DPR Sentil Mendagri Tito Tunda Pelantikan Kepala Daerah Secara Sepihak

- Mendagri Tito Karnavian memundurkan jadwal pelantikan kepala daerah tanpa konsultasi ke DPR, menuai kritik dari anggota Komisi II DPR.
- Komisi II DPR meminta penjelasan terkait pengunduran jadwal pelantikan kepala daerah yang dianggap melanggar aturan dan tidak melibatkan mereka.
- Pengunduran jadwal pelantikan juga menimbulkan perdebatan terkait putusan MK No.27/PUU-XXII/2024 dan Perpres Nomor 80 Tahun 2024 terkait pelaksanaan pemilihan ulang di beberapa daerah.
Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi II DPR Fraksi PKB, Mohammad Toha mengkritisi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian karena dianggap memundurkan jadwal pelantikan kepala daerah terpilih secara sepihak. Tito mengumumkan pengunduran pelantikam tanpa lebih dulu konsultasi ke DPR.
Oleh sebab itu, Komisi II DPR meminta penjelasan kepada Mendagri terkait isu pengunduran jadwal pelantikan kepala daeraha tersebut. Awalnya, Kemendagri dijadwalkan menggelar pelantikan pada 6 Februari, tetapi akhirnya diundur antara 18-20 Februari.
1. Mendagri disentil karena tidak melibatkan Komisi II DPR

Toha menilai, pengunduran pelantikan kepala daerah itu menyalahi aturan, karena tidak melibatkan Komisi II DPR RI dalam penentuan jadwal pelantikan.
"DPR RI (Komisi II) tidak dilibatkan dalam pemunduran jadual. Ini menyalahi aturan, bahwa semua terkait kepemiluan harus melibatkan DPR dan mitra kerja," ucap Toha dalam keterangannya, Senin (03/02/2025).
2. Tidak sesuai hasil rapat

Ia menegaskan, pengunduran jadwal pelantikan kepala daerah tidak sesuai dengan keputusan rapat antara DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu.
Dalam rapat pada 22 Januari 2025, DPR RI bersama Kemendagri, KPU, Bawaslu, DKPP menyepakati pelantikan 296 kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 yang tidak bersengketa di MK digelar pada 6 Februari 2025.
Kendati begitu, Toha tak memungkiri, kesimpulan dalam rapat DPR itu mengabaikan Putusan MK No.27/PUU-XXII/2024 yang menyatakan pelantikan kepala daerah secara serentak dilakukan setelah MK menyelesaikan perselisihan hasil pilkada untuk perkara yang tidak dapat diterima dan ditolak. Namun, putusan MK terkait pemilu atau pilkada ini open legal policy, atau DPR dapat melakukan constitutional enginering, selama tidak berlawanan UUD 1945.
"Kecuali bagi daerah-daerah yang dalam sengketa di MK diputuskan pelaksanaan pemilihan ulang, atau pemungutan suara ulang, atau penghitungan suara ulang," bebernya.
Kesimpulan dalam rapat DPR juga berusaha menganulir Perpres Nomor 80 Tahun 2024 yang memerintahkan pelantikan gubernur hasil Pilkada serentak 2024 akan dilaksanakan secara serentak pada 7 Februari 2025. Sementara, pelantikan bupati/wali kota akan berlangsung serentak pada 10 Februari 2025. Ketentuan dasar Pelantikan termaktub dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Lebih lanjut, Toha menambahkan, kabarnya MK berencana membacakan putusan dismissal untuk 310 sengketa hasil Pilkada Serentak 2024 pada 4 dan 5 Februari 2025.
Ia mengatakan, perlu dipikirkan nasib daerah yang berdasarkan putusan MK harus melakukan pemungutan suara ulang (PSU), termasuk dua daerah yang akan menyelenggarakan pilkada ulang akibat kalah dengan kotak kosong.
Toha mengusulkan agar pelantikan diserentakkan untuk tahap kedua. Selain itu, konsekuensi dari perubahan UU Pilkada agar pada keberkalaan lima tahunan selanjutnya daerah-daerah yang mengikuti pelantikan serentak tahap II, akan ikut pilkada serentak dengan pelantikan serentak tahap I.
"Usulan ini dimaksudkan agar tidak lagi mengacaukan keserentakan pilkada nasional yang telah dirancang dalam 5 gelombang (2015, 2017, 2018, 2020,2014)," imbuhnya.
3. Pelantikan kepala daerah yang semula 6 Februari diundur

Sebelumnya, Mendagri Tito menegaskan, jadwal pelantikan kepala daerah yang tidak punya sengketa di MK akan diundur. Semula kepala daerah tersebut akan dilantik pada Kamis, 6 Februari 2024.
Diundurnya pelantikan kepala daerah tersebut agar kepala daerah terpilih yang bersengketa maupun yang sudah ada putusan dismissal, bisa dilantik bersamaan.
"Yang 6 Februari karena disatukan dengan non sengketa dengan MK, dismissal, maka otomatis yang 6 Februari kita batalkan, kita secepat mungkin lakukan pelantikan yang lebih besar," ujar Tito di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Jumat (31/1/2025).
"Beliau berprinsip kalau jaraknya nggak jauh, untuk efisiensi sebaiknya satukan saja, yang non sengketa dan dismissal, untuk efisiensi," sambung dia.
Tito menjelaskan, kemungkinan besar pelantikan yang akan diikuti lebih banyak lagi kepala daerah terpilih itu akan digelar di antara 17-20 Februari 2025. Hal tersebut disesuaikan dengan proses pasca putusan dismissal MK di KPU RI, KPU Daerah, hingga DPRD.
"Nah dari situ kira-kira ya lebih kurang 12 sampai 14 hari kalau dihitung semenjak apa semenjak tanggal 5 putusan dismissal, artinya kira-kira tanggal 17, 18, 19, 20 Februari 2025. Nah ini yang nanti akan diputuskan oleh Bapak Presiden karena jadwal dan acara pelantikan diatur dengan Peraturan Presiden artinya kami akan setelah mengetahui eksersis ketemu MK, KPU, Bawaslu dan lain-lain," imbuh dia.
Adapun, awalnya pelantikan kepala daerah yang tidak bersengketa akan digelar 6 Februari 2025. Namun karena MK memajukan pembacaan putusan dismissal menjadi 4 sampai 5 Februari 2025. Maka pelantikan kepala daerah yang tak bersengketa dan sudah ada putusan dismissal, akan dilantik bersamaan.
Semula, MK dijadwalkan akan menggelar pembacaan putusan dismissal pada 11 sampai 13 Februari 2025.