Israel Bikin Permukiman Baru di Tepi Barat, Bakal Ada 3.400 Rumah!

- Proyek E1 akan membelah Tepi Barat
- Kecaman internasional dan reaksi Palestina
- Pro-kontra di dalam Israel
Jakarta, IDN Times - Pemerintah Israel dilaporkan akan menyetujui rencana pembangunan lebih dari 3.400 rumah baru di Tepi Barat yang diduduki. Proyek permukiman kontroversial yang dikenal sebagai E1 ini dihidupkan kembali setelah dibekukan selama puluhan tahun akibat tekanan internasional.
Menteri Keuangan sayap kanan Israel, Bezalel Smotrich, menyatakan langkah ini adalah respons terhadap semakin banyaknya negara yang mengakui Palestina. Menurutnya, pembangunan ini akan mengakhiri kemungkinan berdirinya negara Palestina di masa depan.
"Mereka yang mencoba mengakui negara Palestina akan mendapat jawaban dari kami di lapangan. Bukan melalui dokumen atau deklarasi, tetapi melalui rumah, lingkungan, jalan, dan keluarga Yahudi yang membangun kehidupan mereka." kata Smotrich, dilansir The Guardian pada Jumat (15/8/2025).
1. Proyek E1 akan membelah Tepi Barat
Proyek E1 dirancang untuk membangun koneksi antara permukiman besar Ma'ale Adumim dengan Yerusalem. Secara geografis, rencana ini akan membelah Tepi Barat menjadi wilayah utara dan selatan yang terpisah. Kondisi tersebut dinilai akan membuat pembentukan negara Palestina yang wilayahnya utuh dan terhubung menjadi mustahil.
Rencana ini juga akan memutus akses Yerusalem Timur dari kota-kota penting Palestina lainnya di Tepi Barat. Akibatnya, hubungan antara pusat populasi Palestina seperti Ramallah dan Betlehem akan terputus total.
Rencana E1 sebenarnya pertama kali diusulkan pada tahun 1990-an oleh mantan Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin. Namun, proyek ini dibekukan selama lebih dari dua dekade karena penolakan dari komunitas internasional.
Kini, rencana tersebut siap untuk disetujui oleh Dewan Perencanaan Tertinggi Israel pada minggu depan. Dewan tersebut diperkirakan akan menolak semua keberatan yang diajukan oleh berbagai organisasi non-pemerintah Israel.
2. Kecaman internasional dan reaksi Palestina
Langkah Israel ini langsung memicu kecaman dari berbagai negara dan organisasi internasional. Uni Eropa, Jerman, dan Norwegia menyebut rencana itu sebagai pelanggaran hukum internasional yang merusak solusi dua negara.
"Uni Eropa menolak perubahan teritorial apa pun yang bukan merupakan bagian dari perjanjian politik antara pihak-pihak yang terlibat. Oleh karena itu, aneksasi wilayah adalah ilegal menurut hukum internasional,” ujar juru bicara Komisi Eropa, Anitta Hipper.
Berbeda dengan sekutunya di Eropa, Amerika Serikat (AS) memberikan tanggapan yang lebih hati-hati. AS tidak secara langsung mengutuk rencana tersebut, tetapi menekankan pentingnya kestabilan Tepi Barat untuk keamanan Israel.
Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri Palestina menyebut rencana permukiman baru ini sebagai perpanjangan genosida, pengusiran, dan aneksasi. Palestina melihatnya sebagai bagian dari rencana Israel untuk mencuri dan menguasai tanah mereka.
Seluruh permukiman Israel di wilayah pendudukan, termasuk Yerusalem Timur, dianggap ilegal menurut hukum internasional. Status ilegal ini juga telah ditegaskan kembali dalam Resolusi 2334 Dewan Keamanan PBB pada tahun 2016.
3. Pro-kontra di dalam Israel
Bezalel Smotrich, yang juga seorang pemukim, adalah tokoh utama di balik kebijakan ekspansi ini. Sebagai menteri, ia memiliki wewenang atas persetujuan permukiman di Tepi Barat.
Namun, tidak semua pihak di Israel mendukung langkah pemerintah. Organisasi Peace Now mengkritik kebijakan ini karena dianggap merusak perdamaian di kawasan itu.
"Pemerintah Israel mengutuk kita untuk terus mengalami pertumpahan darah, bukannya berupaya mengakhirinya. Satu-satunya solusi untuk konflik ini, dan satu-satunya cara mengalahkan Hamas, adalah melalui pembentukan negara Palestina di samping Israel," kata Peace Now, dilansir BBC.
Sebaliknya, organisasi pemukim Israel, Dewan Yesha, menyambut baik rencana tersebut. Mereka memujinya sebagai sebuah pencapaian bersejarah yang akan memperkuat kedaulatan Israel atas tanah tersebut.
Menurut CNN, kebijakan ini sejalan dengan sikap pemerintahan PM Benjamin Netanyahu yang dikenal menolak gagasan pendirian negara Palestina. Sejak serangan 7 Oktober, pemerintahannya telah mempercepat laju pembangunan permukiman baru di Tepi Barat.