KSP Wanti-Wanti Tak Ada Pungli di MBG, Bisa Turunkan Kualitas Menu

- KSP mewanti-wanti agar tidak ada pungli di program MBG
- Kemenkes bisa tugaskan dinas kesehatan untuk awasi SPPG
- Istana bongkar ada lebih dari 5.000 siswa jadi korban keracunan MBG
Jakarta, IDN Times - Kepala Staf Presiden (KSP), Muhammad Qodari mewanti-wanti agar tidak ada pungutan liar (pungli) di program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sebab, pungli oleh yayasan bisa mengurangi kualitas program unggulan Presiden Prabowo Subianto tersebut.
"Kalau ada pungli pada SPPG, maka alokasi angka (anggaran) Rp10 ribu untuk bahan pangan ke SPPG nanti bisa berkurang. Tergantung berapa nilai punglinya," ujar Qodari di kantor Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat pada Senin (22/9/2025).
Ia menambahkan, maraknya pungli akhirnya mempengaruhi kualitas menu MBG yang diterima oleh para siswa. "Ujung-ujungnya nanti bisa menimbulkan risiko keracunan karena yang dibeli adalah bahan-bahan (pangan) yang berkualitas rendah," tutur dia.
Mantan pemilik lembaga survei itu menggarisbawahi praktik pungli di MBG bukan sekadar mengenai uang, tetapi ketiadaan pungli juga menjadi salah satu penentu kesuksesan dari program MBG.
"Karena kalau MBG dijalankan dengan benar, mulai dari pengelolaan SPPG, manajemen SPPG tidak ada pungli lalu sesuai SOP, ada SLHS (Sertifikasi Laik Hygiene dan Sanitasi), maka insyaallah program MBG akan berjalan dengan baik," katanya.
Peristiwa keracunan pun, kata, Qodari, bisa diatasi. Dengan demikian, SLHS menjadi suatu keniscayaan di semua SPPG.
1. Kemenkes bisa tugaskan dinas kesehatan untuk awasi SPPG

Qodari mengusulkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dapat menugaskan dinas kesehatan atau puskesmas terdekat untuk membantu pengawasan SPPG. Ia mendorong perlu adanya inspeksi kesehatan lingkungan setiap bulan.
"Atau karena di bulan pertama (pendirian SPPG) penting, maka bila perlu pengawasan dilakukan seminggu sekali sehingga itu jadi langkah konkret. Apakah ini bisa diimplementasikan atau tidak, maka bisa dikomunikasikan ke K/L (kementerian atau lembaga) yang bersangkutan. Misalnya BGN dengan Kementerian Kesehatan," tutur dia.
Metode itu, kata Qodari, juga sudah direkomendasikan dalam rapat koordinasi lintas Kementerian atau Lembaga terkait pencegahan dan penanggulangan keamanan pangan pada 11 September 2025 lalu.
2. Istana bongkar ada lebih dari 5.000 siswa jadi korban keracunan MBG

Di forum itu, Qodari juga membongkar jumlah korban keracunan dari program unggulan MBG yang mencapai lebih dari 5.000 orang. Ini merupakan kali pertama Istana mengungkapkannya ke ruang publik. Meskipun data yang dikutip oleh KSP dari tiga instansi pemerintah berbeda angka.
"Jadi, data dari tiga lembaga sebagai berikut BGN (Badan Gizi Nasional) ada 46 kasus keracunan dengan jumlah korban 5.080 orang. Itu data per 17 September 2025. Kedua, data dari Kemenkes dengan data 16 September 2025 jumlah korban 5.207 korban. Ketiga, data dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) per 10 September 2025 dengan korban mencapai 5.320 orang," kata Qodari.
Ia pun juga memegang data korban keracunan MBG dari elemen masyarakat, yakni Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Mereka mencatat ada 5.360 siswa yang menjadi korban keracunan. Namun, JPPI tidak menyebut korban tersebut berasal dari berapa kasus.
Qodari menambahkan mayoritas korban keracunan berasal dari Provinsi Jawa Barat.
3. Higienitas makanan tidak dijaga jadi salah satu penyebab siswa keracunan

Berdasarkan temuan Istana, ada sejumlah faktor penyebab korban keracunan dari program MBG. Pertama, kata Qodari, disebabkan kondisi makanan tidak higienis.
"Kedua, suhu makanan dan ketidaksesuaian pengolahan pangan. Ketiga, adanya kontaminasi silang dari petugas. Keempat, ada indikasi sebagian (kasus keracunan) disebabkan alergi pada penerima manfaat," tutur dia.
Qodari pun menyebut maraknya korban keracunan akibat MBG bukan tanpa respons dari pemerintah. Sebab, Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi sudah meminta maaf akibat banyaknya kasus keracunan makanan dan akan melakukan evaluasi.
"Ini contoh dan bukti bahwa pemerintah tidak tone deaf," katanya.