Iman Usman: Teknologi Dongkrak Peran Guru agar Pendidikan Sukses

Jakarta, IDN Times – Dari berbagai macam solusi pendidikan, guru merupakan solusi yang paling penting. Berangkat dari kepercayaan itu, Iman Usman mendirikan Ruangguru. Iman menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara di stage Visionary Leaders pada gelaran Indonesia Millenial Summit (IMS) 2020.
Hadir satu panggung dengan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, dalam IMS 2020 yang digelar IDN Times di The Tribrata, Dharmawangsa, Jakarta Selatan pada 17-18 Januari lalu itu, Iman berbagi banyak hal tentang dunia pendidikan dan pengalamannya di Ruangguru.
"Guru itu jadi solusi, salah satu yang paling penting, kenapa? Karena saya percaya mau kurikulumnya diubah mau infrastrukturnya diperbarui sebagus apa pun, mau dibikin seperti apa sekolahnya, tapi kalau kita tidak bisa memastikan bahwa guru yang ada di kelas itu bagus maka kita tidak akan bisa melihat kualitas yang seharusnya bisa diterima oleh anak-anak?"
Pemaparan pendiri dan Chief of Product dan Partnership dari Ruangguru itu mengawali sesi diskusi dengan tema Education 4.0: Building Human Resource for the Future.
1. Kondisi guru di Indonesia belum sesuai dengan standar dunia

Kala Iman dengan semangat naik ke atas panggung Visionary Leaders, suasana mendadak hening, para peserta seakan siap menyimak dengan serius bagaimana Iman memberi pandangan tentang kondisi pendidikan di Indonesia saat ini.
“Saya nggak akan panjang lebar cerita tentang masalah pendidikan tadi Mas Nadiem udah sempat cerita juga tentang beberapa challenge yang akan kita hadapin,” kata Iman yang dapat gilaran berbicara setelah Nadiem Makarim.
"Ada banyak penelitian yang ngomongin tentang guru, ini salah satunya bahwa kalau sebenarnya anak-anak kita itu diajar oleh guru-guru yang 50 top fiveteen precent jadi yang paling atas, top 50 percents itu bedanya bisa sampai 53 poin, dengan kalau mereka itu kalau diajar oleh guru-guru yang di bawah," kata Iman.
Tapi sayangnya, lanjut Iman, kondisi kualitas guru di Indonesia saat ini belum sesuai
sama yang diharapkan. Mengutip World Bank, menurutnya, lebih dari 50 persen guru di Indonesia saat ini dianggap tidak qualified untuk mengajar.
"For whatever reasons dan ada hasil ujian kompetensi guru. Jadi kalau misalnya anak kan ada yang namanya ujian nasional, guru tuh ada ujiannya namanya UKG uji kompetensi guru," sambungnya.
Secara nasional, rata-rata nilai yang dicapai guru-guru Indonesia hanya 54,62. Padahal, passing grade yang ditetapkan untuk kelulusan itu 80. "Jadi bayangin misalnya teman-teman mengajar matematika di tes diujikan misalnya belajar pelajaran matematika juga. skornya 54,62 rata-ratanya bahkan yang tertinggi aja itu di Jogja, itu skornya masih 67," imbuh Iman.
2. Perlu bantuan teknologi untuk mengoptimalisasi peran guru dalam pendidikan

Dengan kualitas seperti itu, Iman menilai, sulit untuk melakukan lompatan yang signifikan. Dia pun menyebutkan cara agar bisa mengakselerasi kualitas guru di antaranya training para guru, reformasi di pendidikan bagi guru yang sedang mengajar saat ini.
"Tapi juga kita gak bisa nunggu puluhan tahun sampai akhirnya guru-guru kita masuk ke era yang baru gitu. Jadi gimana caranya dan di situ akhirnya peran teknologi datang. Itu yang kita Kerjakan di Ruangguru," kata Iman.
Dia mengatakan banyak orang yang mengira teknologi itu hanya untuk enable accses. "Padahal enggak. Yes, memang betul kalau misalnya ada teknologi ada internet, akses akan jauh lebih mudah, orang-orang yang tadinya gak bisa memperoleh pendidikan yang bagus jadinya bisa. Tapi sebenarnya jauh lebih daripada itu," kata dia.
Teknologi, pada akhirnya, bisa membuat proses menjadi jauh lebih efektif dan efisien. Di Iman menceritakan yang dia kerjakan saat ini bukan hanya membuat konten digital untuk pengajaran. Tapi juga, bagaimana dengan teknologi, data bisa membuat proses belajar itu jadi lebih efektif dan efisien.
"Bukan cuman pada akhirnya gimana sih mendigitalisasi pelajaran 12 tahun sekolah, semua pelajaran, semua kurikulum yang dipakai, bukan cuman itu karena itu jadinya cuma library of content," jelasnya.
Dia menyayangkan saat ini sistem pendidikan di Indonesia masih berpatokan pada satu ukuran yang diseragamkan, one size fits all.
3. Artificial intelligence dapat membantu personalisasi pengalaman belajar sesuai kemampuan masing-masing siswa

