Polemik Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir: Politis atau Kemanusiaan?

Rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir menuai pro kontra

Jakarta, IDN Times - Sepekan terakhir kata kunci Abu Bakar Ba’asyir berseliweran di media sosial. Namanya menjadi headline di berbagai media pemberitaan sejak Presiden Joko 'Jokowi' Widodo hendak memutuskan pendiri Pesantren Al Mu’min Ngruki itu bebas tanpa syarat.

Artinya, orang nomor satu di Indonesia itu mengizinkan aktor intelektual di balik bom Bali I hidup bersama masyarakat, tanpa harus tunduk dan patuh terhadap Pancasila.

Gagasan membebaskan Ba’asyir ternyata bukan ide baru. Sejak 2017, keluarga Ba’asyir telah mengajukan permohonan pembebasan, atau paling tidak menjadi tahanan rumah. Faktor umur dan kesehatan menjadi pertimbangan utama.

Tepatnya pada November 2017, pria kelahiran 17 Agustus 1938 itu divonis menderita Chronic Venous Insufficiency (CVI) atau kelainan pada pembuluh darah. Dokter RSCM Salemba menemukan kista di bagian kanan belakang kakinya.

Lika-liku pembebasan Ba’asyir mencuat pada awal 2019, ketika Penasihat Hukum Jokowi-Ma’ruf, Yusril Ihza Mahendra, mendatangii Lapas Gunung Sindur, Jumat (18/1). Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu mengaku ditugaskan Jokowi untuk mengkaji upaya pembebasan alumni Pondok Pesantren Gontor itu, setelah melewati 2/3 dari masa hukumannya.

Pada hari yang sama, ketika Jokowi mengadakan kunjungan kerja ke Garut, mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan, rencana pembebasan tanpa syarat murni dilandasi nilai kemanusiaan.

"Ya yang pertama memang alasan kemanusiaan, artinya Beliau kan sudah sepuh. Ya pertimbangannya kemanusiaan. Termasuk ya tadi kondisi kesehatan," kata Jokowi di Pesantren Darul Arqam, Garut.

Drama pembebasan mantan Ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) itu rupanya tak berjalan mulus. Belum Ba'asyir sempat menghirup udara bebas, pemerintah seperti gagap dengan keputusan yang diambil.

Semuanya tampak ketir dengan 'keteguhan' Ba’asyir tidak mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagi dia, tunduk hanya boleh kepada Allah SWT. Bertekuk lutut di bawah rezim demokrasi artinya menuhankan thagut.   

Seakan tak kuat diterpa kontroversi, akhirnya pemangku kekuasaan melalui Wiranto selaku Kemenko Polhukam, menarik keputusan yang sebelumnya digaungkan sebagai salah satu kemurahan hati Jokowi. 

“Presiden memerintahkan kepada pejabat terkait untuk segera melakukan kajian secara lebih mendalam dan komprehensif, guna merespons permintaan tersebut. Masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya, seperti aspek ideologi Pancasila, NKRI, hukum, dan sebagainya,” kata Wiranto.

'Bola liar' yang kian melambung tinggi telah kehilangan arah. Seluruh pihak mengambil sikap. Bagaimana kemudian isu ini menjadi perbincangan di tengah masyarakat?

1. Pro-kontra pembebasan Abu Bakar Ba’asyir, kepentingan elektoral atau urusan kemanusiaan?

Polemik Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir: Politis atau Kemanusiaan?ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Calon Wakil Presiden nomor urut 01 Ma’ruf Amin angkat suara di tengah rencana pembebasan Ba’asyir. Ketika menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf sempat mengusulkan agar pihak keluarga mengajukan grasi.

“Betul, saya memang pernah mengusulkan. Cuma pada waktu itu, secara teknis masih akan ditempuh grasi. Tapi keluarganya tidak mau meminta, sehingga sulit dibebaskan. Kemudian sekarang sudah ditemukan lagi alasannya, yaitu kemanusiaan,” terang dia, Minggu (20/1).

