Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Izin Kerja Dicabut, Ribuan Pekerja Gaza Terjebak di Tepi Barat

warga Gaza yang mengungsi untuk menghindari serangan Israel (x.com/@UNRWA)
Intinya sih...
  • Ahmed dan ribuan warga Gaza terjebak di Tepi Barat karena khawatir tertangkap di pos pemeriksaan Israel.
  • Israel membatalkan izin kerja bagi warga Gaza setelah serangan Hamas, menangkap ribuan pekerja dan mengirim mereka kembali ke Gaza.
  • Pihak berwenang Palestina dan pengamat hak asasi manusia menyatakan bahwa tindakan Israel melarang pergerakan warga Gaza di Tepi Barat merupakan pelanggaran hukum internasional.

Jakarta, IDN Times - Ahmed telah terjebak di Tepi Barat yang diduduki selama 13 bulan terakhir. Ia dan ribuan warga Gaza lainnya tidak dapat bergerak bebas di wilayah tersebut karena khawatir tertangkap di pos pemeriksaan Israel. Sebelum perang meletus, ia termasuk di antara sekitar 18.500 warga Gaza yang memiliki izin bekerja di Israel.

Setiap 2-3 hari sekali, ketika jaringan telepon berfungsi, Ahmed menelepon istri dan delapan anaknya, yang tinggal di kota Jabaliya, Gaza utara, di mana pasukan Israel meningkatkan serangannya sejak bulan lalu.

“Mereka tinggal di rumah mereka. Jika mereka keluar, mereka akan dibunuh, ada quadcopter (bersenjata). Mereka tidak punya makanan atau air. Mereka semua terkepung," kata Ahmed, bukan nama sebenarnya, kepada The National.

“Kami tidak membayangkan bahwa kami akan terjebak seperti ini, dalam situasi yang menyedihkan ini. Kami sedih karena anak-anak kami di Gaza, di Jabaliya. Kami tidak bisa melakukan apa pun untuk mereka," tutur pria berusia 61 tahun itu dari sebuah apartemen sederhana yang ia tinggali bersama tiga pria lainnya di Tepi Barat tengah. Mereka kini hanya bisa mengikuti berita tentang Gaza dari media sosial. 

1. Israel cabut semua izin kerja bagi warga Gaza setelah serangan 7 Oktober

Ahmed dulunya bekerja sebagai seorang pelukis dan tukang plester di kota Beersheba, Israel selatan. Ia tidak bekerja di Gaza lantaran peluang kerja di sana sangat sedikit dan pendapatannya rendah. 

Setelah serangan Hamas di Israel pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan mengakibatkan sekitar 250 orang disandera, Tel Aviv dengan cepat membatalkan semua izin kerja bagi warga Gaza di negara tersebut

Pasukan keamanan Israel menangkap ribuan pekerja dan mengirim sebagian besar dari mereka kembali ke Gaza. Sebelum dikirim kembali ke daerah tersebut, beberapa dari mereka ditahan di dua kompleks militer Israel di Tepi Barat, Anatot dan Ofer, di mana para pengamat hak asasi manusia mendokumentasikan kasus-kasus penyiksaan.

Ahmed termasuk di antara ribuan warga Palestina yang berhasil melarikan diri ke Tepi Barat.

“Kami tidak punya tempat lain untuk pergi. Kami tidak bisa kembali ke Gaza. Kami tidak diizinkan tinggal di Beersheba. Ada polisi dan mereka akan menangkap Anda," ujarnya.

2. Warga Gaza di Tepi Barat mengaku merasa seperti tahanan

Warga Gaza lainnya, Jamal, ditangkap di rumahnya di Israel setelah serangan 7 Oktober dan dikirim ke Tepi Barat. Pria berusia 58 tahun itu menceritakan bahwa polisi datang ke rumahnya di Galilea, Israel utara, di mana ia bekerja di bidang konstruksi dengan izin yang sah.

“Polisi Israel membawa kami dari rumah ke kantor polisi, di mana mereka mengambil sidik jari kami. Syukurlah kami mendapati diri kami bersama polisi dan bukan tentara, dengan polisi keadaannya sedikit lebih baik,” jelasnya.

Keesokan harinya, pasukan keamanan Israel membawanya ke pos pemeriksaan Jalamah, yang memisahkan Israel dari wilayah utara Tepi Barat yang diduduki. Otoritas Palestina setempat menahannya di sebuah pusat penampungan sebelum ia akhirnya bergabung dengan teman-temannya di wilayah selatan.

Meskipun Jamal dapat pindah ke Tepi Barat, warga Gaza di sana umumnya takut melewati pos pemeriksaan Israel karena khawatir ditangkap.

“Kami tidak bisa pergi ke mana pun karena ada pos pemeriksaan dan mereka akan menangkap saya karena saya berasal dari Gaza. Saya merasa seperti seorang tahanan," ujar Ahmed.

Situasi ini dikonfirmasi oleh COGAT, badan Israel yang bertanggung jawab atas koordinasi dengan Wilayah Palestina yang diduduki. Mereka mengatakan bahwa pihaknya berupaya memulangkan warga Gaza di Tepi Barat kembali ke wilayah yang dilanda konflik tersebut.

“Pasukan keamanan di wilayah tersebut telah berupaya untuk mengembalikan warga Gaza yang saat ini berada di Yudea dan Samaria ke Jalur Gaza,” kata COGAT dalam sebuah pernyataan, menggunakan istilah yang biasa digunakan oleh pemerintah Israel untuk Tepi Barat.

3. Para pekerja tersebut berada dalam situasi yang sangat rentan

Sari Bashi, direktur program Human Rights Watch yang berbasis di Tepi Barat, mengatakan bahwa tindakan Israel yang mencegah pergerakan warga Gaza di Tepi Barat merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Masyarat harus diizinkan bergerak bebas di kedua wilayah tersebut karena baik Gaza dan Tepi Barat diakui secara internasional sebagai wilayah Palestina.

“Pemerintah diharuskan untuk memberikan kebebasan bergerak seperti itu, jadi tidak mengizinkan orang-orang dari Gaza untuk bepergian dengan bebas ke seluruh Tepi Barat adalah tindakan yang tidak sah,” kata Bashi.

Menurut pengamat hak asasi manusia, ketidakmampuan untuk bepergian dapat menyebabkan para pria tersebut kesulitan mencari pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh preferensi di kalangan warga Palestina di Tepi Barat yang lebih memilih memberi pekerjaan kepada penduduk lokal, dan krisis ekonomi yang terjadi akibat konflik di Gaza. Sementara itu, Israel telah melarang pekerja dari wilayah yang diduduki untuk kembali bekerja di negaranya.

Para pria tersebut kini bertahan hidup dengan sisa uang yang mereka tabung selama bekerja di Israel. Otoritas Palestina (PA), pemerintah yang berbasis di Ramallah, telah memberikan masing-masing dari mereka 750 shekel Israel (sekitar Rp3 juta) sebanyak 4 kali selama setahun terakhir.

“Bagi seseorang yang datang tahun lalu dengan izin pekerja, hanya ada sedikit perlindungan, tidak ada cara untuk menghentikan mereka agar tidak dikembalikan ke Gaza,” kata Jessica Montell dari HaMoked, organisasi bantuan hukum nonpemerintah untuk Palestina.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us