Georgia Tolak Normalisasi Hubungan Diplomatik dengan Rusia

Jakarta, IDN Times - Juru Bicara Parlemen Georgia Shalva Papuashvili, pada Senin (14/4/2025), menolak tawaran normalisasi hubungan bilateral dengan Rusia. Tbilisi meminta Moskow mengakhiri okupansi teritori Abkhazia dan Ossetia Selatan terlebih dahulu.
"Hambatan normalisasi hubungan Georgia dan Rusia adalah okupansi Rusia di teritori Georgia. Masalah ini dapat diselesaikan dengan mudah jika Rusia mengambil langkah ke arah deokupansi. Setelah itu, normalisasi dapat dilakukan," tutur dia, dikutip Georgia Today.
Hubungan diplomatik Rusia-Georgia berakhir setelah pecahnya perang Rusia-Georgia pada Agustus 2008. Alhasil, Moskow berhasil merebut dan menduduki teritori Abkhazia dan Ossetia Selatan hingga kini.
1. Rusia tawarkan normalisasi relasi dengan Georgia
Penolakan ini menyusul usulan dari Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Mikhail Galuzin, terkait normalisasi hubungan diplomatik Rusia dan Georgia. Ia menyebut putusnya relasi kedua negara disebabkan oleh kepemimpinan mantan Presiden Mikheil Saakhashvili.
"Kerusakan hubungan Rusia-Georgia disebabkan oleh Saakhashvili yang melancarkan serangan kepada rakyat Ossetia Selatan, tentara penjaga perdamaian Rusia. Itu merupakan perlawanan terhadap Rusia," ungkapnya, dilansir dari OC Media.
Ia menyayangkan sikap Georgia yang melanjutkan pengakuan terhadap Abkhazai dan Ossetia Selatan. Wilayah tersebut tidak menjadi subjek revisi dan Rusia tetap mengakui kemerdekaan kedua wilayah pecahan Georgia tersebut.
Galuzin meminta agar Tbilisi bersedia menetapi janjinya sebelum pemilu parlemen pada Oktober 2024 untuk meminta maaf kepada rakyat Ossetia Selatan dan berniat mewujudkan rekonsiliasi.
2. Polisi Georgia tangkap sembilan warga Rusia
Pada akhir Maret, polisi Georgia sudah menangkap seorang warga negara Rusia yang ikut dalam demonstrasi anti-pemerintah di Tbilisi. Pria asal Rusia berinisial D.K. itu dituding melakukan perusakan mobil polisi dan terancam hukuman 3 tahun penjara.
Melansir The Moscow Times, dia menjadi salah satu dari sembilan warga Rusia yang ditangkap di Georgia dalam beberapa bulan terakhir. Di antaranya bahkan sudah mendapat vonis hukuman seumur hidup atas kepemilikan narkoba.
Pada Desember, Rusia mengatakan tidak memiliki informasi terkait penangkapan warganya di Georgia. Namun, Moskow menyebut kemungkinan penangkapan tersebut karena melakukan pelanggaran hukum di Georgia.
Sebagai informasi, Georgia menjadi destinasi utama warga Rusia yang melarikan diri dari represi politik di negaranya sendiri dan penolakan terhadap invasi skala besar ke Ukraina sejak 2022.
3. Rusia tuding UE bayar warga Georgia untuk demo

Badan Intelijen Luar Negeri Rusia (SVR) mengklaim bahwa Uni Eropa (UE) terlibat dalam menyebarkan pengaruh di Georgia. Moskow menuding Brussels telah membayar demonstran sebesar 120 euro (Rp2,2 juta) per hari untuk ikut demonstrasi.
"Segala upaya sudah dilakukan untuk menginisiasi protes di Georgia. Delegasi UE di Tbilisi sudah mengalokasikan dana untuk mendukung dan mengoordinasikan demonstrasi. Setiap partisipan demo anti-pemerintah mendapat bayaran 120 euro per hari atas kinerjanya," terangnya, dikutip Jam News.
Institusi itu mengklaim, UE telah membentuk sentimen anti-pemerintah yang dipimpin oleh Partai Georgian Dream. Aksi ini disebut menyasar pihak yang paling dinamis, seperti pemuda, blogger, jurnalis, spesialis IT, serta sejumlah ekspatriat asal Rusia di Georgia.
SVR bahkan menyebut terdapat program Georgian Youth for Europe yang mendapatkan dana sebesar 50 ribu euro (Rp952,9 juta) untuk implementasi proyek progresif. Pihaknya mengklaim dana itu dikirimkan untuk loyalitas kepada Barat.