Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mempertanyakan Rendahnya Jumlah Pahlawan Perempuan dalam Mata Uang Rupiah

Andreas Fitri Atmoko/ANTARA FOTO
Andreas Fitri Atmoko/ANTARA FOTO

Senin lalu (19/12) pemerintah Indonesia mengumumkan sebelas uang rupiah baru yang menampilkan 12 pahlawan nasional. Hal yang menarik untuk dicermati dari rupiah baru tersebut adalah minimnya jumlah pahlawan perempuan yang dianggap pantas muncul dalam mata uang kita.

Di antara 12 pahlawan, hanya Tjut Meutia yang berhasil dipilih untuk mewakili kelompok pahlawan perempuan. Sejak Bank Indonesia diberi mandat untuk mengontrol mata uang rupiah di tahun 1953, hanya ada dua gambar pahlawan perempuan, selain Tjut Meutia, yang muncul di rupiah: R.A. Kartini pada tahun 1985 di pecahan 10.000 rupiah; Cut Nyak Dhien dalam uang kertas 10.000 rupiah di tahun 1998.

Definisi pahlawan masih sempit.

Entah kita sadari atau tidak, kita masih menganggap bahwa pahlawan itu adalah orang-orang yang ikut mengangkat bedil atau memimpin pasukan, kemudian tewas karena melawan para penjajah. Definisi tersebut masih sangat sempit. Devi Asmarani, jurnalis sekaligus salah satu pendiri situs feminisme Magdalene, saat dihubungi IDNtimes.com dengan tegas berpendapat bahwa:

Kita selalu mengartikan pahlawan berkaitan dengan perang fisik dan masa kolonialisme. Kita menilai perjuangan itu selalu berhadapan dengan musuh fisik, padahal musuh bisa berbentuk pemiskinan dan pembodohan.

Devi meyakini bahwa "perjuangan paska kemerdekaan pun tak kalah berat". Ia menambahkan,"Setelah merdeka, kita masih harus berjuang dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya. Para tokoh yang berjuang di bidang-bidang itu pun banyak yang layak diberi status pahlawan".

Menurut editor sekaligus kolumnis tersebut, definisi pahlawan yang kita pakai saat ini hanya membawa karakter-karakter maskulin. Bahkan Kamus Besar Bahasa Indonesia pun mengartikan pahlawan sebagai "orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran" maupun "pejuang yang gagah berani".

Oleh karena itu, tak mengherankan bila hanya sedikit perempuan yang dianggap pahlawan oleh negara yang kemudian dimunculkan di uang rupiah kita. Jika ada pendefinisian kembali tentang kriteria apa saja yang harus dimiliki seorang pahlawan, kita mungkin akan menemukan jauh lebih banyak pahlawan perempuan daripada yang ada saat ini.

Karakteristik feminin hanya diwakilkan dengan adanya penari-penari perempuan.

Tanpa bermaksud untuk mengesampingkan para penari perempuan yang juga berupaya untuk melestarikan kebudayaan Indonesia, tapi keberadaan mereka pada uang rupiah ditampilkan sebatas aksesoris saja. Seakan-akan perempuan hanya berfungsi untuk aspek keindahan.

Kritik berikutnya tentu saja karena penari-penari tersebut tak memiliki identitas alias anonim. Siapa nama mereka? Berapa usianya? Ini tak dianggap penting. Asalkan ada sosok perempuan pada uang rupiah, itu dianggap sudah cukup mewakili perempuan.

Di banyak negara, aktivis dan penulis diakui sebagai pahlawan dan muncul di mata uang mereka masing-masing.

Keberadaan pahlawan perempuan di mata uang negara bukanlah hal baru. Sayangnya, saat negara-negara lain sudah menganugerahkan gelar pahlawan kepada penulis, seniman, dan aktivis, kita masih menilai pahlawan adalah pejuang kemerdekaan yang berani angkat senjata saja.

