Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Erdogan Tarik Turki Keluar dari Kesepakatan Perlindungan Wanita

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. (Instagram.com/rterdogan)
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. (Instagram.com/rterdogan)

Ankara, IDN Times - Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, telah menarik Turki keluar dari kesepakatan internasional perlindungan wanita pada hari Jumat, 19 Maret 2021, waktu setempat. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kasus kekerasan terhadap wanita semakin meningkat. Bagaimana awal ceritanya?

1. Belum diketahui apa alasan penarikan Turki dari kesepakatan tersebut

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. (Instagram.com/rterdogan)
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. (Instagram.com/rterdogan)

Dilansir dari The Guardian, keputusan penarikan Turki dari kesepakatan tersebut menyebabkan adanya seruan dari para pegiat yang melihat pakta itu sebagai kunci untuk memerangi meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga. Kesepakatan Dewan Eropa, yang dibentuk di Istanbul, Turki, mengungkapkan janjinya untuk mencegah, menuntut, serta menghapus kekerasan dalam rumah tangga dan mempromosikan kesetaraan. Akan tetapi, pada tahun 2020 lalu kasus kekerasan terhadap wanita mengalami peningkatan di samping sebelumnya Turki menandatangani kesepakatan itu pada tahun 2011 lalu.

Belum diketahui alasan penarikan Turki dari kesepakatan tersebut sampai saat ini, tetapi para pejabat partai AK, partai dari Erdogan, mengatakan bahwa tahun 2020 lalu, pemerintah Turki sedang mempertimbangkan untuk menarik diri di tengah perselisihan tentang bagaimana mengekang kekerasan yang meningkat terhadap wanita. Menteri Kebijakan Keluarga, Ketenagakerjaan, dan Sosial Turki, Zehra Zumrut, mengatakan jaminan hak-hak wanita adalah peraturan yang ada saat ini dalam anggaran rumah tangga, terutama konstitusi Turki. Sistem peradilan yang ada di Turki dinamis dan cukup kuat dalam menerapkan peraturan baru sesuai kebutuhan.

2. Turki bukanlah negara pertama yang memutuskan keluar dari kesepakatan itu

Sebuah pin yang bertuliskan menyatakan dukungan terhadap hak-hak wanita. (Pixabay.com/OpenRoadPR)
Sebuah pin yang bertuliskan menyatakan dukungan terhadap hak-hak wanita. (Pixabay.com/OpenRoadPR)

Para kritikus menilai penarikan Turki dari kesepakatan itu membuat Turki semakin keluar dari langkah-langkah dengan nilai-nilai Uni Eropa, yang tetap menjadi kandidat untuk bergabung. Mereka berpendapat kesepakatan itu, serta undang-undang yang disetujui setelahnya, perlu diterapkan lebih ketat. Turki sendiri bukanlah negara pertama yang bergerak untuk membatalkan kesepakatan itu.

Sebelumnya, pengadilan tertinggi di Polandia telah memeriksa pakta tersebut setelah seorang anggota kabinet mengatakan Polandia harus keluar dari kesepakatan yang dianggap terlalu liberal oleh pemerintah nasionalis. Erdogan sendiri juga mengutuk peristiwa kekerasan terhadap wanita, termasuk pernyataannya pada bulan Maret 2021 ini bahwa pemerintahannya akan bekerja untuk memberantas kekerasan terhadap wanita. Akan tetapi, para kritkus justru mengatakan pemerintahannya belum berbuat cukup untuk mencegah femisida serta kekerasan dalam rumah tangga.

3. Sekitar tahun 2020 lalu, sebanyak 408 wanita telah menjadi korban pembunuhan

Ilustrasi kekerasan terhadap wanita. (Pixabay.com/Alexas_Fotos)
Ilustrasi kekerasan terhadap wanita. (Pixabay.com/Alexas_Fotos)

Pada tahun 2020 lalu, sebanyak 408 wanita menjadi korban pembunuhan serta ratusan wanita lainnya mendapatkan tindakan kekerasan oleh pria. Sejak awal tahun 2021 sampai tanggal 8 Maret 2021 lalu, sebanyak 68 wanita menjadi korban pembunuhan, yang artinya lebih dari 1 kasus pembunuhan setiap harinya di kuartal pertama tahun 2021 ini. Menurut laporan dari pihak Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), sekitar 42 persen wanita Turki menghadapi tindakan kekerasan yang setidaknya sekali selama hidup mereka.

Gerakan hak-hak wanita di Turki adalah salah satu bagian terkuat dari masyarakat sipil di negara yang sangat terpolarisasi itu dan sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah tentang gender. Pejabat pemerintah telah terlibat dalam beberapa perdebatan kontroversial mengenai Turki sebelum memutuskan untuk menarik diri dari kesepakatan internasional perlindungan wanita. Pemerintah Turki sendiri telah menggunakan pandangan konservatif mengenai peran gender dan berusaha mengesampingkan suara-suara oposisi dari para aktivis yang mendukung pelaksanaan konvensi tersebut.

Perdebatan ini terus berlanjut sementara ada lonjakan kekerasan dalam rumah tangga selama pandemi COVID-19 dan terlepas dari bukti bahwa di Turki setiap tahun ratusan wanita menjadi korban pembunuhan serta bahwa mereka yang mengalami kekerasan menghadapi hambatan yang signifikan untuk mendapatkannya, membantu, atau mengatasi impunitas bagi para pelaku kekerasan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us