Iman mengatakan dia berusaha mengoptimalisasi penggunaan artificial intelligence untuk membuat belajar itu menjadi jauh lebih personalize. Sebab, pengalaman belajar setiap siswa berbeda-beda berdasarkan kemampuannya menangkap materi, menguasai suatu pelajaran.
"Jadi saya yang status belajarnya ada di sini dan saya mau pindah ke sana dan mungkin teman saya status belajarnya tadi agak lebih maju sedikit. Itu pengalaman belajarnya, semestinya harus berbeda.
Untuk itu, menurutnya, yang pertama perlu mereka lakukan ialah merekomendasikan konten-konten yang dibutuhkan. "Jadi dengan data, kita tahu bahwa oh anak ini tadi misalnya dia harusnya belajar aljabar, harusnya kalau dia belajar aljabar ini ada prerequisite yang dia kuasai dulu sebelum dia belajar aljabar, misalnya."
Yang kedua adalah bagaimana kemudian membuat proses belajar itu menjadi jauh lebih dinamis. Dia mengambil contoh dari sebuah series di Netflix berjudul Black Mirror. "Jadi yang menarik dari bandersnatch adalah orang, user itu diajak untuk terlibat, untuk memperkirakan kira-kira jalan ceritanya seperti apa," paparnya.
Dia mengatakan konsep yang sama itu juga bisa dilakukan di pendidikan. Anak bahkan bisa memilih gurunya. "Mau belajar sama siapa ya saya lebih enak kalau diajarin sama guru yang ngomongnya cepet-cepet, karena saya daya tangkapnya cepet atau mungkin yang lebih gaul itu style-nya, atau misalnya mungkin yang jauh lebih serius gitu ya, atau misalnya berdasarkan kebutuhan saya."
Dengan bantuan teknologi seperti itu, konten pun bisa diulang jika anak belum mengerti, tidak langsung dilanjutkan. Menurutnya, itulah kekuatan teknologi yang mungkin sulit kalau dilakukan di ruang kelas di mana muridnya bisa mencapai 40 orang dan setiap orang punya kebutuhan dan status belajar yang berbeda-beda.
4. Iman memperkenalkan model-model inovasi pembelajaran di Ruangguru

Inovasi-inovasi seperti itu, kata Iman, bukan hanya bisa dilakukan dalam konteks pendidikan formal siswa SD, SMP dan SMA. "Yang kita lakukan pada akhirnya kemudian adalah membawa inovasi-inovasi ini ke tempat-tempat yang tadinya mungkin tidak diekspektasi."
Dia lantas menceritakan Brain Academy, sebuah offline learning center, "kita mencoba untuk merevisi kembali kira-kira seperti apa sih ya harusnya offline institution it harusnya berperilaku di abad 21 ini."
Dengan respon dengan tantangan yang dihadapi, siswa seharusnya datang tidak hanya mendengarkan guru tapi juga belajar dari device yang disediakan dengan konten digital. Guru ada untuk memfasilitasi, "coach, dia bisa ngarahin kalau anaknya punya pertanyaan bisa langsung dijawab dan seterusnya."
Dia juga menceritakan Skill Academy. Dengan tantangan di universitas saat ini, mereka berusaha agar apa yang dipelajari relevan seperti kebutuhan pasar industri alias dunia kerja.
Dengan membawa inovasi tersebut ke dalam konteks dunia kerja, mereka membuat ruang kerja yang saat ini dipakai berbagai macam perusahaan atau organisasi, untuk melakukan training tapi di dalam perusahaannya. Dia mengatakan permasalahan human capital tidak hanya ditemukan di dalam ruang kelas saja "Even in the workplace the problem is as big and as difficult as the school."
"Gimana caranya orang-orang ini bisa kita keep up, bisa cacth up dengan semua yang dibutuhkan. Mereka bisa belajar science, mereka bisa belajar coding, bisa belajar digital marketing, bisa belajar bahkan anger management dan lain-lain," lanjutnya.
Di saat yang sama, kata Iman, ada banyak skil-skil yang penting yang penting yang tidak diajarkan di sekolah, "yang tadi Mas Nadiem cerita ada critical thinking, creative thinking , dia collaboration, bagaimana dia misalnya bisa kritis dan seterusnya, itu ada di dalam kurikulumnya."
5. Ruangguru jangkau setiap orang dari berbagai latarbelakang dan keadaan

