Guru SD di Bogor Diduga Lecehkan 30 Muridnya Sejak Akhir 2022

Jakarta, IDN Times - Sebanyak 30 murid sekolah dasar (SD) diduga dicabuli oleh gurunya di Bogor, Jawa Barat. Diduga pelecehan seksual ini dilakukan sejak akhir 2022 hingga Mei 2023. Usia korban bervariasi, mulai dari 10-11 tahun dan duduk di kelas lima hingga enam SD.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam kasus tersebut, dan meminta polisi bisa mengusut tuntas kasus ini.
“Kami jajaran KemenPPPA menyayangkan terjadinya kasus pencabulan terhadap beberapa murid di salah satu sekolah di Kota Bogor. Terduga pelaku adalah seorang wali kelas yang harusnya membimbing dan melindungi murid-muridnya, serta dipercaya oleh para orang tua,” kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, dalam keterangan tertulis, Jumat (15/9/2023).
Nahar berharap, jangan sampai ada korban yang tidak mendapatkan penanganan dan memendam trauma berkepanjangan sampai dewasa nanti.
1. Berdampak pada kondisi mental anak jadi tidak mau sekolah

Adapun jumlah korban yang melapor ke polisi sebanyak lima orang, dan empat di antaranya telah diberikan pendampingan. Namun demikian, jumlah korban diduga mencapai 30 anak.
Nahar mengatakan, dari hasil asesmen psikologi awal ditemukan indikasi kondisi mental mereka.
“Hasil asesmen psikologi awal ditemukan indikasi kondisi mental anak yang cukup berdampak seperti penurunan motivasi belajar di sekolah,” kata dia.
Nahar mengungkapkan, anak-anak masih merasa sekolah merupakan tempat yang tidak aman dan nyaman untuk belajar, sehingga perilaku anak cenderung malas untuk sekolah.
2. Polisi didesak hukum pelaku pakai UU TPKS

Nahar mendorong penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual ini tidak dilakukan di luar proses peradilan atau restorative justice . Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Guru yang diduga melecehkan siswanya ini dapat dijerat dengan Pasal 82 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
“Pelaku terancam pidana penjara paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp5 miliar. Jika dalam hal ini dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidikan, atau pengasuh anak dan juga mencabuli lebih dari satu orang, maka dapat dikenakan tambahan sepertiga dari ancaman pidana,” kata Nahar.
3. UPTD PPPA dan sekolah diminta kuatkan orang tua korban
.jpg)
Nahar mendorong UPTD PPA dan pihak sekolah menguatkan orang tua korban, dan mengedukasi para orang tua yang anaknya diduga mengalami kekerasan seksual.
Hal itu diharapkan bisa mendorong lebih banyak korban dan keluarga korban untuk melaporkan kasusnya. Kurangnya pendampingan dari orang tua terkait kondisi anak, kata Nahar, menjadi pemicu anak tidak mendapatkan dukungan emosional dari sosok terdekat atau orang yang dipercayai.
Dampaknya anak akan sulit menemukan sosok yang bisa membantu dalam proses resiliensi ataupun mengekspresikan emosi, sehingga dapat membantu anak dalam proses pemulihan psikisnya ke depan. Pendamping anak pun perlu memberikan keterampilan manajemen emosi agar anak dapat mengelola emosi negatif yang dirasakan anak dengan baik dan benar.
“Pihak sekolah diharapkan bisa mendukung penyelesaian kasus kekerasan seksual yang terjadi. Mulai dari terus melakukan koordinasi dengan pihak atau lembaga terkait dalam rangka penyelesaian tindak kekerasan, hingga menjamin hak peserta didik yang menjadi korban agar mereka bisa terus mengenyam pendidikan tanpa stigma,” katanya.


















