Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Melawan Sunyi, Merawat Asa: Perjuangan Dewi Melawan Kanker Payudara

Penyintas Kanker Payudara Dewi Wakkary. (dok. Pribadi/Dewi Wakkaryoe)
Penyintas Kanker Payudara Dewi Wakkary. (dok. Pribadi/Dewi Wakkaryoe)

Jakarta, IDN Times - Hidup ibarat perjalanan di atas lautan—kadang airnya tenang, kadang badai datang tanpa aba-aba. Begitu pula kisah Dewi Wakkary, seorang karyawan swasta yang menghadapi badai besar dalam hidupnya saat kanker payudara tiba-tiba muncul di persimpangan tak terduga. 

"Setiap bulan saya rutin melakukan sadari (periksa payudara sendiri), tapi waktu pertama kali menemukan benjolan, saya kira itu cuma kista biasa," kenang Dewi, dengan nada tenang pada IDN Times belum lama ini.

Dalam pemeriksaan sebelumnya, dokter mengatakan, benjolan itu tak berbahaya. Dia pun percaya semua akan baik-baik saja.

1. Dewi lakukan medical check up

Penyintas Kanker Payudara Dewi Wakkaryoe. (dok. Pribadi/Dewi Wakkaryoe)
Penyintas Kanker Payudara Dewi Wakkaryoe. (dok. Pribadi/Dewi Wakkaryoe)

Namun, dua bulan berlalu, benjolan itu tetap tinggal di sana, seperti sesuatu yang enggan pergi. Ketika kantor mengadakan medical check up tahunan, Dewi memutuskan untuk memeriksanya kembali.

"Dokter waktu itu bilang saya harus segera cari onkolog. Nggak dijelaskan detail, tapi saya tahu ada yang salah," katanya.

2. Dewi divonis kanker payudara

ilustrasi kanker payudara (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi kanker payudara (IDN Times/Aditya Pratama)

Dengan hati berdebar, Dewi menemui dokter onkologi dan menjalani biopsi, ditemani putrinya.

"Saya sudah siap dengan segala kemungkinan," ujar Dewi, mengingat hari itu dengan mata sedikit menerawang. 

Hasil biopsi mengonfirmasi kekhawatirannya: kanker payudara. Dunia terasa berhenti sejenak ketika fakta itu terungkap.

"Saat dengar kata ‘kanker’, rasanya seperti dipukul keras. Tapi dokter bilang, semakin cepat diatasi, semakin besar harapan hidup," ucapnya. 

3. Dewi lakukan operasi

ilustrasi kanker payudara (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi kanker payudara (IDN Times/Aditya Pratama)

Dewi dijadwalkan untuk operasi sepekan kemudian, namun ia meminta waktu hingga tahun baru.

"Saya butuh waktu untuk menerima semuanya. Rasanya terlalu cepat," katanya lirih.

Pada Januari 2018, ia menjalani operasi lumpektomi atau pengangkatan tumor tanpa mengangkat seluruh payudara.

"Alhamdulillah, hasilnya menunjukkan stadium awal," ujar dia.

Selepas operasi, Dewi harus menjalani 35 sesi radiasi. Sinar radiasi yang terasa seperti panasnya matahari menyengat kulit menjadi teman harian yang tak terelakkan. Namun, ia merasa bersyukur tidak perlu menjalani kemoterapi.

"Untungnya, rambut saya nggak sampai rontok," ujarnya, tersenyum kecil. 

Di tengah pengobatan, Dewi tetap bekerja di kantornya. Dewi bersyukur atasan mendukungnya untuk jalani perawatan, namun harus tetap melakukan tanggung jawab dan mengatur waktu antara kerja dan terapi radiasi.

4. Dewi gabung komunitas CISC

Penyintas Kanker Payudara Sri Firman bersama komunitas CISC. (dok. Pribadi/Sri Firman)
Penyintas Kanker Payudara Sri Firman bersama komunitas CISC. (dok. Pribadi/Sri Firman)

Dalam kesunyian itu, Dewi menemukan kekuatan tersendiri, memeluk rasa sakit tanpa perlu memamerkannya. Tak lama kemudian, Dewi bergabung dengan komunitas Cancer Information and Support Center Association (CISC).

"Di sana saya menemukan harapan. Kami saling menguatkan, berbagi cerita, dan mengingatkan bahwa kita tidak sendirian," katanya.

Kini, Dewi juga membantu pasien baru, menjadi lentera di malam-malam penuh ketidakpastian penyintas lain. 

5. Dewi tetap jalani terapi hormonal

Infografis pemeriksaan payudara sendiri atau SADARI (IDN Times/AdityaPratama
Infografis pemeriksaan payudara sendiri atau SADARI (IDN Times/AdityaPratama

Pada usia 59 tahun, Dewi masih menjalani terapi hormonal yang awalnya direncanakan 5 tahun.

“Kata dokter, mungkin bakal diperpanjang jadi 10 tahun, tapi nggak apa-apa demi kesehatan jangka panjang,” ujarnya ikhlas. 

Perjalanan ini tak selalu mudah, namun Dewi merasa beruntung. Asuransi pribadi dan BPJS Kesehatan menjadi tumpuan selama pengobatan.

"Operasi pakai asuransi pribadi, tapi BPJS (Kesehatan) sangat membantu untuk radiasi dan obat-obatan. Kalau nggak ada BPJS (Kesehatan), pasti berat banget," tuturnya, penuh syukur. 

Meski begitu, Dewi berharap birokrasi pelayanan kesehatan bisa lebih dipermudah agar pasien lain tidak terhambat dalam pengobatan. 

6. Keluarga jadi sumber kekuatan Dewi

ilustrasi kanker payudara (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi kanker payudara (IDN Times/Aditya Pratama)

Keluarga menjadi sumber kekuatan terbesar dalam perjalanannya sebagai penyintas kanker payudara. Adik perempuan selalu ada buat dia. Buah hati dan suami juga tidak menunjukan kekhawatiran meski Dewi tahu mereka cemas.

Dewi pun berusaha menahan rasa sakit demi menjaga ketenangan keluarganya. Melalui semua badai ini, Dewi ingin menyampaikan pesan kepada perempuan di luar sana.

"Sadari (periksa payudara sendiri) itu penting, jangan tunggu sampai terlambat. Jaga juga pola makan, hindari makanan dengan pengawet dan pewarna," pesannya dengan tegas. 

Bagi Dewi, hidup setelah kanker adalah seperti pagi setelah badai yang tidak selalu sempurna, tapi penuh dengan harapan. Dengan keberanian dan cinta dari orang-orang terdekatnya, Dewi telah menemukan jalan menuju cahaya, membuktikan bahwa setelah malam paling gelap, selalu ada matahari yang terbit di ufuk.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dini Suciatiningrum
Jujuk Ernawati
Dini Suciatiningrum
EditorDini Suciatiningrum
Follow Us