Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

DK PBB Sahkan BoP–ISF, FPCI: RI Harus Waspada Kirim Pasukan

Indonesia, pasukan, Gaza
Founder FPCI Dino Patti Djalal. (IDN Times/Marcheilla Ariesta)
Intinya sih...
  • Mandat PBB harus eksplisit mengatur tugas pasukan perdamaian
  • RI harus tunggu kepastian teknis untuk kirim pasukan perdamaian ke Gaza
  • ISF bertugas menjaga keamanan Gaza selama masa transisi politik
  • Dukungan internasional terhadap resolusi membuka peluang kontribusi Indonesia
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah diminta berhati-hati dalam mempertimbangkan rencana pengiriman pasukan perdamaian Indonesia ke Gaza, setelah Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengesahkan resolusi pembentukan Board of Peace (BoP) dan mengotorisasi International Stabilization Force (ISF).

Peringatan tersebut disampaikan pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dr. Dino Patti Djalal, yang menekankan pentingnya mandat yang tegas sebelum Indonesia bergabung. Dia menyatakan, niat baik Indonesia harus diimbangi kepastian operasional di lapangan, terutama dalam konteks Gaza yang situasinya masih sangat cair.

Dino menegaskan pasukan perdamaian tidak boleh dikirim tanpa kejelasan misi, mandat hukum, dan aturan pelibatan.

“Saya tahu kita sangat ingin mengirim pasukan penjaga perdamaian, tetapi kita harus memastikan mission statement dan rules of engagement-nya benar-benar jelas,” ujar Dino dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (25/11/2025).

Peringatan itu muncul tidak lama setelah DK PBB mengesahkan rancangan resolusi AS yang membentuk BoP dan ISF sebagai kerangka stabilisasi Gaza hingga 31 Desember 2027. Resolusi tersebut lolos dengan 13 suara setuju, sementara China dan Rusia memilih abstain.

Dalam pemaparan di PBB, utusan AS Mike Waltz menyebut resolusi ini sebagai ‘cetak biru’ untuk memadamkan api konflik dan membuka jalan menuju perdamaian. Struktur BoP–ISF merujuk pada rencana 20 poin pemerintahan Presiden AS Donald Trump, yang dinegosiasikan bersama sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Keputusan DK PBB membuka peluang bagi kontribusi negara-negara yang selama ini aktif di Gaza, termasuk Indonesia. Namun, Dino menilai keputusan partisipasi tidak boleh diambil tergesa-gesa, terutama sebelum seluruh pihak yang bertikai menyetujui kerangka perdamaian.

1. Potensi risiko jika berhadapan dengan Hamas

Pasukan Hamas dalam Peringatan 25 tahun Hamas yang dirayakan di Gaza pada Desember 2012. (commons.wikimedia.org/Hadi Mohammad)
Pasukan Hamas dalam Peringatan 25 tahun Hamas yang dirayakan di Gaza pada Desember 2012. (commons.wikimedia.org/Hadi Mohammad)

Dino mengingatkan risiko terbesar dari pengerahan pasukan perdamaian adalah potensi bentrokan dengan kelompok bersenjata di Gaza jika mandat tidak disepakati bersama.

“Risiko terbesarnya adalah kalau pasukan kita justru berhadapan dengan Hamas. Itu bukan yang kita inginkan dan tidak sesuai kepentingan TNI. Kita tidak ingin berperang dengan siapa pun,” tegasnya.

Menurut Dino, pasukan penjaga perdamaian hanya dapat bekerja dengan efektif jika semua pihak yang berkonflik menyetujui kesepakatan damai yang menjadi dasar operasi. Tanpa persetujuan itu, pasukan dapat disalahartikan sebagai pihak berpihak atau bahkan dianggap ancaman.

Dino menekankan mandat PBB harus eksplisit mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

“Peace keepers dikirim untuk menjaga perdamaian, bukan untuk berhadapan dengan pihak mana pun. Karena itu, mandat PBB harus sangat jelas,” ujarnya.

Dino juga menyoroti perdebatan terkait kerangka damai PBB yang dikritik Hamas dan beberapa kelompok lain karena dianggap terlalu merujuk pada usulan pemerintahan Trump. Ketidaksepakatan ini, menurutnya, dapat menjadi hambatan serius dalam implementasi BoP–ISF.

“Semua pihak harus mendukung kerangka perdamaian. Tanpa itu, misi penjaga perdamaian berisiko tinggi,” kata mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI tersebut.

