Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Perempuan-perempuan Sumbar yang Tidak Kalah Harum dari Kartini

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/pras/17

Jakarta, IDN Times - Fungsional peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat, Zusneli Zubir, menilai lembaran sejarah nasional tidak menyediakan porsi untuk tokoh perempuan Minang. 

Padahal, saat sebelum Kartini berpikir, perempuan Minang sudah berbuat.

"Rohana Kudus, Rahmah el-Yunusiah, Rasuna Said, Siti Manggopoh dan lainnya,  masih kalah harum dengan sosok Kartini yang begitu diagung-agungkan dalam historiografi kolonial," jelas Zusneli Zubir dilansir dari harian umum Singgalang, Kamis (7/11).

1. Perempuan di Sumbar tidak terpisah dari ranah adat Minangkabau itu sendiri

Wikimedia.org/Collectie Tropenmuseum

Zusneli mengatakan jika bicara tentang perempuan di Sumatera Barat, tidak terpisah dari ranah adat Minangkabau itu sendiri.

Menurutnya, keberadaan perempuan Minang, dinarasikan dengan indah dalam mamang, “Di Minangkabau, perempuan dituah dimuliakan. Bangsa diambil dari perempuan. Bila tidak ada anak perempuan, alamat putus keturunan.”

"Penekanan kalimat di atas, menandakan perempuan Minang memiliki peran sentral dalam keluarga, suku, bahkan bernegara. Tidak heran, bila historiografi Minangkabau, meng-analogikan perempuan dalam sosok Bundo Kanduang," paparnya.

2. Persoalan yang dihadapi Kartini tidak lebih sama dengan yang dihadapi perempuan Sumbar

pedomanbengkulu.com

Zusneli menambahkan kungkungan adat, pembatasan gerak perempuan, urusan domestik merupakan sebab terkungkungnya perempuan dalam sangkar emas.

Mengutip pernyataan Graves, 2007, Zusneli mengatakan jiwa zaman Kolonial hanya memberi kebebasan pada lelaki, sembari membatasi hak perempuan, yang menuntut persamaan.

"Bila ditelisik lebih jauh, persoalan yang dihadapi Kartini, tidak lebih sama dengan yang dihadapi perempuan Minang," terangnya.

3. Perempuan Sumbar sudah sadar politik di masa dulu

inspaonline.com

Zusneli mengungkapkan perempuan Minang saat itu yakni saat Siti Manggopoh memprotes belasting, Rahmah el-Yunussiah menuntut perempuan bersekolah, dan Rasuna Said membuka kesadaran politik, sebagian kaum hawa mulai terbangun dari tidur panjangnya.

"Perempuan Minang masa itu, akhirnya sadar.  Ia bukan sekadar “pelaku” urusan domestik, namun juga harus mengambil peran yang sama dengan laki-laki," tegasnya

Melansir pernyataan Joan Scott (1988) yang mengatakan, perempuan tidak sekadar mendokumentasi kehidupannya, namun juga memetakan perubahan-perubahan posisi perempuan dari berbagai kelas sosial secara ekonomi, pendidikan, politik, dan lain-lain, dari kota, desa maupun negara bangsa.

 

4. Kancah perempuan Sumbar saat dijajah Jepang

wikiwand.com

Demikianlah perempuan Minang hasil binaan sekolah itu, mulai terjun ke kancah nasional pada masa pergerakan kebangsaan. Dari tangan mereka kemudian berdiri Diniyah Putri, Pusat Kerajinan Amai Setia, organisasi Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah, dan partai lokal PERMI.

Zusneli menceritakan saat memasuki masa pendudukan Jepang, beberapa kalangan menganggap gerakan perempuan Minang telah mati suri. Rupanya tidak.

"Catatan kecil menyebut, Rasuna Said mempelopori lahirnya Nippon Raya di Padang, kemudian dibubarkan Jepang. Sejarah lokal menarasikan, Rahmah ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial," bebernya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Umi Kalsum
EditorUmi Kalsum
Follow Us