Lewat Lomba Digitalisasi Pasar, QRIS Kini Jadi Andalan Pedagang

- Tujuan Lomba Digitalisasi Pasar 2025 adalah untuk mengurangi kejahatan di pasar, meningkatkan pendapatan ekonomi Jakarta, dan memperkuat nilai sosial, budaya, dan ekonomi.
- Lomba melibatkan 20 pasar tradisional percontohan dari total 153 pasar yang dikelola Perumda Pasar Jaya.
- Deputi Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa digitalisasi adalah game changer pertumbuhan ekonomi dengan mayoritas transaksi berasal dari UMKM
Dulu, transaksi di pasar tradisional identik banget sama uang tunai. Tapi sekarang, pemandangan itu mulai berubah. Di sela tumpukan sayur, ayam, dan telur, mulai terpampang papan kecil berlogo QRIS di meja para pedagang.
Salah satunya ada di lapak Mustahim (38), pedagang telur di Pasar Gondangdia, Jakarta Pusat. Sejak 2016, ia berjualan di pasar ini, dan setahun terakhir mulai menerima pembayaran lewat QRIS. Awalnya ragu, tapi setelah mencoba, ia langsung merasakan manfaatnya.
“Saya lebih merasa nyaman saat transaksi usaha menggunakan QRIS,” katanya sambil menunjukkan ponsel yang baru saja menampilkan notifikasi pembayaran.
Omzet Mustahim per hari Rp8–9 juta. Sekitar 20 persen transaksi sudah cashless, sisanya masih tunai. Meski begitu, ia menyadari edukasi masih diperlukan. Banyak pembeli–terutama yang lebih tua, belum terbiasa, bahkan belum tahu cara menggunakan QRIS.
Nah, transformasi seperti ini yang mau dipercepat Pemprov DKI Jakarta lewat Lomba Digitalisasi Pasar 2025. Bukan cuma lomba, program ini jadi gerakan buat mengubah cara jual-beli yang selama puluhan tahun masih setia dengan uang tunai.
1. Ini tujuan dari Lomba Digitalisasi Pasar 2025

Saat membuka lomba di Pasar Mayestik, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung berbicara tentang tujuan di balik program ini.
"Kalau digitalisasi ini berjalan, maka copet akan berkurang. Preman perlahan akan hilang, itu sudah hukum alam. Pendapatan ekonomi Jakarta pun meningkat karena semua ruang menjadi lebih transparan," jelas Gubernur Pramono.
Bagi Pramono, pasar bukan hanya tempat jual-beli, melainkan pusat interaksi sosial, budaya, dan ekonomi. Digitalisasi, menurutnya, bisa membuat semua itu tetap hidup, sambil memberi nilai tambah berupa keamanan, transparansi, dan pertumbuhan ekonomi.
“Di Jakarta, ada 6,2 juta orang yang sudah menggunakan transaksi digital, tertinggi di Indonesia. Saya yakin, melalui lomba ini jumlahnya akan meningkat. Karena ada kemudahan dan kepastian yang diberikan. Ini akan membawa keuntungan bagi siapa pun yang terlibat dalam ekosistem digitalisasi,” tambahnya.
2. Sebanyak 20 pasar tradisional ambil peran sebagai contoh

