Ketika Memelihara Buaya Tak Lagi Sebatas Hobi

Oleh Irma Mufikah
BANYUMAS, Indonesia —Buaya selama ini dikenal predator buas yang susah dijinakkan. Oleh sebagian masyarakat, keberadaannya bahkan dianggap ancaman karena kerap berkonflik dengan manusia hingga jatuh korban. Tak ayal, mereka memilih menghindar atau membunuh satwa itu sekalian ketimbang hidup berdampingan.
Namun tidak bagi Fatah Arif Suyanto, warga Desa Dawuhan Kulon Kecamatan Kedungbanteng Banyumas. Penyuka binatang reptil itu memilih bersahabat dengan predator galak tersebut. Tak tanggung-tanggung, saat ini, pria itu memelihara 26 buaya yang ditempatkan di beberapa petak kolam seluas 750 meter persegi dekat rumahnya.
Pagi itu, Fatah memulai aktivitasnya, memberi pakan buaya dengan cara melempar daging ayam ke daratan kolam. Keheningan kolam seketika pecah. Guntur, buaya sepanjang 3,5 meter dengan bobot 2,5 kuintal yang mulanya diam seketika meluncur membelah muka air. Hanya dalam hitungan detik, buaya tersebut berhasil mencaplok utuh daging afkiran itu.
“Saya namakan Guntur karena ini berasal dari daerah Guntur, Demak. Tadinya buaya ini dipelihara di pondok pesantren selama 22 tahun sebelum dibawa ke sini,” katanya pada Rappler beberapa saat yang lalu.

Sebanyak 26 buaya koleksinya ditempatkan di kolam terpisah yang ditutup kerangkeng besi. Setiap kolam ada yang ditempati hanya seekor, juga ada yang dihuni beberapa ekor sekaligus. Tidak semua buaya yang ia rawat itu miliknya. Sebagian di antaranya merupakan titipan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jateng. Setahun terakhir ini, Fatah dipercaya oleh BKSDA untuk merawat buaya tangkapan atau penyerahan dari warga.
Kepercayaan yang diberikan kepada Fatah bukan tanpa sebab. Fatah dianggap mampu merawat buaya dengan baik berbekal kemampuan yang dimilikinya. Keahlian merawat buaya memang jarang dimiliki orang. Tak banyak pehobi reptil yang punya nyali cukup untuk memelihara buaya karena kebuasannya.
Ia bahkan satu-satunya penangkar resmi perorangan di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tak ayal, Fatah kerap menjadi jujugan BKSDA saat kewalahan menangani satwa sitaan. “Karena ini satwa dilindungi, saya mengajukan izin ke BKSDA agar bisa merawat buaya secara mandiri biar enggak menyalahi aturan,” katanya.
Berawal dari memelihara ular
Fatah bukanlah pemain baru di dunia pengembangbiakan reptil. Sebelum bersentuhan dengan buaya, ia lebih dulu memelihara ular Sanca (python). Empat ekor Sanca Kembang hingga saat ini masih dipelihara dengan baik di rumahnya.
Berhasil menaklukkan reptil ular tidak membuat dia puas. Hewan mematikan itu masih terlalu mudah dijinakkan. Ia pun tertantang untuk memelihara satwa yang lebih buas.
Buaya akhirnya jadi pelabuhan untuk menyandarkan hobi tak wajarnya. Disamping menyalurkan hobi, Fatah ternyata punya misi lain untuk menangkar buaya. Geografi Indonesia dengan perairan yang luas disebutnya jadi habitat terbaik spesies buaya, terutama jenis muara.
Wajar, di negara ini, populasi satwa tersebut begitu besar. Seiring pertambahan penduduk, keberadaan buaya terancam karena letak pemukiman yang kian mendekati habitat buaya. Konflik keduanya pun tak terhindarkan dalam perebutan sumber daya.
“Di Jawa ini padat penduduk. Karena hidup berdampingan harusnya saling mengerti. Namun antara keduanya, manusianya lah yang seharusnya mengalah untuk menjauh atau dievakuasi dari habitat buaya. Bukan buaya yang disingkirkan,” katanya.
Kenyataannya, manusia tentu enggan mengalah untuk melakukan hal tersebut. Konflik keduanya kerap terjadi akhir-akhir ini. Untuk menghindari korban manusia berjatuhan, buaya-buaya di muara ditangkap atau dibunuh hingga populasinya terancam. Padahal satwa-satwa itu harusnya dilindungi untuk menyelamatkannya dari kepunahan.
Dengan alasan itu, hati Fatah terpanggil untuk menyelamatkan jiwa keduanya. Ia tak ingin korban manusia berjatuhan, hingga ada kebencian mendalam terhadap satwa itu yang berujung pada aksi perburuan atau pemusnahan. Fatah memilih terlibat dalam aksi konservasi terhadap satwa terancam itu, semampu dia.
Karena itu, dia tidak ingin membatasi berapapun buaya hasil tangkapan atau sitaan BKSDA yang dititipkan kepadanya. “Maunya saya tidak ingin membatasi berapapun buaya yang ingin dititipkan ke saya. Karena saya cinta dengan buaya dan ingin mengonservasinya, tidak mungkin saya menolak,” katanya.
Namun ia menyadari, kemampuannya untuk itu terbatas. Ia belum mampu memperluas lahan atau membuat kolam baru untuk menampung lebih banyak buaya. Terlebih, ia harus berat memikirkan biaya pakan karena harga daging mahal.
Di sisi lain, dia masih akan sering diserahi buaya oleh pemerintah karena penangkar buaya yang resmi seperti dia belum ada duanya di Jawa Tengah dan DIY. Sementara pemerintah tidak memberikan dukungan fasilitas maupun modal untuk merawat buaya milik negara itu.
Tidak menguntungkan
Memelihara buaya ternyata bukan hal mudah. Di samping butuh keahlian khusus, modal untuk merawatnya tak murah. Fatah harus menyiapkan lahan dan membuat kolam permanen dengan keamanan super ketat. Setiap kolam dikelilingi tembok pagar tinggi atau ditutup kerangkeng besi untuk menjamin keamanan perawat maupun warga yang mengunjunginya.
Fatah harus menyisihkan banyak uang guna membeli daging ayam untuk pakan peliharaannya. Sekali makan, satu ekor buaya yang rakus bahkan bisa menghabiskan 10 ekor ayam sekaligus. Untuk menghemat pengeluaran, Fatah menyiasatinya dengan membeli daging ayam afkiran yang harganya lebih murah. Ia juga kerap membeli kambing warga yang sekarat atau mati dengan harga terjangkau.