Bahkan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin turut memperkuat argumen alasan kemanusiaan. Dari sudut pandangnya, Ba’asyir yang sudah sepuh dan saki-sakitan, lebih elok bila pemerintah mengizinkan hidup di tengah masyarakat.

Di lain sisi, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menentang argumentasi alasan kemanusiaan yang digunakan pemerintah. Ia menilai, masih banyak ulama yang dikriminalisasi, salah satunya pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. Dengan tegas, politikus Partai Gerindra itu menyebut apa yang dilakukan Jokowi sebagai manuver politik.

“Menurut saya pemerintah saat ini mempermainkan hukum,” kata dia.

Terlepas dari pro-kontra dan klaim keterlibatan di berbagai pihak, Abu Bakar Ba’asyir sebenarnya telah mendapat hak untuk bebas bersyarat sejak Desember 2018. Satu hal yang mengambatnya adalah keengganan setia terhadap NKRI.

2. Ratusan narapidana menunggu dibebaskan dengan alasan kemanusiaan. Akankah dibebaskan seperti Ba’asyir?

Polemik Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir: Politis atau Kemanusiaan?ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Bila argumentasi kemanusiaan ditentukan oleh faktor usia dan kesehatan, berdasarkan data milik Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham per 9 Oktober 2018, ada 51 dari 222 narapidana lanjut usia yang divonis mati oleh Kejaksaan Agung. Mereka menunggu 'belas kasih' dari pemerintah.

Adapun kriteria lanjut usia menurut Kementerian Kesehatan adalah mereka yang menginjak usia di atas 50 tahun.

Perihal aspek kemanusiaan, pengamat Certified Counter Terrorism Practitioner Border Rakyan Adibrata mengingatkan, agar pemerintah tidak melupakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

“Kita ini kan hidup di negara hukum. Jadi jangan berbuat baik, tapi kemudian malah bertentangan dengan hukum,” kata dia kepada IDN Times, Selasa (22/1).

Baca Juga: TKN Tidak Diajak Bicara Soal Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir oleh Yusril

3. Bila Ba’asyir dibebaskan, siapa yang sebenarnya diuntungkan?

Polemik Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir: Politis atau Kemanusiaan?(Opsi hukum pembebasan Abu Bakar Ba'asyir) IDN Times/Sukma Shakti

Ditambahkan oleh Rakyan, ia tidak yakin bila pembebasan Ba’asyir akan memberikan keuntungan elektoral bagi koalisi Jokowi-Ma’ruf. Sebab, salah satu karakter penganut paham radikal adalah menolak demokrasi. “Makanya keuntungan buat siapa? Mereka kan pasti golput karena menganggap sistem pemilu sebagai thagut,” tambahnya.

Karena kapasitasnya bukan sebagai pengamat politik, ia enggan bicara banyak perihal dinamika elektoral. Namun, lantaran sudah terlanjur menggema, isu pembebasan Ba’asyir akan menjadi tantangan bagi Jokowi. Bila pembebasannya benar-benar dilandasi pertimbangan kemanusiaan, menurut Rakyan, alangkah baiknya bila pemerintah mengizinkan Ba’asyir untuk berkumpul kembali bersama keluarganya selepas 17 April 2019 nanti.   

Hingga saat ini, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga masih mempertimbangkan nilai positif dan negatif terkait pembebasan Ba'asyir. Tunduk dan patuh terhadap ideologi bangsa menjadi salah satu pertimbangan utama. 

“Kami masih mengkaji segala pertimbangan yang ada dengan kementerian terkait. Masih ada faktor-faktor yang dipertimbangkan, seperti janji setia kepada ideologi Pancasila, pertimbangan hukum, dan masih banyak lagi. Kami masih belum memutuskannya,” kata Suhardi kepada IDN Times di kantornya, Jakarta, Selasa (22/1).

