta, IDN Times – Komisi II DPR RI kini tengah merancang sebuah langkah besar dalam reformasi sistem politik Indonesia. Salah satu wacana yang tengah bergulir adalah penyusunan aturan politik di Indonesia.
Ada dua pilihan nama undang-undang dikembangkan DPR. Pertama, aturannya diberi judul Omnibus Law Politik. Kedua, Kodifikasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.
Aturan ini digodok untuk menyikapi putusan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu serentak. Wacana ini disampaikan Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizami Karsayuda dalam diskusi bertajuk "Publikasi RUU Pemilu Usulan Masayarakat Sipil: Buku 1 Desain Sistem Pemilu" yang disiarkan di kanal YouTube Perludem, Minggu (20/7/2025).
Pada acara tersebut, Rifqi mengatakan, draf rancangan undang-undang pemilu dari masyarakat sipil sangat membantu kerja Komisi II DPR RI.
“Dengan telah dipresentasikannya buku ke-1 dari rancangan kodifikasi undang-undang pemilu oleh teman-teman masyarakat sipil pada kesempatan pagi hari ini saya kira ini mengurangi beban sekian persen dari tugas Komisi II DPR RI dan itu tentu satu hal yang sangat positif bagi kami,” ujar Rifqi.
1. Komisi II masih menunggu keputusan pimpinan DPR

Saat ini, Komisi II DPR masih menunggu keputusan resmi dari pimpinan DPR terkait arah pembahasan undang-undang pemilu. Rifqi menegaskan, semua proses legislasi harus mengacu pada mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang MD3 dan tata tertib DPR.
“Penugasan di bidang legislasi untuk membahas satu rancangan undang-undang baik atas inisiatif sendiri dari DPR dan atau merupakan inisiatif dari pemerintah itu harus diputuskan petugasnya pada rapim dan atau rapat Badan Musyawarah DPR,” kata Rifqi.
Komisi II sebelumnya telah mengajukan sejumlah rancangan undang-undang yang diharapkan menjadi fokus mereka. Usulan tersebut meliputi berbagai aspek politik, pemerintahan daerah, dan kepemiluan.
“Pada saat itu kami usulkan bentuknya bisa satu per satu, omnibus law, atau kodifikasi undang-undang,” ucap dia.
2. Komisi II DPR masih membahas penamaan UU

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), terdapat nomenklatur tentang kodifikasi undang-undang pemilu. Namun, menurut Rifqi, di DPR sendiri, khususnya Komisi II, masih terdapat perbedaan pandangan terkait model regulasi yang akan dipilih.
“Di DPR terutama di Komisi II DPR itu masih terjadi dalam varian pandangan, belum perdebatan,” ujar dia.
Dua arus besar kini berkembang di Komisi II DPR, yaitu antara model Omnibus Law Politik dan Kodifikasi Undang-Undang Pemilu. Rifqi menyebut, perdebatan soal bentuk masih berlangsung, tetapi adanya draf dari masyarakat sipil membantu untuk memperjelas isi dari rancangan undang-undang tersebut.
“Dengan adanya rancangan atau draf Rancangan Undang-Undang Pemilu dalam bentuk kodifikasi yang akan disampaikan oleh masyarakat sipil, salah satunya ke DPR ke Komisi II DPR, menurut saya kita sudah bisa melihat isi jadi bentuk dan isi yang akan kemudian menjadi perdebatan yang jauh lebih substansi,” ucap dia.
Lebih lanjut, Rifqi menjelaskan, isi RUU Pemilu nanti kemungkinan akan dibagi menjadi beberapa bab besar. Salah satu bab penting adalah pengaturan tentang partai politik, mulai dari pendirian hingga pembubaran partai.
“Ketentuan terkait dengan partai politik mulai dari syarat pendirian partai politik sampai ketentuan tentang pembekuan dan atau pembubaran partai politik dan seterusnya harus diatur di bab tersendiri,” kata dia.
Selain itu, bab penting lainnya mencakup penyelenggaraan pemilu, termasuk pemilu nasional, lokal, dan tahapan teknisnya.
“Kami juga mau memperkenalkan hukum acara sengketa pemilu yang saya kira tadi perlu dong juga dengan bab yang agak berbeda juga menyentuh soal ini,” ujar dia.
3. Singgung politik uang tak bisa dihilangkan saat kampanye

Rifqi menilai, sistem hukum pemilu saat ini masih memungkinkan berbagai celah sengketa yang mempengaruhi hasil pemilu bahkan setelah penetapan. Ia mencontohkan kasus di mana rekapitulasi suara bisa berubah di tingkat provinsi tetapi tidak ada mekanisme hukum yang tegas mengaturnya.
“Penegakan hukum di bidang kepemiluan kita itu memang perlu kita rapikan sedikit,” ucap Rifqi.
Ia juga menyoroti perlunya pengaturan kampanye dan keuangan politik yang lebih transparan. Menurut Rifqi, perbaikan regulasi tentang dana kampanye sangat penting untuk mengurangi politik uang yang marak terjadi.
“Keuangan politik ini termasuk misalnya ide terkait dengan mohon maaf ini cara kita untuk mengurangi politik uang,” kata dia.
Dia mengaku sangat senang apabila biaya politik bisa dikurangi pada saat pemilu. Namun, Rifqi menyadari, politik uang tak bisa dihilangkan.
"Saya politisi dua kali ikut pemilu, jujur saya sangat senang kalau kita bisa kurangi atau kalau menghilangkan mungkin sulit soal politik uang," kata dia.
Rifqi menegaskan, politik uang menciptakan ketidakadilan dalam pemilu karena seringkali kandidat yang tidak aktif di parlemen justru terpilih berkat kekuatan finansial. Ia menyebutkan perlunya sistem dana kampanye yang bisa diaudit secara terbuka untuk mengurangi praktik semacam itu.
“Seorang politisi itu otaknya dibelah dua, otak kanan dia berpikir bagaimana daya elektoral dia itu bisa kuat, tetapi otak kirinya harus dipaksa juga memastikan daya finansialnya cukup untuk ikut dalam pemilu,” ujar dia.
Menurut Rifqi, wacana Omnibus Law Politik atau Kodifikasi Undang-Undang Pemilu masih terus digodok dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil. Ia berharap, undang-undang baru nanti dapat memberikan solusi menyeluruh terhadap berbagai persoalan yang selama ini menghantui proses demokrasi di Indonesia.