Dino meminta pemerintah Indonesia menjaga konsistensi diplomasi, memastikan bahwa keterlibatan Indonesia tidak menempatkan TNI dalam risiko operasional yang tidak diperlukan, dan tetap berpegang pada kepentingan kemanusiaan serta prinsip solusi dua negara.

2. RI harus tunggu kepastian teknis untuk kirim pasukan perdamaian

Pasukan perdamaian, Indonesia, Gaza
Menlu Sugiono dalam pertemuan DK PBB membahas AI. (IDN Times/Marcheilla Ariesta)

Resolusi DK PBB memberi ISF mandat menjaga keamanan Gaza selama masa transisi politik, mengawasi gencatan senjata, serta memfasilitasi akses kemanusiaan. Pasukan ini dirancang sebagai misi multinasional yang bertugas mencegah kekerasan baru.

Dokumen resolusi menyebut ISF akan mendukung demiliterisasi Gaza, membongkar infrastruktur kelompok bersenjata, serta mengamankan distribusi bantuan. Seluruh operasi harus dikoordinasikan dengan Mesir, Israel, dan mitra PBB lainnya.

AS menekankan bahwa struktur keamanan ini tidak dimaksudkan sebagai bentuk pendudukan baru, melainkan zona penyangga untuk memungkinkan rekonstruksi. Namun, China dan Rusia menahan dukungan penuh karena menilai mandat ISF masih memerlukan kejelasan teknis.

Dukungan 13 negara terhadap resolusi ini menunjukkan kesediaan internasional mencari mekanisme stabilisasi jangka panjang, bukan sekadar gencatan senjata sementara. Ini membuka ruang bagi negara-negara aktif, termasuk Indonesia.

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyatakan kesiapan Indonesia mengirim hingga 2.000 personel jika mandat PBB sudah tersedia dan mendapat persetujuan seluruh pihak—syarat yang sejalan dengan peringatan Dino.

Dengan struktur BoP–ISF disahkan, peluang kontribusi Indonesia terbuka, tetapi kepastian teknis soal komposisi pasukan, penempatan, dan mandat operasional masih harus menunggu keputusan lanjutan DK PBB dan komitmen pihak-pihak terkait di lapangan.

3. Struktur BoP dan Prospek Solusi Dua Negara di Gaza

Presiden Amerika Serikat Donald Trump berpidato di sebuah rapat umum di Desert Diamond Arena di Glendale, Arizona pada 23 Agustus 2024. (Gage Skidmore from Surprise, AZ, United States of America, CC BY-SA 2.0, via Wikimedia Commons)
Presiden Amerika Serikat Donald Trump berpidato di sebuah rapat umum di Desert Diamond Arena di Glendale, Arizona pada 23 Agustus 2024. (Gage Skidmore from Surprise, AZ, United States of America, CC BY-SA 2.0, via Wikimedia Commons)

BoP dibentuk sebagai lembaga yang mengatur tata kelola transisi Gaza hingga 2027. AS menyebut BoP sebagai instrumen menuju peluang penentuan nasib sendiri Palestina, setelah reformasi Otoritas Palestina dinilai cukup memadai.

Namun, isu negara Palestina tetap menjadi titik perdebatan. Pemerintah Israel secara terbuka menolak kerangka negara Palestina, sehingga implementasi BoP diperkirakan akan menghadapi tekanan politik.

Menurut resolusi, BoP bertanggung jawab membangun struktur pemerintahan lokal, memastikan bantuan tersalurkan, serta memfasilitasi rekonstruksi besar-besaran. Keberhasilan program ini bergantung pada situasi keamanan di lapangan dan koordinasi regional.

Diplomasi internasional dinilai harus mampu menjaga keseimbangan antara tekanan politik, kebutuhan kemanusiaan, dan tuntutan keamanan. Tanpa koordinasi erat dengan Mesir, Israel, dan negara Arab lain, implementasi BoP dapat menghadapi hambatan serius.

Dino menyebut bahwa arah proses perdamaian harus jelas menuju solusi dua negara. “Saya cukup terdorong oleh pernyataan bahwa akan difasilitasi dialog politik antara Israel dan Palestina, sesuatu yang sudah lama tidak ada. Ini harus menjadi end game-nya,” ujarnya.

Ia mengingatkan persepsi global bahwa Israel kian agresif memperluas permukiman dan mempersempit prospek negara Palestina. Karena itu, Indonesia harus memastikan posisi diplomatiknya konsisten pada penyelesaian yang memberi jalan bagi hak rakyat Palestina.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us

Latest in News

See More

Dasar Hukum Prabowo Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Dipertanyakan

25 Nov 2025, 23:12 WIBNews