Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Terganjal PKPU, Gibran Berpotensi Tidak Sah Daftar jadi Cawapres 2024?

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (IDN Times/Aditya Pratama)
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Karpet merah karier putra sulung Presiden Joko "Jokowi" Widodo, Gibran Rakabuming Raka belakangan jadi sorotan usai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan perkara 90/PUU-XXI/2023. Dalam uji materiil terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu, MK menambahkan frasa pada Pasal 169 huruf q menjadi, "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah".

Dengan demikian, seseorang yang belum berusia 40 tahun bisa maju sebagai capres atau cawapres, selama pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Gayung pun bersambut, kurang dari sepekan, bacapres Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto langsung mengumumkan Gibran maju sebagai bacawapres.

Kini bola panas polemik karpet merah Gibran di 2024 menimpa Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasalnya, lembaga penyelenggara pemilu itu tak bisa segera mengakomodir Putusan MK dalam revisi Peraturan KPU (PKPU) di tengah tahapan yang sangat mepet. KPU juga harus konsultasi revisi PKPU ke DPR yang saat ini sedang masa reses.

1. Pendaftaran duet Prabowo-Gibran potensial tidak sah

Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto (kanan) mengajari putra Jokowi, Gibran Rakabumi Raka (kiri) berkuda di Hambalang, Sabtu, 18 Juni 2022. (Dokumentasi Prabowo)
Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto (kanan) mengajari putra Jokowi, Gibran Rakabumi Raka (kiri) berkuda di Hambalang, Sabtu, 18 Juni 2022. (Dokumentasi Prabowo)

Pengamat kepemiluan dan Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita menilai bahwa uji materiil di MK merupakan materi yang levelnya setingkat undang-undang bukan peraturan teknis.

Sehingga putusan itu tidak serta merta membatalkan aturan sebelumnya jika tak dilakukan revisi pada PKPU. Sebab, yang digugat ialah pasal yang ada dalam UU, yakni Pasal 169 huruf q UU Nomor 7/2017. Maka saat ini yang sah secara hukum, syarat capres dan cawapres minimal 40 tahun, tanpa ada embel-embel pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

Menurutnya, apabila nanti KPU tetap menerima berkas pendaftaran Gibran saat mendaftar sebagai cawapres, maka seharusnya dokumen itu tidak sah selama PKPU belum direvisi.

"Maka KPU perlu mengubah PKPU tentang pencalonan capres dan cawapres tersebut. Jangan sampai KPU tidak terlihat paham peraturan perundang-undangan. Jadi kalau KPU tidak mengubah, maka hemat saya tidak sah atau tidak legitimate," tutur Mita dalam keterangannya.

"(Berkas pendaftaran Gibran) tidak sah. Jika PKPU tidak diubah. Karena pendekatan surat dinas hanya kebijakan dan tidak masuk dalam peraturan perundang-undangan," lanjut dia.

2. Tak revisi PKPU, KPU akali lewat surat dinas

Ilustrasi penyelenggara pemilu. (IDN Times/Sukma Shakti)
Ilustrasi penyelenggara pemilu. (IDN Times/Sukma Shakti)

KPU sendiri sudah menerbitkan surat dinas sebagai tindak lanjut terhadap Putusan MK soal syarat usia capres dan cawapres tersebut. Surat dinas bernomor 1145/PL.01.4-SD/05/2023 itu ditujukan kepada sejumlah partai politik peserta Pemilu 2024. Pada pokoknya, KPU meminta parpol memdomani Putusan MK.

Komisioner KPU, Idham Holik memastikan, surat dinas yang diterbitkan KPU memiliki kekuatan hukum sejak diputuskan oleh MK. Dia menyebut Putusan MK itu juga serta merta berlaku pada Pemilu 2024. Dia berdalih, alasan KPU tak kunjung merevisi PKPU karena menganggap sifat Putusan MK yang berlaku mengikat.

"Karena memang pada dasarnya telah berlaku penjelasan Pasal 10 Ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 2011, di mana Putusan MKmemiliki kekuatan hukum sejak dibacakan oleh Hakim MK," kata Idham kepada awak media, Senin (23/10/2023).

3. Revisi PKPU tanpa konsultasi ke DPR cacat prosedur

Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP membahas rancangan PKPU dan Perbawaslu pada Senin, 29 Mei 2023 (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP membahas rancangan PKPU dan Perbawaslu pada Senin, 29 Mei 2023 (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sementara, Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menegaskan bahwa diperlukannya pembahasan lebih lanjut mengenai Putusan MK untuk dikonsultasikan di DPR. Jika tidak dikonsultasikan, ia khawatir jika KPU tetap memaksakan malah akan menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.

“Sudah banyak para pakar yang menyatakan bahwa kalau tanpa melalui prosedur konsultasi dianggap cacat prosedur. Ini tentu akan menimbulkan malapetaka kalau seandainya KPU memaksakan keputusan MK langsung diadopsi menjadi PKPU tanpa melakukan konsultasi ke DPR,” kata Guspardi kepada Parlementaria usai Diskusi Dialektika Demokrasi di Media Center Nusantara III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (19/10/2023).

