Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Di PBB, Maria Ressa: Tanpa Fakta, Tak Ada Kebenaran dan Kepercayaan

WhatsApp Image 2025-09-22 at 20.49.45.jpeg
Maria Ressa, Peraih Nobel Peace Prize dalam Perayaan 80 Tahun PBB di Markas Besar PBB, New York. (UN TV)
Intinya sih...
  • Dunia menghadapi ancaman impunitas, manipulasi informasi digital, dan kekerasan yang merusak demokrasi. Ressa menegaskan bahwa ini adalah periode paling mematikan bagi jurnalis dalam sejarah.
  • Ressa mengajukan tiga solusi besar untuk menjawab krisis informasi dan impunitas global, termasuk mengakhiri impunitas perusahaan teknologi besar melalui regulasi internasional dan membangun infrastruktur alternatif untuk menjaga kepercayaan publik.
  • Ressa menyoroti komitmen Filipina pada multilateralisme dan perdamaian, meski diuji oleh pemerintahan Rodrigo Duterte.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

New York, IDN Times – Peraih Nobel Perdamaian 2021, Maria Ressa, memperingatkan dunia sedang berada di persimpangan berbahaya, antara impunitas, manipulasi informasi digital, dan meningkatnya kekerasan yang merusak demokrasi. Ia menyampaikannya dalam pidato di Perayaan 80 Tahun PBB di Markas Besar PBB, New York.

Sebagai jurnalis asal Filipina sekaligus pendiri Rappler, Ressa membawa pengalaman pribadi sekaligus suara komunitas pers yang selama ini berada di garis depan. Ia menegaskan bahwa PBB lahir 80 tahun lalu untuk mencegah manusia saling menghancurkan setelah kengerian fasisme, genosida, dan perang dunia.

Namun, menurutnya, dunia kini menghadapi ancaman serupa dalam bentuk yang berbeda: algoritma digital yang memanipulasi emosi demi kekuasaan dan keuntungan.

“Tanpa fakta, Anda tidak bisa punya kebenaran. Tanpa kebenaran, Anda tidak bisa punya kepercayaan. Dan tanpa ketiganya, kita tidak punya realitas bersama,” ujar Ressa, Senin (22/9/2025).

Ia menyebut situasi ini sebagai ‘information Armageddon’, di mana kebohongan menyebar lebih cepat daripada kebenaran, diperparah dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI) generatif.

Ressa menegaskan, integritas informasi bukan sekadar isu teknologi, melainkan fondasi dari demokrasi, jurnalisme, dan bahkan pemilu yang adil. Jika pertempuran ini kalah, kata dia, maka dunia akan kehilangan segalanya.

1. Era ‘Information Armageddon’

WhatsApp Image 2025-09-22 at 20.49.46 (4).jpeg
Maria Ressa, Peraih Nobel Peace Prize dalam Perayaan 80 Tahun PBB di Markas Besar PBB, New York. (UN TV)

Dalam pidatonya, Ressa mengingatkan bahwa impunitas—baik di dunia nyata maupun digital—sedang merajalela. Ia mencontohkan konflik di Ukraina, Gaza, dan Sudan sebagai bukti nyata bagaimana warga sipil menjadi korban, sementara di ruang virtual, kapitalisme pengawasan merusak cara manusia berinteraksi.

“Ini adalah periode paling mematikan bagi jurnalis dalam sejarah,” kata Ressa. Ia menyinggung lebih dari 240 jurnalis yang terbunuh di Gaza sejak konflik terbaru pecah, jumlah yang bahkan melampaui total korban jurnalis di Perang Dunia I, II, Vietnam, dan konflik bekas Yugoslavia jika digabung.

Menurutnya, jurnalis kini bukan hanya korban perang, tetapi juga target yang disengaja. “Harus ada akuntabilitas. Online violence adalah kekerasan dunia nyata,” tegasnya.