4. Sepak terjang Abu Bakar Ba’asyir, dari Indonesia hingga Malaysia

Polemik Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir: Politis atau Kemanusiaan?Abubakar Ba'asyir dibebaskan dari lapas. (Dok.IDN Times/Istimewa)

Pada 1985, Ba’asyir sempat melarikan diri ke Malaysia karena menolak asas tunggal Pancasila yang diwajibkan Soeharto sebagai landasan seluruh organisasi di Indonesia.

Di Negeri Jiran, ia menyebarkan ajaran Islam yang dianggap pemerintah Amerika Serikat sebagai paham radikal. Hal itu tidak lepas dari organisasi bentukannya, Jamaah Islamiyah, yang disebut-sebut berafiliasi dengan Al-Qaeda.

Ba’asyir sempat berurusan dengan Mahkamah Agung karena menolak Pancasila. Ia sempat dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara. Lantaran dasar hukum yang menuai polemik, akhirnya ia batal ditahan.

Pada 2002, usai Bom Bali I terjadi, Oemar Al-Faruq yang merupakan pemuda Yaman ditangkap di Bogor. Ia menyebut Ba’asyir sebagai dalang terorisme yang menewaskan lebih dari 202 jiwa. Pada 18 Oktober 2002, Ba’asyir ditetapkan sebagai tersangka.

Tiga tahun kemudian, pada 3 Maret 2005, Ba’asyir divonis dua tahun enam bulan kurungan, karena terlibat Bom Bali I. Sempat menghirup udara bebas, ia kembali ditangkap pada 9 Agustus 2010 di Ciamis, dengan tuduhan mendanai kelompok militan di Aceh.

Setelah melewati proses persidangan, pada 16 Juni 2011, Ba’asyir dijatuhi vonis 15 tahun penjara lantaran terbukti mendukung kegiatan terorisme di Indonesia. Sempat mengajukan kasasi, Mahkamah Agung menolak putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 27 Februari 2012.

Setelah melewati 2/3 dari masa hukumannya, pada 18 Januari 2019, Yusril menyampaikan kepada publik bahwa Ba’asyir akan dibebaskan tanpa syarat. Namun sayang, ketika keluarga dan para santrinya sudah merindukan kehadirannya, pemerintah meninjau kembali keputusan tersebut pada 21 Januari 2019. Ba’asyir belum bisa menghirup udara segar.

5. Thiolina Marpaung memilih berdamai dengan diri sendiri

Polemik Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir: Politis atau Kemanusiaan?ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Masih terngiang dengan jelas bagaimana Bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002 menghujam seluruh anggota tubuh Thiolina Marpaung. Kaca mobil yang ditumpanginya pecah. Gaung bom malam itu membuatnya hilang kesadaran.

Saat siuman, ia tersadar lensa matanya rusak akibat serpihan kaca. Kendati, Thiolina mengaku sudah memaafkan apa yang diperbuat sang pelaku, termasuk Ba’asyir. Ia memilih berdamai dengan dirinya sendiri.

“Pertama Beliau (Ba'asyir) sudah tua sekali dan umur segitu harusnya tempatnya bukan di penjara. Kemudian ditambah lagi secara kemanusiaan di umur segitu sakit-sakitan. Jika kita ikut membalasnya dengan hukuman, maka tak ada bedanya kita dengan mereka," kata dia kepada IDN Times.

Bahkan, Thiolina percaya apa yang dilakukan Presiden Jokowi bukan tindakan politis. “Karena waktu dikeluarkan momennya pas lagi kampanye, seolah masyarakat menganggap Jokowi mau cari muka jelang pemilu. Ini lebih karena kondisinya Ba'asyir yang kurang sehat," kata dia.

Thiolina tidak menampik bila masih ada korban yang belum memaafkan para pelaku. Menurut dia, itu adalah hak setiap individu yang tidak bisa dipaksakan. Tidak terkecuali pemerintah Australia yang tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah membebaskan Ba’asyir.

