Tantangan Perempuan di Pilkada, Alami Stereotip hingga Dianggap Lemah

- Representasi perempuan dalam Pilkada 2024 disorot, minimnya partisipasi politik perempuan dikhawatirkan kecilkan kekuatan perempuan untuk majukan bangsa.
- Kehadiran perempuan di bidang politik penting untuk pengambilan keputusan dan kebijakan berperspektif gender, namun masih banyak tantangan yang dihadapi.
- Perlu adanya komitmen politik yang mampu menyelesaikan permasalahan sampai akarnya, serta memastikan Pilkada bebas dari diskriminasi bagi perempuan baik peserta maupun pemilih.
Jakarta, IDN Times - Jelang agenda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, representasi perempuan kembali disorot. Baik dari calon kepala daerah perempuan maupun pemilih perempuan.
Plt. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Titi Eko Rahayu mengakui minimnya partisipasi politik perempuan untuk maju dalam ajang kontestasi politik. Hal ini dikhawatirkan dapat kecilkan kekuatan perempuan untuk majukan bangsa, khususnya dalam bidang politik.
“Perempuan yang maju dalam bursa Pilkada, masih banyak yang dipertanyakan kemampuannya. Selain itu, perempuan juga masih saja mendapat stereotip sebagai orang yang tak pantas memimpin. Keadaan diperburuk dengan karakteristik sistem politik Indonesia didominasi budaya patriarki, yang memandang perempuan sebagai sosok lemah dan tidak bermanfaat," kata dia dalam media talk di KemenPPPA, dilansir Selasa (10/9/2024).
1. Kehadiran perempuan di bidang politik sangat penting

Titi menjelaskan, kehadiran perempuan di bidang politik sangat penting untuk pengambilan keputusan dan kebijakan berperspektif gender.
Karena minimnya perempuan di ranah politik, perempuan jadi enggan untuk berbicara terbuka, malu, tidak percaya diri jika berkiprah pada bidang politik.
2. Perempuan alami kekerasan dan minim promosi

Ada berbagai tantangan yang masih harus dihadapi perempuan dalam kontestasi pilkada, di antaranya kekerasan perempuan dalam pemilu, baik kekerasan fisik maupun psikis, kemudian belum adanya standar atau proses rekrutmen khusus bagi kandidat perempuan. Serta belum ada partai yang mengatur program tindakan afirmatif untuk mempromosikan kandidat perempuan.
Oleh karena itu, menjadi penting untuk para perempuan calon kepala daerah punya gender awareness dan memerhatikan isu gender dalam kampanye Pilkada, di samping memahami isu aktual daerah dan tugas fungsi calon kepala daerah.
3. Pilkada harus bebas diskriminasi baik peserta dan pemilih perempuan

Karena keterwakilan perempuan sebagai calon kepala daerah juga mewakili suara serta kepentingan perempuan dan anak. Maka dari itu, menjadi tugas masyarakat sebagai pemilih harus memastikan apakah program yang ditawarkan cakada perempuan mampu menjawab isu perempuan dan anak di daerahnya.
"Kemudian komitmen politik yang dibangun menyelesaikan permasalahan sampai ke akarnya, dan tidak adanya pelanggaran, sekaligus tetap menciptakan pilkada yang ramah perempuan dan anak. Kita juga harus memastikan bahwa Pilkada Serentak tahun ini bebas dari diskriminasi bagi perempuan, baik peserta maupun pemilih,” ujar Titi Eko.
Pilkada 2024, kata Titi Eko, harus bebas diskriminasi baik peserta dan pemilih perempuan.