Israel Tahan Anak Palestina 14 Tahun, Termuda dalam Sejarah

Jakarta, IDN Times - Israel telah menahan seorang anak Palestina berusia 14 tahun tanpa dakwaan melalui perintah penahanan administratif. Muin Ghassan Fahed Salahat ditangkap dari rumahnya di Beit Fajjar, selatan Betlehem, Tepi Barat pada 19 Februari 2025.
Perintah penahanan dikeluarkan pada Minggu (2/3/2025) dan akan berlaku hingga 18 Juni 2025. Organisasi pemantau Defence for Children International Palestine (DCIP) mencatat Muin sebagai tahanan administratif anak termuda sejak mereka mulai memantau pada 2008.
Berdasarkan data Layanan Penjara Israel, terdapat 112 anak Palestina ditahan secara administratif per 31 Desember 2024. Jumlah ini juga menjadi rekor tertinggi dalam sejarah DCIP.
"Kebijakan penahanan administratif Israel melanggar hak dasar anak-anak Palestina. Mereka bisa ditahan tanpa batas waktu tanpa proses pengadilan," tutur Ayed Abu Eqtaish, direktur program akuntabilitas DCIP, dilansir Middle East Monitor pada Kamis (6/3/2025).
1. Kronologi penangkapan Muin
Pasukan Israel menyerbu rumah Muin pada pukul 03.40 dini hari. Mereka langsung menahan ayahnya dengan mata tertutup dan tangan terikat di belakang punggung. Muin yang terbangun dan mencari ayahnya pun ditangkap oleh tentara Israel.
Tentara Israel menggeledah rumah Muin tanpa menunjukkan surat penangkapan. Mereka merusak barang-barang dan menyita ponsel serta komputer keluarga. Muin yang masih berpakaian tidur juga dipaksa mengenakan penutup mata dan tangannya diikat.
Sebelum meninggalkan rumah, tentara Israel memperingatkan ayah Muin agar tidak bergerak selama minimal 10 menit. Muin yang merupakan siswa kelas 9 dan anak tunggal dalam keluarganya dibawa pergi tanpa kejelasan.
Proses peninjauan kasus penahanan dulu hanya membutuhkan waktu 4 hari. Namun sejak peristiwa 7 Oktober 2023, Israel memperpanjang waktu peninjauan menjadi 12 hari. Perubahan ini membuat tahanan harus menunggu lebih lama.
2. Sistem penahanan administratif Israel yang kontroversial
Israel menerapkan sistem penahanan administratif terhadap warga Palestina, termasuk anak-anak. Sistem ini memungkinkan penahanan tanpa dakwaan berdasarkan bukti rahasia yang tidak dapat diakses tahanan atau pengacaranya.
Perintah penahanan administratif bisa berlaku hingga 6 bulan dan dapat diperpanjang tanpa batas. Perintah ini dikeluarkan oleh komandan militer Israel atau perwira yang ditunjuk, kemudian disahkan oleh hakim pengadilan militer.
Israel saat ini menjadi satu-satunya negara yang secara sistematis mengadili 500 hingga 700 anak di pengadilan militer setiap tahun. Praktik ini berlanjut meski Israel telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak pada 1991.
Israel telah membatasi akses hukum bagi tahanan sejak 7 Oktober 2023. Para pengacara dilarang menemui klien atau melihat bukti, serta menghadapi berbagai hambatan birokratis yang menyulitkan pembelaan.
Israel pernah menghentikan praktik penahanan administratif terhadap anak-anak Palestina selama 3 tahun. Namun pada Oktober 2015, Israel kembali melanjutkan praktik tersebut hingga sekarang.
3. Israel dinilai melanggar hukum internasional

Konvensi PBB tentang Hak Anak, yang diratifikasi Israel pada 1991, menetapkan bahwa seorang anak hanya boleh dirampas kebebasannya sebagai upaya terakhir. Penahanan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang atau melanggar hukum.
Konvensi Jenewa IV melarang negara asing menahan warga sipil di wilayah yang diduduki tanpa proses hukum yang jelas. DCIP menilai praktik penahanan administratif Israel melanggar hukum internasional.
Pengadilan militer Israel dinilai tidak memenuhi standar internasional karena hakimnya merupakan perwira aktif atau cadangan militer Israel. Israel seakan memberikan kesan pengawasan hukum independen, namun sistem ini dinilai rentan bias.
Penahanan administratif seharusnya hanya digunakan dalam kasus sangat terbatas untuk alasan keamanan yang mendesak saat tidak ada alternatif lain. Namun Israel semakin gencar menggunakan praktik ini terhadap anak-anak Palestina.
"Kasus Muin menciptakan preseden berbahaya, menunjukkan tidak ada anak Palestina yang aman dari pemenjaraan sewenang-wenang di bawah pemerintahan militer Israel," kata Eqtaish.