6. ICJR minta agar narapidana lanjut usia tidak dihukum mati

Polemik Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir: Politis atau Kemanusiaan?IDN Times/Sukma Shakti

Di tengah polemik pembebasan Ba’asyir, Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju menyarankan supaya pemerintah tidak memberikan hukuman mati kepada terpidana lanjut usia. Permintaan tersebut dilandasi lima alasan.

“Harus diakui bahwa dengan masalah beban lapas dan rutan di Indonesia mencapai 202 persen pada Desember 2018. Maka hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat memang menjadi kendala serius di dalam lapas,” kata Anggara, menyebut alasan pertamanya.

Alasan kedua, Anggara menyarankan agar pemerintah mengevaluasi apakah narapidana lanjut usia harus menjalani hukumannya di dalam atau di luar lapas. Ia khawatir penumpukan yang terjadi akan mengarah kepada penyalahgunaan wewenang.

Alasan ketiga, dalam pelaksanaan masa hukuman, Anggara meminta agar kementerian atau lembaga terkait saling bersinergi. Alasan keempat, terkait mekanisme tahanan rumah, Anggara menyarankan supaya petugas lapas datang secara berkala atau dengan frekuensi tertentu. Sehingga, para narapidana tidak merasa bebas.

Terakhir, Anggara merujuk kepada ketentuan internasional yang melarang hukuman mati kepada narapidana lanjut usia. “Sehingga atas orang-orang yang demikian, pemerintah jelas harus memikirkan jalan keluar. Salah satunya dengan cara mengevaluasi ketentuan yang mempersulit komutasi pidana terpidana mati,” tutup dia.

7. Bila Ba’asyir benar-benar dibebaskan, akankah ancaman teror meningkat?

Polemik Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir: Politis atau Kemanusiaan?ANTARA FOTO/Reno Esnir

Pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian Ali Fauzi yakin pembebasan Ba’asyir tidak akan menghidupkan sel-sel terorisme yang dianggap 'mati suri'. Dari sudut pandangnya, sejak 2011 pemetaan terorisme di Indonesia sudah berubah.

"Banyak yang tidak tahu itu, sejak 2011 pascapelatihan Beliau ditindak, sama sekali tidak terlibat Beliau pada aksi bom baru-baru ini. Sesungguhnya delapan tahun terakhir bukan sel Beliau, tapi sel lainnya. Ini perlu dipahamkan," ujar Ali kepada IDN Times, Senin (21/7).

Mantan narapidana terorisme itu juga melihat upaya pemerintah saat ini agar tidak ingin dicap sebagai rezim kejam. Karenanya, narasi kemanusiaan terus digaungkan dalam langkah-langkah pembebasan Ba’asyir.

"Pak Jokowi khawatir udah 80 lebih (usia Ba'asyir), meninggal di penjara tentu jadi atmosfer politik yang tidak baik, jadi hujatan dari lawan politik dan simpatisan Pak Ba'asyir. Ini semacam antisipasi. Jangan sampai Ba'asyir tutup usia saat di penjara di masa Jokowi. Jika ini memang terjadi akan jadi justifikasi bahwa rezim Jokowi kejam," kata Ali.

Terkait keputusan pemerintah untuk meninjau ulang pembebasan Ba'asyir, Pengamat Terorisme Harits Abu Ulya menyebut pemerintah seperti gelisah dengan respons mitra luar negerinya.

“Bisa jadi Indonesia takut dengan ragam sanksi atau embargo dari Amerika dan sekutunya. Statemen Wiranto mengindikasikan adanya tekanan tersebut, dan kadaulatan Indonesia sangat kritis. Harusnya, Presiden Jokowi tampil ke depan, tidak perlu ‘lepas tangan’ dan menyerahkan kepada menteri-menterinya untuk merancang narasi agar meyakinkan publik mau memaklumi bahwa kebijakan Presiden tidak ada yang salah jika menimbang dan mengkaji ulang,” ujar pria yang menjabat sebagai Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) itu.

Baca Juga: Jokowi: Abu Bakar Ba'asyir Mau Bebas, Syaratnya Harus Dipenuhi

Topik:

  • Rochmanudin
  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya