MK Tolak Gugatan Mahasiswa yang Minta Rakyat Bisa Pecat Anggota DPR

- Hakim konstitusi menilai mekanisme recall anggota parlemen tidak sesuai dengan demokrasi perwakilan.
- Partai politik sulit melakukan penggantian antarwaktu (PAW) kader di parlemen.
- Pemohon uji materi menilai UU MD3 tidak mengakomodir hak konstitusi rakyat untuk mengawal kinerja anggota DPR.
Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang nomor 17 tahun 2017 pasal 239 ayat (2) tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) yang meminta ketentuan agar rakyat dapat memecat anggota parlemen. MK menilai bila mekanisme recall diterapkan bisa memberikan konsekuensi logis pada pilihan sistem pemilihan umum suatu negara, termasuk Indonesia. Selain itu, mekanisme recall tidak sejalan dengan demokrasi perwakilan.
"Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo seperti dikutip dari dokumen risalah persidangan pada Jumat (28/11/2025).
Sementara, hakim MK M. Guntur Hamzah memberi pertimbangan bila kewenangan proses recall atau penggantian anggota diberikan kepada konstituen, maka partai politik juga harus dapat melakukan yang sama.
"Pasal 22E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah mengatur bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, sehingga konsekuensi logis dari diterapkannya mekanisme recall terhadap anggota DPR dan anggota DPRD juga harus dilakukan oleh partai politik sebagai wujud pelaksanaan demokrasi perwakilan," ujar Guntur.
Selain itu, permintaan pemohon secara teknis sama saja dengan melakukan pemilihan umum ulang dan justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasalnya, tidak dapat dipastikan siapa pemilih yang telah memberikan hak pilihnya pada anggota parlemen yang kemudian diberhentikan.
1. Hakim konstitusi nilai warga bisa hukum anggota DPR dengan tak dipilih lagi

Lebih lanjut, Guntur mengatakan ada beberapa opsi yang dapat ditempuh oleh pemohon bila ditemukan anggota DPR atau DPRD tidak layak menjadi anggota parlemen. "Pemilih dapat mengajukan keberatan kepada partai politik bahkan dapat menyampaikan kepada partai politik untuk me-recall anggota DPR atau DPRD yang dimaksud," katanya.
Opsi lainnya, kata Guntur, pemilih bisa tak lagi memilih anggota DPR atau DPRD yang dianggap bermasalah. "Pemilih seharusnya tidak memilih kembali anggota DPRD atau DPRD yang bermasalah pada pemilu berikutnya," katanya.
2. Partai politik disebut tidak mudah lakukan PAW kader di DPR

Sementara, Wakil Kepala Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ahmad Doli Kurnia Tanjung sempat mengingatkan meski dalam Pasal 239 ayat 2 hanya partai politik yang berhak melakukan penggantian antarwaktu (PAW) kadernya di parlemen, ia mengklaim proses tersebut juga tidak mudah dilakukan. Ia merujuk pada kasus Fahri Hamzah yang menggugat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke pengadilan karena pernah dipecat pada 2016.
Tetapi, di tingkat Mahkamah Agung (MA), PKS dinyatakan kalah, sehingga harus membatalkan pemecatan Fahri dari partai. Selain itu, posisi Fahri sebagai Wakil Ketua DPR masih aman.
"Partai politik juga tidak mudah melakukan recall itu di dalam undang-undang yang sekarang," ujar Doli pada 21 November 2025 di Jakarta.
Sebab, menurut Doli, anggota parlemen memiliki hak eksklusif yang telah dipilih rakyat. Meski begitu, ia setuju dengan konsep anggota DPR dipilih rakyat, maka rakyat pula yang berhak mencabut mandat tersebut.
"Tapi ini kan negara, bukan perusahaan. Bukan berarti seseorang berbuat tidak baik pada hari ini, lalu esok bisa langsung dipecat. Ini kan terkait 280 juta jiwa yang harus dibuat aurannya," tutur dia.
3. Pemohon menilai UU MD3 tak mengakomodir hak konstitusi rakyat

Sementara, salah satu pemohon uji materi, Ikhsan Fatkhul Azis mengatakan, UU MD3 khususnya Pasal 239 ayat 2 poin d tidak mengakomodir hak konstitusi rakyat yang berhak mengawal kinerja anggota DPR. Dalam pasal yang digugat itu, tertulis dengan jelas hanya partai politik sebagai pengusul untuk memberhentikan anggota DPR.
"Hal itulah yang kemudian menjadi upaya kami untuk bisa tetap dibenahi. Apakah pasal tersebut kemudian dianggap sudah memenuhi makna substantif di dalam kedaulatan rakyat? Apakah benar-benar kedaulatan itu sudah dipegang oleh rakyat, karena selama ini kami sebagai pemilih atau masyarakat merasa kehilangan haknya, tidak ada saluran konstitusional bagaimana mengawasi atau melakukan pengusulan terhadap anggota partai itu sendiri," kata Ikhsan, memberikan penjelasan secara virtual, kemarin.















