Seabad Pramoedya Ananta Toer: Negara Harus Jamin Kebebasan Berekspresi

- Peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer jatuh pada 6 Februari 2025, menandakan momen penting untuk memastikan negara tidak lagi memenjarakan warga negara hanya karena berkarya atau bersuara damai.
- Pram adalah simbol kemerdekaan berpikir, bersuara, berpendapat, dan berkarya yang perjuangannya harus dilanjutkan oleh generasi muda melalui suara lantang atas ketidakadilan yang dilakukan oleh negara.
Jakarta, IDN Times - Momen peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer jatuh pada 6 Februari 2025. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, ini harus jadi momen memastikan negara tak lagi memenjarakan warga negara hanya karena berkarya atau bersuara secara damai seperti oleh Pram.
Usman menjelaskan, dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), Pram adalah simbol kemerdekaan berpikir, bersuara, berpendapat, dan berkarya. Karya-karyanya pernah dibredel oleh negara sembari memenjarakan sastrawan besar Indonesia tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya termasuk di Pulau Buru.
“Separuh hidup Pram dihabiskan di penjara, separuhnya lagi di luar penjara dengan stigma negatif yang tak berdasar. Kebebasan Pram saat itu bukan merupakan hadiah negara, tapi desakan banyak pihak yang menyuarakan pembebasannya,” kata dia dalam keterangan kepada IDN Times, dikutip Jumat (7/2/2025).
1. Menulis sebagai ekspresi dari kebebasan

Dia menjelaskan, perjuangan Pram adalah perjuangan meraih kehidupan manusia yang bermartabat dan memelihara kemerdekaan berpikir dan juga berkarya, tapi dirampas oleh negara.
Anak-anak muda menyukai dan terinspirasi oleh karya-karya Pram, maka harus terus melanjutkan perjuangan Pram dengan terus bersuara lantang atas ketidakadilan yang dilakukan oleh negara.
"Kebebasan Pram dirampas oleh negara. Ini menandakan betapa kuatnya menulis sebagai ekspresi dari kebebasan asasi yang mestinya dilindungi oleh negara,” kata Usman.
2. Amnesty aktif advokasi dalam pembebasan Pram

Usman menjelaskan Amnesty International aktif mengadvokasi pembebasan Pramoedya Ananta Toer selama pemenjaraannya di Pulau Buru. Salah satu upayanya adalah memasukkan Pram dalam daftar prisoner of conscience di Newsletter Amnesty edisi 12-19 September 1972.
“Newsletter tersebut memuat profil Pram sebagai tahanan nurani atau mereka yang dipenjara hanya karena bersuara secara damai,” kata Usman.
Amnesty menjadikan kasus Pram sebagai kampanye utama dan mengerahkan anggotanya untuk mendesak pemerintah Indonesia membebaskannya. Pram akhirnya bebas pada 1979. Saat ditahan, Pram nyaris dieksekusi di luar hukum. Seorang tahanan politik memberi tahu keluarganya, yang lalu menghubungi Amnesty.
Astuti Ananta Toer mengungkapkan bahwa Basuki Effendy memperingatkannya tentang rencana pembunuhan ayahnya dan meminta agar segera menghubungi Amnesty. Selain dipenjara, Pram dilarang menulis hingga 1973. Amnesty sempat mengirimkan mesin ketik untuknya.
“Amnesty mendapat informasi bahwa mesin ketik pertama yang diberikan oleh Jean-Paul Sartre kepada Pram rusak,” kata Usman.
3. Negara diingatkan untuk bebaskan semua tahanan nurani

Dalam peringatan 100 tahun kelahiran Pramoedya, negara diingatkan untuk membebaskan semua tahanan nurani, termasuk mereka yang dijerat UU ITE, UU Penodaan Agama, UU Makar, dan UU Pornografi. Menurut Amnesty International Indonesia, dari Agustus 2019 hingga April 2024 terdapat 128 tahanan nurani dari 82 kasus di Indonesia.
“Hanya dengan membebaskan semua tahanan nurani, negara bisa dikatakan belajar dari masa lalunya yang kelam. Kami akan terus menyuarakan pembebasan tahanan nurani, seperti yang pernah kami lakukan untuk Pram,” kata Usman.
“Meminjam pesan Pram, generasi muda harus adil sejak dalam pikiran dan terus menulis agar tidak hilang dalam masyarakat dan sejarah. Adil dalam pikiran dan aktif menulis untuk menegakkan hak asasi manusia di Indonesia,” kata dia.