Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Anggota Legislatif Mundur Untuk Maju Pilkada Rugikan Sistem Demokrasi

Gedung MK (Foto: IDN Times)
Gedung MK (Foto: IDN Times)
Intinya sih...
  • Menurut para Pemohon, fenomena anggota legislatif yang mundur untuk maju pilkada dapat merugikan sistem demokrasi karena menimbulkan kerugian aktual dan potensial bagi pemilih.
  • Pengunduran diri caleg terpilih dianggap mengkhianati suara rakyat dan membuka peluang bagi partai politik untuk mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya.
  • Para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan frasa tertentu dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Jakarta, IDN Times - Para Pemohon Perkara Nomor 88/PUU-XXIII/2025 menyampaikan perbaikan permohonan pengujian materi Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Menurut para Pemohon, fenomena anggota legislatif yang mundur untuk maju mengikuti kontestasi pilkada dapat merugikan sistem demokrasi.

“Tidak menutup suatu kemungkinan fenomena yang merugikan sistem demokrasi ini dapat terjadi di daerah para Pemohon pada pemilihan ke depannya,” kata Wianda Julita Maharani dan Adam Imam Hamdana, para Pemohon yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah yang mengikuti persidangan secara daring.

1. Dinilai menimbulkan kerugian aktual dan potensial

Ilustrasi Gedung MK (mkri.id)
Ilustrasi Gedung MK (mkri.id)

Pemohon mengatakan, akibat berlakunya pasal yang diuji menimbulkan kerugian aktual dan potensial. Menurutnya, sebagai pemilih tidak ada jaminan bahwa mandat yang telah diberikan dapat tersalurkan secara utuh karena terjadinya pengunduran diri sebagai anggota legislatif yang baru terlantik sebab mengikuti kontestasi pilkada maupun pemungutan suara ulang (PSU) pilkada di beberapa daerah.

Sebelumnya, para Pemohon menilai fenomena tersebut merupakan bentuk pengabaian terhadap mandat rakyat. Karena itu, para Pemohon menilai pasal yang diuji bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.

“Penegasian terhadap suara rakyat itu adalah hal yang inkonstitusional. Bahwa meskipun sudah sangat jelas namun ternyata ada celah yakni adanya pasal a quo yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengunduran diri bagi calon terlantik dan maju dalam kontestasi pilkada,” ujar Adam yang mengikuti sidang pendahuluan Perkara Nomor 88/PUU-XXIII/2025 bersama Wianda secara daring pada Rabu (4/6/2025).

2. Pengunduran diri caleg terpilih mengkhianati suara rakyat

Suasana depan Gedung MK jelang aksi demo terkait RUU Pilkada pada Kamis (22/8/2024). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)
Suasana depan Gedung MK jelang aksi demo terkait RUU Pilkada pada Kamis (22/8/2024). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Para Pemohon menjelaskan, sebagaimana pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 176/PUU-XXII/2024 atas pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), MK mengatakan, setelah caleg terpilih maka calon terpilih akan menjadi wakil rakyat yang tidak bisa dengan semena-mena dilakukan penggantian baik oleh partai politik maupun dengan pengunduran diri atas kehendak calon terpilih sendiri. Penggantian yang dilakukan dengan ketidakjelasan alasan apalagi alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan akan mengkhianati suara rakyat yang telah diberikan saat pemungutan suara dalam pemilihan umum calon anggota legislatif.

Namun, para Pemohon mengatakan, penafsiran MK tersebut tidak dapat diimplementasikan ketika Pasal 7 huruf s UU Pilkada masih berlaku. Menurut para Pemohon, pasal a quo membuka peluang bahkan bagi anggota legislatif yang baru saja dilantik untuk mundur dan mencalonkan diri atau dicalonkan untuk mengikuti pilkada yang sesungguhnya tidak selaras dengan semangat penghargaan terhadap mandat rakyat sebagaimana Putusan MK Nomor 176/PUU-XXII/2024.

“Akibat masih dinormakannya pasal a quo tanpa pembatasan dan pemaknaan yang konkret ternyata membuat salah tafsir,” kata Adam.

Menurut para Pemohon, seharusnya terdapat mekanisme pembatasan seperti seseorang menjabat sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD periode 2024-2029 tidak diperbolehkan mengikuti kontestasi pilkada masa jabatan 2024-2029. Sebab, pilkada tersebut memiliki periode jabatan yang sama dengan periode keanggotaan legislatif.

Para Pemohon menilai dengan tetap dinormakannya pasal a quo tanpa pembatasan yang jelas maka berpotensi mereduksi bahkan mendistorsi prinsip kedaulatan rakyat. Sebab, keanggotaan DPR, DPD, DPRD barangkali baru dijalankan dalam tempo yang singkat, sehingga belum dapat dikatakan menyampaikan mandat rakyat.

Para Pemohon juga mengatakan, tanpa adanya pembatasan yang jelas maka pasal a quo dapat dijadikan sarana bagi partai politik untuk mengangkangi Putusan MK 176/PUU-XXII/2024. Putusan MK tersebut mewajibkan partai politik untuk memiliki arah pengkaderan partai yang jelas, sehingga memiliki blueprint kader-kader yang akan diikutkan dalam kontestasi legislatif dan kader-kader yang akan diikutkan dalam kontestasi pilkada. Tanpa adanya pembatasan pasal a quo maka partai politik akan dapat mengakali kewajiban tersebut.

Pasal a quo justru membuat partai politik tetap dapat mencalonkan kader-kader yang awalnya ditugaskan dalam lembaga legislatif karena masih ada dasar hukum yang melegalisasi perbuatan tersebut. Karenanya, penting bagi MK untuk menutup celah yang ada agar prinsip demokrasi terwujud.

3. Petitum permohonan Pemohon

Ilustrasi gedung MK (IDN Times/Axel Joshua Harianja)
Ilustrasi gedung MK (IDN Times/Axel Joshua Harianja)

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada MK untuk mengabulkan permohonannya dengan menyatakan frasa “menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan;” dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pemohon meminta agar pasal itu diubah menjadi, “tidak sedang menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan periode yang sama dengan pelaksanaan Pemilihan, namun diperbolehkan untuk mencalonkan diri atau dicalonkan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk Pemilihan periode selanjutnya setelah menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan;”.

Sebagai informasi, Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada menyebutkan, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a…..; b…..; c…..; d…..; e…..; f…..; g…..; h…..; i…..; j…..; k…..; l…..; m…..; n…..; o…..; p…..; q…..; r…..; s. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan; t…..; u…..;” Menurut Pemohon, pasal yang diuji ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us