Ressa menolak anggapan bahwa kekerasan digital bisa dipisahkan dari kenyataan. Ia menambahkan, algoritma media sosial kini lebih sering memberi penghargaan pada kemarahan, kebencian, dan ketakutan ketimbang empati. Hasilnya adalah polarisasi, disinformasi, dan kekerasan yang semakin nyata di masyarakat.

2. Solusi global diajukan

WhatsApp Image 2025-09-22 at 20.49.46 (3).jpeg
Maria Ressa, Peraih Nobel Peace Prize dalam Perayaan 80 Tahun PBB di Markas Besar PBB, New York. (UN TV)

Maria Ressa kemudian mengajukan tiga solusi besar untuk menjawab krisis informasi dan impunitas global. Pertama, mengakhiri impunitas perusahaan teknologi besar melalui regulasi internasional. Ia mendesak lahirnya standar global yang mengikat untuk mengatur integritas informasi, setara dengan regulasi yang sudah ada terhadap senjata nuklir atau perubahan iklim.

Ressa menyinggung dua inisiatif yang baru lahir, deklarasi dari Vatikan bersama Paus Leo XIV yang menuntut agar AI tetap berada di bawah kendali manusia. Ia juga menyampaikan seruan global untuk menetapkan ‘AI red lines’ yang telah ditandatangani lebih dari 200 tokoh dunia.

“Kita butuh garis batas internasional yang jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh AI,” katanya.

Kedua, membangun infrastruktur alternatif untuk menjaga kepercayaan publik. Ia mencontohkan Rappler yang mengembangkan aplikasi obrolan berbasis protokol sumber terbuka untuk mencegah manipulasi data. Menurutnya, inisiatif serupa dapat berkembang menjadi federasi global organisasi berita terpercaya.

Ketiga, menciptakan solusi kreatif. Ressa menyoroti tiga contoh, yaitu pengakuan Palestina oleh lebih dari tiga perempat anggota PBB sebagai bentuk kemajuan hukum internasional, peran perempuan di hampir setiap konflik sebagai pemimpin perdamaian, dan komitmen 20 negara untuk memperkuat demokrasi serta integritas informasi dengan dukungan lebih dari 40 peraih Nobel.

3. Komitmen Filipina dalam multilateralisme

WhatsApp Image 2025-09-22 at 20.49.45 (1).jpeg
Maria Ressa, Peraih Nobel Peace Prize dalam Perayaan 80 Tahun PBB di Markas Besar PBB, New York. (UN TV)

Pidato Ressa juga sarat pengalaman pribadi, di mana ia mengingatkan bahwa Filipina adalah salah satu dari sedikit negara pendiri PBB, dengan komitmen mendalam pada multilateralisme dan perdamaian. Namun, komitmen itu diuji saat pemerintahan Rodrigo Duterte menjeratnya dengan 11 tuntutan pidana dalam setahun, hanya karena pekerjaannya sebagai jurnalis.

“Hingga hari ini, saya masih perlu izin Mahkamah Agung untuk bisa hadir di sini. Tapi saya ada di sini,” katanya. Ressa juga menyinggung penahanan Duterte di Den Haag atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bukti bahwa impunitas pada akhirnya akan berakhir.

Meski mengkritik kelemahan PBB, termasuk kebuntuan di Dewan Keamanan dan lambannya proses demokratis, Ressa menegaskan bahwa solusinya bukan meninggalkan multilateralisme, melainkan memperkuatnya.

“PBB harus bertindak lebih cepat, memperluas representasi, dan mengatasi impunitas yang melemahkan hukum internasional,” tegasnya.

Ia menutup pidatonya dengan ajakan moral. “Pilihlah keberanian daripada kenyamanan, fakta daripada fiksi, harapan daripada ketakutan. Dunia sudah banyak berubah sejak PBB berdiri, tetapi nilainya, perdamaian, hak asasi manusia, keadilan, dan hukum lebih penting sekarang daripada sebelumnya,” tuturnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us

Latest in News

See More

Di PBB, Maria Ressa: Tanpa Fakta, Tak Ada Kebenaran dan Kepercayaan

22 Sep 2025, 23:53 WIBNews