Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

CDC Tiongkok: Kasus Corona Wuhan 10 Kali Lebih Tinggi dari Data Resmi

Situasi di kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada 24 Januari 2020. Foto diambil oleh Rio Alfi, mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Wuhan, Tiongkok. IDN Times/Istimewa
Situasi di kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada 24 Januari 2020. Foto diambil oleh Rio Alfi, mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Wuhan, Tiongkok. IDN Times/Istimewa

Jakarta, IDN Times - Sebuah studi oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Tiongkok, mengklaim kasus infeksi virus corona (COVID-19) yang terjadi di kota Wuhan, jauh lebih banyak dari yang dilaporkan pemerintah.

Menurut CNN pada Selasa, 29 Desember 2020, studi tersebu melaporkan ada hampir setengah juta penduduk yang terinfeksi COVID-19, di tempat virus tersebut pertama kali ditemukan. Menurut CDC Tiongkok, angka itu setara hampir 10 kali lipat jumlah resmi dari kasus yang dikonfirmasi.

1. Studi untuk mengetahui tingkat prevalensi antibodi virus corona di dalam dan di luar Wuhan

Suasana dalam ruang isolasi Rumah Sakit Palang Merah Wuhan di Wuhan, di tengah pandemik COVID-19, di provinsi Hubei, China, pada 16 Februari 2020.  ANTARA FOTO/China Daily via REUTERS
Suasana dalam ruang isolasi Rumah Sakit Palang Merah Wuhan di Wuhan, di tengah pandemik COVID-19, di provinsi Hubei, China, pada 16 Februari 2020. ANTARA FOTO/China Daily via REUTERS

Studi tersebut bertujuan untuk memperkirakan skala infeksi masa lalu dalam suatu populasi dengan menguji sampel serum darah dari sekelompok orang, untuk mengetahui antibodi virus corona. Temuannya tak dianggap sebagai statistik akhir tentang berapa banyak orang di daerah tertentu yang telah terpapar virus.

Studi tersebut hanya menyoroti perbedaan besar antara tingkat prevalensi antibodi virus corona di dalam dan di luar Wuhan.

CDC Tiongkok mengatakan penelitian itu dilakukan sebulan setelah negara itu berhasil menangani gelombang pertama epidemi COVID-19.

2. Sebanyak 34 ribu orang jadi sampel penelitian

Petugas medis dengan pakaian pelindung menerima pasien di Pusat Konferensi dan Pameran Internasional Wuhan, yang diubah menjadi rumah sakit sementara bagi pasien dengan gejala ringan akibat virus corona, di Wuhan, provinsi Hubei, Tiongkok (ANTARA FOTO/China Daily via REUTERS)
Petugas medis dengan pakaian pelindung menerima pasien di Pusat Konferensi dan Pameran Internasional Wuhan, yang diubah menjadi rumah sakit sementara bagi pasien dengan gejala ringan akibat virus corona, di Wuhan, provinsi Hubei, Tiongkok (ANTARA FOTO/China Daily via REUTERS)

Studi ini sendiri menggunakan 34 ribu orang sampel dalam populasi umum untuk memperkirakan tingkat infeksi COVID-19. Orang-orang itu berasal dari Wuhan dan kota-kota lain di provinsi Hubei, serta Beijing, Shanghai, provinsi Guangdong, Jiangsu, Sichuan dan Liaoning.

Para peneliti menemukan tingkat prevalensi antibodi penduduk di Wuhan,  yang notabene kota metropolitan berpenduduk 11 juta orang itu, hanya mencapai 4,43 persen. Menurut Komisi Kesehatan Kota Wuhan, hingga Minggu, kota tersebut telah melaporkan total 50.354 kasus COVID-19 yang terkonfirmasi.

Studi itu juga menunjukkan tingkat prevalensi yang ada di luar Wuhan ternyata hasilnya lebih rendah. Di kota lain seperti Hubei misalnya, hanya 0,44 persen penduduk yang disurvei memiliki antibodi virus corona.

Di luar provinsi tersebut, hanya ditemukan dua antibodi terdeteksi dari 12 ribu penduduk yang disurvei.

