Komnas Perempuan Ajukan Amicus Curae, Soal PKPU Diskriminatif

Kebijakan pembulatan adalah diskriminatif

Jakarta, IDN Times - Komnas Perempuan menyampaikan pendapat hukum dalam bentuk keterangan tertulis sebagai sahabat pengadilan atau amicus curiae kepada Mahkamah Agung (MA).

Hal ini berkenaan permohonan dengan uji materiil terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota legislatif, khususnya Pasal 8 ayat 2 mengenai keterwakilan perempuan.

"Amicus ini juga didasarkan pada hasil kajian dan pemantauan Komnas Perempuan yang menunjukkan bahwa 30 persen keterwakilan perempuan belum terpenuhi. Masih terdapat penolakan dan hambatan-hambatan sosial, budaya dan politik baik di tingkatan partai politik, negara maupun masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan, seperti: intimidasi, pencurian suara, penyerangan seksual, pemecatan terhadap caleg perempuan terpilih, dan penolakan karena jenis kelamin perempuan," kata Komisioner Komnas Perempuan Olivia Salampessy, dalam konferensi pers, Senin (3/7/2023).

1. Perempuan Indonesia masih punya hambatan keterpilihan

Komnas Perempuan Ajukan Amicus Curae, Soal PKPU DiskriminatifIlustrasi. ANTARA FOTO/Novrian Arbi

Olivia mengatakan, perempuan Indonesia masih memiliki hambatan keterpilihan yang berbeda dibandingkan laki-laki. Oleh sebab itu, tindakan khusus sementara atau affirmative action adalah sebagian kecil mengatasi hambatan diskriminasi terhadap perempuan.

"Tindakan khusus sementara ini bukan diskriminasi terhadap laki-laki, melainkan langkah korektif untuk mencapai keadilan substantif juga kompensasi atas diskriminasi terhadap perempuan selama ini, mengingatkan situasi kepemimpinan perempuan di Indonesia dan hambatannya. Termasuk daerah-daerah yang tidak memiliki wakil perempuan di lembaga pengambil keputusan," ujar Komisioner Olivia Salampessy.

Baca Juga: Ini Respons KPU soal Gugatan PKPU Keterwakilan Perempuan ke MA

2. Harus menjadi perhatian para partai politik dan caleg perempuan

Komnas Perempuan Ajukan Amicus Curae, Soal PKPU DiskriminatifIlustrasi bendera partai politik. (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023 menggantikan PKPU No. 20 Tahun 2018 mengubah pembulatan ke atas menjadi pembulatan ke bawah jika angka desimal di bawah 50. Penentangan ini disebut menunjukkan PKPU tak dapat diterima dari pemangku kepentingan, khususnya kelompok perempuan yang menjadi sasaran keberlakuannya.

Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfa Anshor mengatakan, dari simulasi keterwakilan perempuan yang diatur dalam PKPU menunjukkan, partai politik yang mengajukan bakal calon sebanyak 4, 7, 8, 11 di daerah pemilihan, maka pembulatan ke bawah mengakibatkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen itu tidak terpenuhi.

Begitu pula dengan keterwakilan perempuan di DPR RI yang hanya mencapai 25 persen.

"Jadi PKPU ini bukan menguatkan afirmasi 30 persen justru mereduksinya, karenanya hal ini harus menjadi perhatian para partai politik dan caleg perempuan,” ujarnya.

3. Kebijakan pembulatan adalah diskriminatif

Komnas Perempuan Ajukan Amicus Curae, Soal PKPU Diskriminatifilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara, Komisioner Veryanto Sitohang mengingatkan dampak internasional pada kebijakan PKPU. Kebijakan pembulatan ke bawah adalah kebijakan diskriminatif karena menghalangi perempuan untuk terpilih sebagai anggota legislatif.

Padahal UU HAM, CEDAW, UU Parpol dan UU Pemilu menyebutkan secara eksplisit 30 persen keterwakilan perempuan.

"Maka PKPU 10/ 2023 bertentangan dengan undang-undang tadi dan bertentangan dengan kewajiban negara yang dimandatkan CEDAW. PKPU ini langkah mundur dalam pemenuhan hak-hak perempuan khususnya dalam bidang politik yang akan di review oleh Komite CEDAW dan berdampak pada citra Indonesia di dunia internasional,” katanya.

4. Berharap hakim paham soal dampak putusan pada penghapusan diskriminasi

Komnas Perempuan Ajukan Amicus Curae, Soal PKPU DiskriminatifIlustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)

Komisioner Siti Aminah Tardi menjelaskan, pihaknya punya kepentingan atas permohonan ini, karena salah satu hal yan diujinya adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang notabene menjadi landasan kerja Komnas Perempuan.

Namun, jika keputusan MA akan mempengaruhi pencapaian tujuan Komnas Perempuan dan merupakan kepentingan publik, itu bisa berdampak terhadap hak sipil dan politik perempuan. Sehingga, hal itu dapat menjadi preseden baik bagi keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga publik.

"Sebagai Lembaga Nasional Hak Asasi Perempuan, kami memiliki kewajiban untuk memastikan Hakim memahami dampak putusan terhadap penghapusan diskriminasi di Indonesia," ujarnya.

 

 

Baca Juga: Komnas Perempuan: PKPU No 10 2023 Persempit Ruang Politik Perempuan

Topik:

  • Ilyas Listianto Mujib

Berita Terkini Lainnya