Ruangguru, menurutnya, bukan hanya ada di kota besar bukan lagi untuk orang-orang yang mampu, "karena pada faktanya saat ini pun 70 persen pengguna kami itu ada di kota tir 2 tir 3 dari tatus ekonomi status b dan c," imbuhnya.
Justru bagi mereka, kata Iman, belajar lewat aplikasi belajar itu menjadi alternatif yang mereka punya. Mereka tidak punya kesempatan yang ideal dalam ukuran kebanyakan orang.
Dia juga menunjukkan sebuah video seorang murid Ruangguru yang merupakan seorang yang difable bernama Putri yang buta 100 persen, Iman sendiri tidak menyangka bahwa karyanya, yakni Ruangguru, dapat dijangkau siapa pun dan dari kalangan mana pun.
"Orang yang tadinya gak punya kesempatan, sekarang jadi punya kesempatan sekarang kita lagi bikin gimana caranya misalnya ada auto subtitle generator, jadi gak perlu dibikin manual sama orang tapi semua video kita punya subtitle-nya sehingga teman-teman yang tuli misalnya bisa mendapatkan manfaat dari video kita dengan membaca subtitlenya misalnya,” kata dia.
6. Pendidikan bukan tanggung jawab guru, sekolah, dan pemerintah

Iman membeberkan fakta bahwa 42 persen pelajar di Indonesia saat ini kemampuannya masih di bawah standar rata-rata PISA, atau dalam bahasa Indonesia disebut Program Penilaian Pelajar Internasional. PISA adalah penilaian tingkat dunia yang diselenggarakan setiap tiga tahun, guna menguji performa akademis anak sekolah berusia 15 tahun.
Iman menjelaskan bahwa hanya 0,8 persen pelajar Indonesia yang bisa mencapai rata-rata PISA di tiga mata pelajaran yang diujiankan, yakni maths, literacy, dan science. Dengan fakta seperti itu, dia menilai perlu peran dari semua pihak untuk mengatasi persoalan di dunia pendidikan.
Dia pun mengutip konsep yang disampaikan Menteri Pendidikan Nadiem Makarin tentang merdeka belajar. Dengan konsep yang ditawarkannya, Iman mengajak bagaimana agar lebih banyak orang lagi di Indonesia bisa mengenyam pendidikan yang baik.
Melalui Ruangguru, Iman mengundang seluruh pihak untuk menganggap pendidikan itu sebagai sebuah gerakan. Sebab, tugas mendidik itu bukan hanya tanggung jawab guru, pemerintah, dan orang yang bekerja di dunia pendidikan.
"Tugas mendidik itu adalah tugas dari setiap orang yang terdidik," tuturnya menutup diskusi.
IDN Times menggelar Indonesia Millennial Summit 2020. Acara akbar tahunan yang berlangsung pada 17-18 Januari 2020 itu mengusung tema "Shaping Indonesia's Future". IMS 2020 menghadirkan 131 pembicara kompeten di berbagai bidang, dari politik, ekonomi, bisnis, olahraga, budaya, lintas agama, sosial, lingkungan sampai kepemimpinan millennial.
Terdapat beberapa stage yang menampilkan pembicara berpengalaman di bidangnya masing-masing. Mulai dari stage Visionary Leaders (VL), Future is Female, Talent Trifecta dan Hijrah. Sebanyak 6.500 orang menjadi peserta di acara ini, sebagian besar dari kalangan millennial dan Gen Z di Indonesia.
Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App. Unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb