Penyebab Banjir Bekasi Versi Greenpeace: Area Resapan Air Berkurang

- Greenpeace Indonesia menilai area DAS di Bekasi banyak berubah menjadi permukiman
- Resapan air dan hutan berkurang, menyebabkan banjir hebat di Bekasi
- Perencanaan tata ruang kota seharusnya berbasis DAS untuk mencegah banjir
Jakarta, IDN Times - Senior data strategist dari Greenpeace Indonesia, Sapta Proklamasi, mengatakan ada beberapa faktor penyebab banjir bekasi hebat yang khususnya melanda Kabupaten dan Kota Bekasi pada pekan ini. Dua di antaranya adalah area resapan air dan hutan terus berkurang.
Selain itu, menurut Sapta, Daerah Aliran Sungai (DAS) di sepanjang Kali Bekasi sudah banyak yang berubah menjadi permukiman.
"Ini adalah suatu rangkaian (peristiwa). Ada hujan dengan intensitas tinggi tetapi DAS-nya sendiri tidak bisa menampung volume (air hujan). Biasanya yang terdampak dari hujan intensitas tinggi adalah mereka yang berada di tengah dan hilir sungai," ujar Sapta ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Rabu (5/3/2025).
Sementara, area di bagian hulu sungai biasanya bakal mengalami longsor ketika intensitas hujan meningkat. Ia mengatakan ujung atau hulu DAS Bekasi mulai dari Hambalang, Gunung Pancar, dan Sentul.
Sapta menyebut hulu DAS Ciliwung berbeda dengan Bekasi. Sebab, DAS Ciliwung hanya satu.
"Kalau resapan airnya bagus (di hulu), ketika terjadi hujan dalam intensitas tinggi, air tidak serta merta melimpah ke bawah. Sementara, kejadian kemarin, air justru langsung melimpah. Tapi yang jelas penyebab banjir bekasi adalah kapasitas sungai tidak lagi sanggup menampung air hujan," tutur dia.
1. Sebanyak 42 persen dari DAS Bekasi jadi permukiman

Lebih lanjut, Sapta mengatakan, seharusnya perencanaan tata ruang kota berbasiskan DAS. Namun, yang terjadi kini, 42 persen tanah di sepanjang DAS Bekasi sudah disulap menjadi area permukiman. Bahkan, berdasarkan temuan Greenpeace Indonesia, Padepokan Garuda Yaksa yang menjadi kediaman Presiden Prabowo Subianto juga berada di DAS Bekasi.
"Itu betul. Dia (kediaman Prabowo) ada di pas area hulu (DAS Bekasi). Kalau kita lihat memang permukiman sekarang banyak ditemukan di sepanjang DAS Bekasi. Di sana juga ada Sentul dan Summarecon," kata Sapta.
Dalam aturan ekologis, kata Sapta, sungai memiliki area yang disebut sebagai buffer zone atau penyangga. Rata-rata area penyangga ini mencapai sekitar 50 meter, sehingga seharusnya tidak ada bangunan apapun di area penyangga tersebut. Bila masih ditemukan bangunan, maka perizinannya harus ditinjau ulang.
"Benarkah penerbitan sertifikat hak milik (SHM) bagi bangunan-bangunan sudah sesuai prosedur? Bisa jadi bangunan-bangunan itu seperti di Puncak yang ternyata liar. Alhasil, dibongkar dan dikembalikan ke fungsi area resapan," tutur dia.
2. Area hulu DAS Bekasi harus dikembalikan lagi jadi resapan air

Sapta pun menggarisbawahi satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya banjir lebih besar di area Bekasi, yakni dengan mengembalikan area hulu DAS sebagai tempat resapan air. Area hulu DAS bisa kembali direboisasi dan tetap terjaga kelestariannya.
"Bila di sepanjang DAS itu sudah ada bangunan, maka izinnya harus di-review ulang. Jika ia menyalahi ketentuan atau melanggar, maka harus dibongkar dan dikembalikan ke fungsi awal sebagai resapan air," katanya.
Selain itu, kata Sapta, bangunan di bantar sungai pun harus ditinjau ulang. Apakah bangunan-bangunan itu masuk area buffer zone sungai atau tidak.
"Benar kah bangunan itu berada di luar 50 meter buffer zone? Bila bangunan ada di dalam buffer zone, maka itu menjadi tugas pemerintah untuk menyelesaikannya," ujarnya.
Di sisi lain, Sapta menyebut, kapasitas sungai semakin berkurang. Sebab, ketika memasuki hilir sungai, jumlah bangunan justru makin bertambah banyak.
Bila pemerintah tidak melakukan upaya serius dan menuntaskan pangkal permasalahannya, maka tiap kali hujan bisa terjadi banjir besar yang akan merugikan masyarakat.
3. Banjir cepat surut bukan karena disebabkan operasi modifikasi cuaca

Sapta juga menilai penyebab banjir bekasi dimana airnya cepat surut bukan lantaran sudah mulai dilakukan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) oleh Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana (BNPB). OMC, kata dia, hanya mengurai hujan tapi tak menyebabkan banjir cepat surut.
Ada dua kemungkinan banjir yang melanda Bekasi cepat surut. "Pertama, di bagian hilir sungai, airnya masih mengalir. Tidak lagi sedang pasang naik. Kedua, intensitas hujannya belum besar," katanya.
Menurut Sapta hujan yang mengguyur Bekasi baru satu hari. Maka, dampak yang lebih parah bisa saja terjadi bila hujan mengguyur Bekasi lebih lama.
Sapta pun menyentil istilah banjir kiriman yang kerap disampaikan para pejabat. Pada faktanya area yang berada di dalam DAS Bekasi menjadi satu kesatuan, termasuk Bogor.
"Gak ada istilahnya banjir kiriman dari Bogor. Kami melihatnya dalam konteks DAS, ya itu satu kesatuan. Bila di bagian hulu sudah hancur, maka otomatis di bagian hilir juga terdampak," tutur dia.