Greenpeace: Tutupan Hutan Sumatra Tinggal 13 Persen Jadi Pemicu Banjir

- Tutupan hutan di Pulau Sumatra tinggal tersisa 11,6 juta hektare atau sekitar 13 persen dari total luas tutupan alami hutan di seluruh Indonesia.
- Greenpeace Indonesia meminta Prabowo Subianto untuk menetapkan banjir Sumatra sebagai bencana nasional sesuai dengan lima indikator yang harus dipenuhi.
- Pemerintah dinilai serius jika meninjau kembali izin tambang dan menunjukkan postur budget yang seimbang untuk penyelamatan alam serta pencegahan bencana.
Jakarta, IDN Times - Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia dari Greenpeace, Kiki Taufik, mengatakan tidak tepat kalau menyebut banjir hebat yang terjadi di Pulau Sumatra sebagai bencana alam atau bencana hidrometeorologi. Menurutnya, itu semua disebabkan karena ulah manusia yang membuka kawasan hutan secara besar-besaran.
"Ini yang menyebabkan banjir bandang yang begitu besar. Seandainya hutan tetap terjaga, meskipun curah hujan itu massif dan besar, tetapi masih ada yang mengikat air hujan. Sehingga tidak akan ada banjir yang segini besarnya," ujar Kiki ketika berbincang di program Ngobrol Seru by IDN Times di IDN HQ, Senin 1 Desember 2025.
Ia tak menampik, curah hujan di Pulau Sumatra pada pekan lalu memang tinggi karena ikut terkena Siklon Senyar yang berembus di Selat Malaka. Sehingga yang terkena dampaknya tidak hanya Indonesia, tetapi juga Thailand, Sri Lanka dan Malaysia.
Korban meninggal di Thailand akibat Siklon Senyar mencapai 181 jiwa, korban tewas di Sri Lanka menembus angka 410 jiwa dan di Malaysia terdapat 3 korban tewas. Sementara di Indonesia, korban tewas akibat banjir yang disebabkan Siklon Senyar sudah menembus angka 604 jiwa.
"Siklon ini sangat jarang terjadi dan mungkin baru kali pertama terjadi ke wilayah ekuator. Siklon itu memang ada dan ikut berkontribusi, tetapi paling besar disebabkan krisis iklim. Akibatnya, bencana bisa terjadi tiba-tiba," tutur dia.
1. Tutupan hutan di Pulau Sumatra tinggal tersisa 11,6 juta

Lebih lanjut, Kiki memaparkan, tutupan hutan di Pulau Sumatra terus tergerus sejak 1990-an hingga 2025. Ia mengutip data dari Kementerian Kehutanan bahwa luas hutan di Pulau Sumatra hanya tinggal 11,6 juta hektare.
"Luas tutupan alami hutan di seluruh Indonesia sekitar 89,5 juta hektare. Dengan sisa 11,6 juta, artinya tersisa tutupan alami sekitar 13 persen," katanya.
Ia pun sempat berseloroh bila saat ini terbang ke Pulau Sumatra dari atas memang terlihat hujan. Tetapi, tanaman hijau itu bukan hutan melainkan tanaman sawit.
"Sawit ini tidak sama dengan hutan atau pohon alami. Karena dari sisi akar sudah berbeda. Bagaimana sawit bisa tidak sama kemampuannya menyerap air, menahan laju air. Apalagi bila berbicara biodiversitas," tutur dia.
Faktor kedua, jumlah korban jiwa yang ada di Pulau Sumatra lebih tinggi dibandingkan negara lain, karena di Sumatra ada Daerah Aliran Sungai (DAS). Secara geomorfologis, DAS di Pulau Sumatra terus mengecil.
"DAS yang semakin menyempit menyebabkan kerentanannya di bagian hulu terbuka. Area itu terbuka karena sudah tidak ada lagi hutan. Maka, begitu ada hujan, tidak ada lagi yang menahan limpahan air. Meski di bagian tengah masih ada hutan, tetapi tekanan keras dari atas tidak bisa ditahan," katanya.
2. Greenpeace Indonesia ikut minta Prabowo tetapkan banjir Sumatra sebagai bencana nasional

Namun, hingga kini Presiden Prabowo Subianto belum juga menetapkan banjir di Sumatra sebagai bencana nasional. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, ada lima indikator yang harus dipenuhi agar status bencana nasional dapat terpenuhi. Indikator itu tertulis di dalam Pasal 7 ayat (2) yakni jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi.
Kiki mengatakan, apa yang terjadi di Pulau Sumatra sudah memenuhi kelima kriteria untuk bisa ditetapkan sebagai bencana nasional. Itu sebabnya mereka juga berharap Prabowo mengumumkan penetapan status bencana nasional.
"Ini juga yang kami tunggu dari Pak Presiden. Apalagi Pak Presiden kan juga sudah ke lapangan, berharap ditetapkan bencana nasional karena bantuan akan terpusat dan pemerintah punya kewajiban untuk menurunkan semua kemampuannya untuk membantu korban," ujar Kiki.
Ia tak menampik sebagian wilayah terdampak bencana ada yang sudah menerima bantuan. Tetapi, ada pula sebagian area di Aceh yang belum tersentuh bantuan sama sekali.
"Ini kan butuh energi besar dari pemerintah untuk mengerahkan semua kemampuannya. Terutama dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan instansi-instansi yang lain untuk penanggulangan bencana ini," tutur dia.
3. Pemerintah baru dinilai serius bila meninjau kembali izin tambang

Ketika ditanya apa indikator pemerintah bersikap serius untuk memperbaiki tata kelola lingkungan di Pulau Sumatra, dimulai dari langkah meninjau kembali dan mencabut izin dari industri-industri yang bermasalah, termasuk pertambangan. Industri yang ada saat ini sangat berisiko karena berlokasi di hulu sungai, gambut atau pulau-pulau kecil.
"Kemudian, pemerintah harus menunjukkan postur budget yang seimbang untuk penyelamatan alam dan lingkungan, serta pencegahan," kata dia.
Di sisi lain, Kiki juga mengingatkan bahwa kejadian bencana yang menimpa tiga provinsi di Pulau Sumatra ini berpeluang untuk terulang lagi karena masih ada krisis iklim. Diduga kuat bencana hidrometerologi intensitasnya akan semakin sering terjadi.
"Jadi, sekarang pemerintah harus memikirkan bagaimana pembangunan tidak harus membuka lahan untuk industri ekstraktif. Ada alternatif lain bagaimana menyejahterakan rakyat," tutur dia.
