Politisi Fraksi PAN ini kemudian menyatakan bahwa yang menjadi persoalan saat ini adalah DPR sedang mengalami masa reses. Sehingga prosedur konsultasi yang seharusnya dilakukan menjadi terhambat. Ia juga menambahkan bahwa sebenarnya RDPU boleh saja dilakukan jika mendapat persetujuan dari Pimpinan DPR RI.

“Pelaksanaan reses sudah dimulai sejak tanggal 4 Oktober sampai dengan 30 Oktober. Aturan mengatakan bahwa selama masa reses DPR tidak boleh melakukan Rapat Dengar Pendapat, rapat kerja, ataupun RDPU dengan masyarakat umum. Boleh dilakukan RDPU, rapat kerja manakala mendapatkan izin dari pimpinan DPR. Itu mekanisme,” tutur Guspardi.

Untuk itu, MK sebagai lembaga yudikatif tidak bisa membuat keputusan mengenai perubahan Undang-Undang Pemilu termasuk juga PKPU. Sebab, pembuat undang-undang merupakan ranah dari DPR bersama pemerintah sesuai dengan fungsi dan tugasnya.

“Perppu-nya juga harus mendapatkan pengesahan dari DPR, tidak perlu dibahas kalau Perppu yang dilakukan oleh pemerintah. Apakah DPR setuju atau tidak dan tidak perlu ada pembahasan terhadap hal-hal yang berkaitan terhadap pasal demi pasal, ayat demi pasal. Hanya mengatakan bahwa setuju atau tidak setuju,” ungkap dia.

4. Buntut putusan yang beri karpet merah untuk Gibran, MKMK usut dugaan pelanggaran Hakim MK

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Lebih lanjut, MK memastikan akan membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk menindaklanjuti adanya berbagai laporan dugaan pelanggaran kode etik Hakim Konstitusi.

Berbagai laporan itu disampaikan terkait putusan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dianggap kontroversial.

Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih mengatakan pihaknya menerima setidaknya tujuh laporan perihal putusan tersebut.

"Perihal yang mereka ajukan adalah dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim," kata dia dalam konferensi pers di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (23/10/2023).

Enny menyebut, MKMK dibentuk sebagai pihak yang akan memeriksa dan mengadili hakim konstitusi yang diduga manggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.

"MKMK terbentuk karena memang salah satunya karena perintah dari undang-undang untuk pembentukan MKMK sebagai bagian dari kelembagaan yang memang dimintakan oleh undang-undang, khususnya pasal 27A untuk kemudian memeriksa, termasuk kemudian di dalamnya mengadili kalau memang terjadi persoalan yang terkait dengan laporan dugaan pelanggaran, termasuk juga kalau ada temuan di situ," tutur Enny.

Sebagaimana diketahui, laporan dugaan pelanggan kode etik dan pedoman perilaku hakim ini disampaikan sejumlah pihak usai MK mengabulkan gugatan dalam perkara 90/PUU-XXI/2023.

Usai dikabulkannya putusan itu, Koalisi Indonesia Maju (KIM) sepakat mendorong Gibran untuk maju sebagai bacawapres mendampingi bacapres Prabowo. Banyak pihak yang menilai putusan itu cacat secara hukum. Bahkan, sejumlah lapisan masyarakat terutama mahasiswa sempat menggelar demo sebagai bentuk protes terhadap fenomena yang disebut sebagai upaya dinasti politik.

5. Saldi Isra ungkap keanehan dikabulkannya gugatan

Hakim konstitusi Saldi Isra terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028. (youtube.com/Mahkamah Konstitusi)
Hakim konstitusi Saldi Isra terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028. (youtube.com/Mahkamah Konstitusi)

Sebelumnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait dikabulkannya gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini," kata Saldi ruang sidang, Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (6/10/2023).

Sebab, Saldi mengaku, baru kali ini mendapat peristiwa aneh dan di luar nalar karena Mahkamah berubah sikapnya hanya dalam waktu singkat. 

Padahal, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU XXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

"Sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar," ucap dia.

"Padahal, sadar atau tidak, putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari," sambung Saldi.

Menurut dia, perubahan tersebut tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat. Saldi lantas mempertanyakan keputusan MK yang tiba-tiba mengabulkan gugatan 90/PUU-XXI/2023 tersebut.

"Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?," imbuh dia.

Sebagaimana diketahui, ada empat hakim MK yang memiliki pendapat yang berbeda atau disenting opinion terkait putusan tersebut. Dua hakim yang setuju dengan putusan tersebut memiliki alasan berbeda yakni Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh. 

Kemudian empat hakim memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
Yosafat Diva Bayu Wisesa
3+
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us