Namun tetap saja ia keberatan untuk urusan ini. Fatah tidak memiliki pekerjaan tetap atau usaha yang menghasilkan. Ia hanya bekerja serabutan untuk berbagai acara hiburan desa. Bukan hanya berkorban uang, Fatah harus meluangkan banyak waktu untuk mengurusi buaya-buayanya tersebut. “Waktu mencari nafkah sampai tidak ada, sangat menyita waktu, tenaga juga uang.”
Di lain sisi, Fatah belum merasakan hasil komersial dari jerih payahnya merawat satwa terlindungi itu. Ia baru berhak memiliki buaya yang dititipkan pemerintah jika berhasil mengembangbiakannya hingga dua generasi.
Anak dari indukan titipan belum menjadi haknya atau masih milik pemerintah yang berstatus F1. Ia baru berhak memiliki buaya anakan dari F1 yang berhasil diperanakkan lagi dengan status F2. Kemitraan semacan itu tentu tak menguntungkan bagi dia jika hanya berorientasi komersial.
Prinsip konservasi yang terpatri di dirinya menyulitkan Fatah untuk mengambil peluang untung dari usaha penangkarannya. a bisa saja mengomersilkan penangkarannya itu untuk mendapat keuntungan lebih.
Ia bahkan sempat ditawari investor untuk memindahkan buaya-buayanya ke kota lalu dibuka untuk wisata. Fatah sempat menimbangnya, hingga ia menolak tawaran itu karena bertolak belakang dengan misi konservasinya. “Saya sudah merintis ini 10 tahun, teknik merawat buaya enggak sembarangan. Kalau sampai salah penanganan, atau ceroboh, bisa hancur semua. Karena kepentingan investor bisa tidak sama dengan saya, jadi harus ada kesepemahaman soal konservasi,” ungkapnya.
Tidak seperti satwa lain, buaya juga tidak berpotensi diperjualkan untuk mendapat hasil karena pasar masih abu-abu. Jarang pehobi satwa berkeinginan untuk membeli buaya untuk memeliharanya di rumah. Selain pengurusan izin yang ribet, perawatannya juga tak mudah. Jika pun bisa dikomersilkan, buaya dapat diambil kulitnya untuk diperdagangkan.
Tetapi Fatah belum berpikir ke arah sana. Yang paling memungkinkan bagi dia ke depan adalah, membuka penangkarannya untuk wisata edukasi di desa. Konsepnya, setiap pengunjung akan diberi pemahaman mengenai profil satwa itu hingga tumbuh kesadaran untuk ikut melestarikan satwa yang terancam punah.
Meski lokasi tidak strategis karena berada di pedalaman desa, Fatah merasa lebih nyaman karena bisa setiap waktu merawat dan mengawasi peliharaannya itu karena dekat rumah. Terlebih ia tidak terlalu berorientasi profit. Penghasilan yang didapat dari kunjungan wisatawan itu dipakai untuk memenuhi kebutuhan operasional merawat buaya.
"Paling kalau mau nanti, bisa dibuka untuk edukasi, pengunjung diterangkan pengetahuan soal buaya. Tapi untuk membuka itu butuh modal besar juga, saya belum mampu."
Kepala BKSDA Jateng Suharman mengatakan, untuk memelihara satwa dilindungi memang butuh perizinan ke pemerintah. Selain Balai Konservasi atau Suaka Marga Satwa, pemerintah membuka kesempatan bagi perorangan untuk bisa menangkar satwa dilindungi.
Khusus penangkaran buaya yang dijalankan perorangan, Suharman mengatakan, Fatah Arif Suyanto adalah satu-satunya penangkar buaya di Jawa Tengah dan DIY. Pihaknya juga tidak begitu saja memberikan izin ke Fatah untuk menangkar buaya secara mandiri. Fatah harus melalui serangkaian assessment untuk memastikan dia mampu memelihara satwa itu dengan baik.
"Sudah kami assessment dan dia dianggap layak sehingga diberi izin. Dia punya kemampuan untuk mengendalikan buaya," ujarnya.
—Rappler.com