CDC Tiongkok sendiri telah memublikasikan studinya melalui media sosial pada Senin lalu. Namun, tidak disebutkan apakah penelitian tersebut telah dipublikasikan di jurnal akademik.

3. Ada ketidaksesuaian pelaporan data

(ANTARA FOTO/Kementerian Luar Negeri RI)
(ANTARA FOTO/Kementerian Luar Negeri RI)

Yanzhong Huang, seorang rekan senior untuk kesehatan global di Council on Foreign Relations mengatakan, studi tersebut menunjukkan kelemahan karena kurangnya data pelaporan infeksi selama puncak wabah di Wuhan.

Ia menyebut, alasan ini bisa terjadi karena adanya kekacauan pada saat itu, atau adanya kegagalan untuk memasukkan data kasus yang asimtomatik (tanpa gejala) dalam hitungan resmi dari kasus yang terkonfirmasi.

Sepanjang Januari-Februari 2020 lalu, pasien yang mengalami demam membanjiri rumah sakit Wuhan, tapi mereka tak tertangani karena kurangnya tenaga, alat tes, dan sumber daya medis untuk mendiagnosis serta merawat mereka. Alhasil, banyak pasien yang dipulangkan dan melakukan isolasi mandiri.

Sayangnya, beberapa di antara mereka akhirnya menginfeksi anggota keluarga lainnya.

4. Kasus tak terhitung terjadi di banyak negara

Seorang sukarelawan meletakkan bendera Amerika mewakili beberapa dari 200.000 nyawa yang hilang di Amerika Serikat dalam pandemi penyakit virus korona (COVID-19) di National Mall, Washington, Amerika Serikat, Selasa (22/9/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Joshua Roberts)
Seorang sukarelawan meletakkan bendera Amerika mewakili beberapa dari 200.000 nyawa yang hilang di Amerika Serikat dalam pandemi penyakit virus korona (COVID-19) di National Mall, Washington, Amerika Serikat, Selasa (22/9/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Joshua Roberts)

Kasus tak tercatat atau underreporting semacam itu ternyata bukan hanya terjadi di Wuhan ataupun wilayah lain di Tiongkok. Beberapa negara lain juga mengalami masalah serupa akibat kurangnya kapasitas dan sumber daya yang dibutuhkan, sebagaimana ditunjukkan hasil studi antibodi yang dilakukan oleh para peneliti di belahan dunia lainnya.

Salah satu contohnya adalah penelitian yang disponsori oleh Departemen Kesehatan Negara Bagian New York. Hasil studi mereka menunjukkan bahwa pada akhir Maret, satu dari tujuh orang dewasa di New York terinfeksi COVID-19. Angka itu sekitar 10 kali lebih tinggi daripada yang ditunjukkan data resmi.

5. Dugaan manipulasi data

Ilustrasi petugas medis menggunakan pakaian hazmat (ANTARA FOTO/cnsphoto via REUTERS)
Ilustrasi petugas medis menggunakan pakaian hazmat (ANTARA FOTO/cnsphoto via REUTERS)

Meski kasus underreporting terjadi di negara lain, namun Tiongkok telah lama dituduh memanipulasi data warganya yang terinfeksi COVID-19. Negara itu disebut kurang transparan dalam melaporkan angka kasus yang sebenarnya.

Pada 12 Februari 2020, otoritas kesehatan Hubei mulai memasukkan “kasus yang didiagnosis secara klinis” dalam hitungan infeksi yang dikonfirmasi. Hal itu mengakibatkan adanya peningkatan sembilan kali lipat dalam kasus harian dari hari sebelumnya.

Menurut dokumen CDC Provinsi Hubei yang dilihat CNN, sebelum peningkatan besar tersebut, pihak berwenang telah melaporkan “kasus yang didiagnosis secara klinis” secara internal, tetapi tidak mengungkapkannya kepada publik. Laporan dari pihak berwenang Hubei juga menunjukkan jumlah kasus dan kematian yang dikonfirmasi pada 10 Februari dan 7 Maret lebih rendah daripada yang mereka catat secara internal.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rehia Sebayang
Ilyas Listianto Mujib
Rehia Sebayang
EditorRehia Sebayang
Follow Us