Negara-negara tersebut antara lain:

1) Amerika Serikat. Dari tahun 1865 hingga 1869, Pocahontas muncul di uang kertas 20 dolar. Gambar aktivis sosial dan hak perempuan, Susan B. Anthony, juga pernah dicetak dalam koin satu dolar di tahun 1979. Bahkan, di tahun ini, Kementerian Keuangan AS memutuskan menggunakan gambar seorang aktivis kemanusiaan kulit hitam, Harriet Tubman, di pecahan 20 dolar.

2) Novelis sekaligus aktivis hak perempuan Turki, Fatma Aliye Topuz, juga dinobatkan sebagai pahlawan. Wajahnya pun menghiasi bagian belakang uang kertas 50 lira negara tersebut (wajah presiden pertama Turki, Mustafa Kemal Atatürk, muncul di setiap uang Turki).

3) Pemerintah Meksiko menggunakan gambar wajah seniman Frida Kahlo pada uang kertas 500 peso. Ini bukan pertama kalinya seorang seniman diakui layak muncul dalam alat transaksi sepenting uang. Wajah Sor Juana Inés de la Cruz, seorang seniman sekaligus biarawati Meksiko di abad 17, pun ada pecahan 200 peso.

4) Selandia Baru adalah negara pertama di dunia yang yang mengesahkan hak pilih universal baik untuk laki-laki dan perempuan pada tahun 1893. Pejuang Kate Sheppard adalah salah satu aktor utama dalam pencapaian tersebut. Wajahnya muncul di uang kertas 10 dolar milik negara itu.

5) Di Australia ada penulis sekaligus aktivis reformasi sosial, Dame Mary Gilmore, di pecahan 10 dolar. Wajah pebisnis abad 19, Mary Reibey, pun menghiasi pecahan 20 dolar. Politisi dan pekerja sosial, Edith Cowan, muncul di pecahan 50 dolar. Terakhir, penyanyi soprano, Dame Nellie Melba, dipilih untuk pecahan 100 dolar.

Proses pemilihan tokoh yang layak dimunculkan pada uang rupiah tidak transparan.

Mayoritas masyarakat Indonesia pasti tidak mengerti bagaimana pembuatan keputusan dalam proses pemilihan tokoh-tokoh yang layak dimunculkan pada uang rupiah. Sejatinya, prosesnya memang tak transparan.

Semua telah terangkum dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2016 Tentang Penetapan Gambar Pahlawan Nasional Sebagai Gambar Utama Pada Bagian Depan Rupiah Kertas dan Rupiah Logam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Keppres tersebut, nama-nama pahlawan sudah terpilih. Dikutip dari Okezone.com, pemilihan tokoh-tokoh pahlawan itu dilakukan melalui focus group discussion (FGD) yang diikuti oleh sejarawan, akademisi, instansi terkait (Kemenkeu serta Kemensos), dan pemda. Namun, informasi mengenai siapa saja orang-orangnya dan seperti apa proporsi jender dalam FGD tersebut nampaknya bersifat rahasia.

Perspektif jender tak jadi pertimbangan utama.

Jender sendiri sepertinya bukan menjadi pertimbangan utama. Pemerintah hanya memutuskan siapa saja pahlawan yang pantas dicetak gambarnya di mata uang negara berdasarkan keterwakilan provinsi yang sebelumnya belum pernah ada pada lembaran maupun logam rupiah.

Pertimbangan berikutnya adalah seberapa besar perjuangan mereka di masa penjajahan yang masih dikarakterisasi dengan bentuk perjuangan maskulin. Kemudian, apakah ketokohan mereka populer, misalnya, sampai dijadikan nama jalan atau fasilitas umum.

Kita punya banyak tokoh-tokoh perempuan yang patut dipertimbangkan sumbangsihnya. Mereka antara lain adalah Dewi Sartika (aktivis pendidikan untuk kaum perempuan), S.K. Trimurti (wartawan, penulis, guru, aktivis politik), Marga T. (novelis dan tokoh literatur Indonesia), Sariamin Ismail (novelis perempuan pertama Indonesia), dan Lauw Ping Nio alias Nyonya Meneer (salah satu legenda industri jamu tradisional Indonesia).

Perjuangan mereka pun penting bagi kemajuan bangsa.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rosa Folia
EditorRosa Folia
Follow Us