Serangan Umum 1 Maret 1949, Sejarah Hari Penegakan Kedaulatan Negara

- Serangan Umum 1 Maret 1949 dilakukan oleh TNI terhadap pasukan Belanda di Yogyakarta
- Peristiwa ini menjadi pemicu lahirnya Serangan Umum 1 Maret 1949 dan berdampak pada perjanjian antara Indonesia dan Belanda
- Peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara oleh Presiden Joko Widodo
Jakarta, IDN Times - Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah sebuah operasi militer yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap pasukan Belanda di Yogyakarta. Saat itu, Yogyakarta merupakan ibu kota Republik Indonesia.
Dikutip dari jurnal Cogent Social Sciences yang berjudul The March 1st, 1949, general attack: A defining point of recognition of Indonesia’s Sovereignty karya Nina Herlina, Kunto Sofianto & Miftahul Falah, setelah proklamasi 1945, perjuangan Indonesia tidak hanya berlangsung melalui pertempuran, tetapi juga melalui diplomasi.
Namun, dua perjanjian penting yaitu Linggajati (1947) dan Renville (1948) dilanggar oleh Belanda, yang kemudian melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta, yang saat itu merupakan ibu kota Republik Indonesia. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka.
Dikutip dari laman Kemendikbud, setelah pengasingan tersebut, Belanda sering mengumandangkan pemberitahuan melalui radio bahwa Pemerintahan RI sudah tidak ada, termasuk juga tentara Indonesia. Hal ini membuat TNI bangkit dan ingin membuktikan bahwa Republik Indonesia masih eksis.
1. Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949

Dikutip dari laman Kemendikbud, setelah Sukarno dan Hatta diasingkan, Belanda sering mengumandangkan pemberitahuan melalui radio bahwa Pemerintahan RI sudah tidak ada, termasuk juga tentara Indonesia.
Tindakan Belanda tersebut menjadi pemicu utama lahirnya Serangan Umum 1 Maret 1949. Pada awal Februari 1949, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mendengar melalui siaran BBC bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan membahas konflik Indonesia–Belanda pada bulan Maret 1949. Bagi Sri Sultan, kabar ini menjadi momentum penting bagi perjuangan Indonesia.
Sebelum sidang PBB dimulai, dunia internasional harus mendengar kejutan besar dari TNI, yakni sebuah tindakan militer yang mampu membuktikan keberadaan Republik Indonesia dan kekuatan militernya. Usulan Sri Sultan untuk melakukan penyerangan disetujui oleh Jenderal Sudirman dan Letnan Kolonel Soeharto.
Di sisi Lain, untuk mempertahankan eksistensi negara, Mr. Sjafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat pada 22 Desember 1948.
Akhirnya pada 1 Maret 1949 pukul 06.00 pagi, tepat setelah sirine penanda berakhirnya jam malam berbunyi, seluruh pasukan TNI di bawah komando Letkol Soeharto menyerang secara serentak dari berbagai arah. Hingga akhirnya pasukan TNI berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar enam jam, sampai sekitar pukul 12.00 siang, TNI mulai ditarik keluar kota karena pasukan Belanda menguat.
Setelah menerima kabar itu, Sjafruddin Prawiranegara memerintahkan agar berita tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 disiarkan melalui Radio Rimba Raya yaitu radio milik Divisi X TNI yang berlokasi di Kabupaten Bireuen, Aceh. Dari sana, berita tersebut dikirim langsung ke radio di Burma (sekarang Myanmar). Kemudian, melalui siaran radio Burma, berita mengenai Serangan Umum 1 Maret diterima oleh All India Radio di New Delhi, India.
Dari India, kabar tentang Serangan Umum itu menyebar ke seluruh dunia. Dengan tersebarnya berita tersebut, masyarakat internasional menyadari bahwa Republik Indonesia masih ada dan terus berjuang. Akibatnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhasil menekan Belanda untuk menghentikan ofensif militernya dan memerintahkan pengembalian Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta para pemimpin lainnya ke Yogyakarta. Selain itu, PBB juga meminta Belanda dan Indonesia untuk kembali ke meja perundingan guna membahas masa depan Indonesia.
2. Perjanjian yang dihasilkan setelah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949

Dewan Keamanan PBB memerintahkan Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI) agar menyelenggarakan konferensi pendahuluan antara Indonesia dan Belanda. Tujuan konferensi ini adalah untuk memulihkan kekuasaan Republik Indonesia serta menyiapkan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Konferensi pendahuluan tersebut diselenggarakan di Jakarta pada 14 April–7 Mei 1949. Pihak Indonesia diwakili oleh Mohamad Roem (Ketua delegasi Indonesia) dan Belanda diwakili Jan Herman van Roijen (Menteri Luar Negeri Belanda). Konferensi itu menghasilkan kesepakatan yang dinamai Pernyataan Roem–van Roijen (Roem–van Roijen Statements).
Melalui pernyataan tersebut, J.H. van Roijen secara resmi menyatakan bahwa Belanda akan mengembalikan kekuasaan Republik Indonesia, dengan mengembalikan pimpinan pemerintahan Republik ke Yogyakarta. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama “Yogya Kembali.”
Selain itu, dalam Pernyataan Roem–van Roijen juga ditegaskan bahwa kedua pihak sepakat untuk menyelenggarakan KMB sebagai langkah politik menuju penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Setelah dilakukan KMB, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia yang ditandai dengan ditandatanganinya Akta Penyerahan dan Pengakuan Kedaulatan oleh Ratu Juliana dan Perdana Menteri Mohammad Hatta di Amsterdam.
Sementara itu, di Koningsplein Jakarta (kini Lapangan Merdeka), pada 27 Desember 1949 pukul 17.00 waktu setempat, Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) menerima penyerahan kedaulatan dari A.H.J. Lovink, yang menjabat sebagai Wakil Mahkota Belanda di Indonesia.
3. Tanggal 1 Maret ditetapkan sebagai Hari Penegakkan Kedaulatan Negara

Dikutip dari laman Komdigi, pada masa pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo, diterbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
“Menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara,” bunyi Diktum Kesatu peraturan yang ditandatangani Presiden Jokowi pada tanggal 24 Februari 2022 tersebut.
Ditegaskan pada Diktum Kedua, Hari Penegakan Kedaulatan Negara bukan merupakan hari libur.

















