Legilator NasDem Tolak Wacana Kapolri Diangkat Presiden Tanpa Restu DPR

- Proses fit and proper test di parlemen harus dievaluasi secara komprehensif tanpa mereduksi mandat konstitusi.
- Mekanisme kontrol cabang kekuasaan menjadi hakikat demokrasi, menurut Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945.
- Peradi mengusulkan agar pengangkatan kapolri tidak perlu diseleksi DPR agar prosesnya independen dan Polri bisa bekerja secara independen.
Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, menolak wacana pengangkatan kapolri oleh presiden tanpa melalui mekanisme di parlemen. Ia menilai, usulan ini bisa menciderai mekanisme check and balances.
Menurutnya, pengangkatan kapolri oleh presiden harus melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di parlemen. Dalam prosesnya, calon kapolri memaparkan visi-misi yang akan dijalankan selama mengemban tugas sebagai pemimpin Korps Bhayangkara.
Rudianto mengatakan, mekanisme fit and proper test di DPR tidak boleh direduksi keluhurannya. Karena mekanisme ini menjadi bandul utama legitimasi rakyat melalui perwakilan mereka di parlemen.
"Mekanisme fit and proper di DPR tidak boleh direduksi maknanya, apalagi dideviasi keluhurannya, sebab hal tersebut sebagai bandul utama legitimasi rakyat melalui representasinya di DPR," kata Rudianto kepada wartawan, Minggu (14/12/2025).
1. Bila proses fit and proper test di parlemen masih kurang harus dievaluasi

Ia menambahkan, bila dalam prosesnya fit and proper test tersebut dianggap masih kurang memadai maka harus dievaluasi secara komprehensif. Namun, jangan sampai mandat konstitusi ini tereduksi sehingga makna negara demokratis itu pudar begitu saja.
"Jika terdapat kekurangan, maka kita memperbaikinya secara komprehensif tanpa harus mereduksi mandat konstitusi dan penjelmaan demokratis di atas," kata dia.
2. Mekanisme kontrol cabang kekuasaan jadi hakikat demokrasi

Lebih jauh, Rudianto menjelaskan, dalam Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 disebutkan adanya negara demokrasi konstitusional Indonesia. Penafsiran demokrasi konstitusional ini menghadirkan mekanisme check and balance antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Menurutnya, pengimbangan dan pengawasan di parlemen merupakan suatu manisfestasi dari DPR sebagai daulat rakyat.
Karena itu, ia menilai, konstitusi mengatur setiap alat negara membutuhkan validasi konstitusional melalui DPR. Hal ini menjadi hakikat sebuah negara demokratis.
"Hadirnya kontrol antar cabang kekuasaan (control mechanism) yang bersumber dari rakyat," kata Legislator Fraksi Partai NasDem itu.
3. Peradi usul kapolri diangkat presiden tanpa restu DPR

Sebelumnya, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengusulkan agar pengangkatan kapolri tidak perlu diseleksi DPR agar prosesnya independen. Polri harus bisa bekerja secara independen tanpa harus takut dalam melaksanakan tugasnya, sehingga tidak boleh diganggu, baik oleh berbagai hal yang bersifat unsur politik, partai, atau badan legislatif.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi Dwiyanto Prihartono mengungkapkan, posisi kepolisian cenderung tertarik oleh berbagai kekuatan politik, termasuk kekuatan partai dalam beberapa tahun terakhir ini.
"Bahasa gampangnya ada bargaining position mereka di sana. Itu tembus sampai ke daerah-daerah, sehingga sistem komando pun menjadi terganggu, karena faktor politik lebih mendominasi ketimbang faktor profesionalnya kepolisian," ungkap Dwiyanto dilansir ANTARA.

