Lomba ini melibatkan 20 pasar tradisional percontohan dari total 153 pasar yang dikelola Perumda Pasar Jaya. Pasar-pasar ini dipilih berdasarkan klasifikasi kelas A, B, dan C, dengan mempertimbangkan jumlah tempat usaha aktif.
Berikut daftar 20 pasar peserta Lomba Digitalisasi Pasar Jakarta 2025 yang terbagi dalam tiga kelas:
Kelas Pasar A: Pasar Mayestik, Pasar Senen Blok III, Pasar Jatinegara, Pasar Kramat Jati, Pasar Perumnas Klender, Pasar Baru Metro Atom, dan Pasar Tomang Barat.
Kelas Pasar B: Pasar Koja Baru, Pasar Sunter Podomoro, Pasar Teluk Gong, Pasar Cengkareng, Pasar Pademangan Timur, dan Pasar Santa.
Kelas Pasar C: Pasar Lenteng Agung, Pasar Tebet Barat, Pasar Tebet Timur, Pasar Ganefo, Pasar Gondangdia, Pasar Pondok Bambu, dan Pasar Johar Baru.
Gubernur Pramono menegaskan, pasar-pasar ini akan menjadi model yang ditiru oleh 133 pasar lain di Jakarta, bahkan berpotensi menginspirasi daerah lain di Indonesia. Selain itu, lima bank besar ikut terlibat: Bank DKI, BRI, Mandiri, BCA, dan BNI. Mereka bersaing dalam kategori seperti Program Literasi Teraktif, Digitalisasi Keuangan Terbaik, dan Akses Keuangan Termasif.
Asisten Perekonomian dan Keuangan DKI, Suharini Eliawati, menjelaskan, lomba ini tidak hanya menilai kemudahan bertransaksi digital, tapi juga kebersihan, keamanan, penataan fasilitas umum, dan keberadaan pedagang kaki lima.
“Kami ingin menghadirkan pasar yang nyaman. Semoga lewat lomba ini pasar-pasar tradisional bisa terus berkembang,” kata Eli.
Kepala Bapenda DKI, Lusiana Herawati, menambahkan, transaksi digital membuka akses pembiayaan yang lebih luas bagi pedagang, mempercepat proses jual-beli, dan mengurangi risiko kehilangan uang.
“Mereka tidak perlu lagi repot menyediakan uang kembalian dan bisa merasa tenang karena dana langsung masuk ke rekening,” ujarnya.
Mendukung penuh kompetisi digitalisasi pasar ini, Kepala OJK Jabodebek, Edwin Nurhadi, menyampaikan bahwa digitalisasi pasar adalah pintu masuk pedagang ke ekosistem perbankan dan digital sehingga meningkatkan literasi keuangan di Jakarta. .
"Tentunya akan semakin memperluas dan meningkatkan tingkat literasi dan juga akses keuangan akan semakin mudah lagi bagi seluruh masyarakat," tandasnya.
3. Perubahan sedang berlangsung dan disambut positif

Deputi Gubernur Bank Indonesia, Ricky Perdana Gozali, mengatakan digitalisasi adalah game changer pertumbuhan ekonomi. Data BI menunjukkan ada 2,2 miliar transaksi digital di Jakarta pada tahun ini, naik 180 persen dibanding tahun sebelumnya, dan mayoritas berasal dari UMKM.
“Mayoritas transaksi ini berasal dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Selain itu, Jakarta Selatan mendominasi volume transaksi, diikuti oleh Jakarta Timur dan Jakarta Pusat," tutur Ricky.
BI mendukung penuh program ini sebagai upaya sinergi dengan pemerintah provinsi untuk mengembangkan digitalisasi di berbagai sektor, termasuk perdagangan dan jasa, khususnya di pasar tradisional.
Di luar pernyataan resmi, pembeli muda di Pasar Gondangdia juga memberikan komentar spontan. Dinda (26), pegawai kantoran yang rutin belanja sayur setiap minggu, mengatakan, “Senang banget sekarang bisa bayar pakai QRIS, jadi nggak perlu bawa uang pas. Apalagi kalau belanja pagi sebelum kerja, hemat waktu.”
Sementara itu, Andri (31), warga Cikini yang gemar memasak di rumah, menilai digitalisasi pasar memberi rasa aman. “Kalau uangnya langsung ke rekening pedagang, kecil kemungkinan salah hitung atau hilang di jalan,” ujarnya.
Komentar-komentar seperti ini mungkin sederhana, tapi menjadi indikator bahwa perubahan memang sedang berlangsung dan disambut positif.
Lomba ini adalah langkah konkret menuju pasar yang modern, tertib, dan berbasis teknologi, tanpa meninggalkan nilai sosial dan budaya yang melekat. Pasar yang bersih, aman, dan nyaman diharapkan mampu bersaing di era digital, sekaligus memperkuat posisi Jakarta sebagai kota global yang tetap berpijak pada tradisi. (WEB)