Respons Pemerintah soal Bendera One Piece Dinilai Berlebihan

- Negara tidak boleh anti terhadap kritik, termasuk pengibaran bendera One Piece di masyarakat.
- Pemerintah diminta berhenti memberi pernyataan yang berlebihan terhadap fenomena kebebasan berekspresi di masyarakat.
- Perlindungan hak atas kebebasan berekspresi diatur di Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau ICCPR.
Jakarta, IDN Times - Amnesty International Indonesia menilai respons pemerintah pada fenomena pengibaran bendera bajak laut versi film animasi “One Piece” sangat berlebihan. Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan ekspresi pengibaran bendera bukan sebagai bentuk makar apalagi jadi bentuk pemecah belah bangsa. Menurut dia, mengibarkan bendera One Piece sebagai medium penyampaian kritik dan jadi bagian hak atas jkebebasan.
“Respons pemerintah dan aparat menyikapi fenomena pengibaran bendera One Piece di masyarakat jelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-80, apalagi yang disertai dengan ancaman pidana, sangatlah berlebihan. Mengibarkan bendera One Piece sebagai medium penyampaian kritik merupakan bagian dari hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh Konstitusi dan berbagai instrumen internasional lainnya yang telah diratifikasi Republik Indonesia," katanya, dalam keterangan tertulis, Senin (4/8/2025).
1. Negara tidak boleh anti terhadap kritik

Usman menjelaskan, represi lewat razia atau penyitaan bendera One Piece di masyarakat seperti yang terjadi di Tuban serta penghapusan mural One Piece di Sragen adalah bentuk perampasan kebebasan berekspresi. Hal itu kata dia bertujuan mengintimidasi dan menimbulkan ketakutan di masyarakat.
"Negara tidak boleh anti terhadap kritik," kata dia.
2. Pemerintah diminta berhenti memberi pernyataan yang berlebihan

Dari pada fokus pada razia dan merepresi kebebasan berpendapat, Usman menyarankan agar pemerintah bisa fokus selesaikan akar penyebab keresahaan yang ada di tengah masyarakat, hingga pengibaran bendera animasi asal Jepang karya Eiichiro Oda ini masif dilakukan.
"Pemerintah sebaiknya tidak anti-kritik dan harus berhenti memberi pernyataan yang berlebihan terhadap fenomena kebebasan berekspresi di masyarakat, apalagi disertai dengan ancaman sanksi pidana. Aparat harus melihat fenomena ini sebagai bagian dari kebebasan berekspresi," kata dia.
3. Perlindungan hak atas kebebasan berekspresi diatur di Pasal 19 ICCPR

Usman menjelaskan, perlindungan hak atas kebebasan berekspresi diatur di Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau ICCPR dan berlaku untuk segala jenis informasi dan gagasan. Hal itu juga termasuk [ada informasi dan gagasan yang dianggap mengejutkan, menyerang, atau mengganggu, terlepas dari apakah konten informasi atau gagasan tersebut benar atau salah.
Negara, kata dia, seharusnya hadir untuk melindungi, bukan membiarkan apalagi berperan dalam pembungkaman suara-suara kritis yang sah dari warga negara.