Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Junta Myanmar Bom Festival Buddha, 24 Orang Tewas

ilustrasi paralayang (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi paralayang (pexels.com/Pixabay)
Intinya sih...
  • Konflik berkepanjangan di wilayah Sagaing
  • Militer gunakan paralayang dan drone untuk serangan udara
  • Dunia kecam serangan dan desak perlindungan warga Myanmar
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Sedikitnya 24 orang tewas, termasuk anak-anak, setelah junta militer Myanmar melancarkan serangan udara menggunakan paralayang di desa Bon To, wilayah Sagaing, pada Senin (6/10/2025). Lebih dari 50 orang lainnya luka-luka dalam serangan yang menargetkan sekitar 100 warga yang tengah berkumpul di halaman sekolah dasar untuk merayakan festival Buddha Thadingyut sekaligus menuntut pembebasan tahanan politik, termasuk Aung San Suu Kyi.

Paralayang bermesin, dikenal sebagai paramotor di kalangan lokal, menjatuhkan dua bom sekitar pukul 19.15 waktu setempat dan menewaskan puluhan warga dalam hitungan menit. Ledakan yang berlangsung selama tujuh menit itu membuat sejumlah korban, termasuk anak-anak, sulit dikenali.

“Anak-anak hancur berkeping-keping,” kata seorang perempuan yang menjadi panitia acara kepada AFP, dikutip dari BBC.

1. Konflik berkepanjangan di wilayah Sagaing

Desa Bon To terletak sekitar 90 kilometer di barat Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar, dan kini dikuasai oleh kelompok perlawanan seperti Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF). Pasukan milisi sukarelawan itu mengelola administrasi lokal di Sagaing, wilayah yang menjadi pusat pertempuran paling sengit antara tentara junta dan kelompok anti-kudeta.

Perang saudara di Myanmar bermula setelah militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021. Festival Thadingyut di Bon To tidak hanya menjadi perayaan keagamaan, tetapi juga ajang demonstrasi damai menuntut pembebasan tahanan politik. Sagaing menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap junta, dengan kelompok seperti PDF terus melancarkan serangan terhadap pasukan pemerintah.

2. Militer gunakan paralayang dan drone untuk serangan udara

ilustrasi paralayang (pexels.com/Daniel Reche)
ilustrasi paralayang (pexels.com/Daniel Reche)

Seorang pejuang perlawanan yang hadir dalam acara tersebut mengatakan bahwa mereka telah menerima peringatan melalui jaringan telepon dan walkie-talkie tentang pergerakan paralayang dari markas militer di Monywa, sekitar 25 kilometer utara Bon To. Massa sempat berusaha membubarkan diri setelah peringatan itu, namun paralayang datang lebih cepat dari perkiraan dan kembali beberapa jam kemudian untuk menjatuhkan dua bom tambahan tanpa menimbulkan korban baru.

Sejak akhir 2024, militer Myanmar semakin sering memanfaatkan paralayang bermesin berteknologi sederhana akibat sanksi internasional yang membatasi akses mereka terhadap bahan bakar jet dan perlengkapan militer. Menurut Armed Conflict Location and Event Data Project, penggunaan paramotor pertama kali tercatat pada Desember 2024. Laporan lain menyebut, junta mendapat pasokan drone baru dari China dan bantuan teknis dari Rusia guna memperkuat kemampuan serangan udara.

Dilansir dari The Independent, seorang pengunjuk rasa berusia 30 tahun mengatakan kepada Reuters bahwa pada awalnya ia mengira seluruh bagian bawah tubuhnya telah terputus, namun setelah menyentuhnya ia menyadari bahwa kakinya masih ada. Ia menyebut serangan itu sebagai pembunuhan massal oleh militer.

Ko Thant, petugas informasi PDF Chaung-U, mengatakan militer telah menggunakan paramotor untuk mengebom wilayah itu sekitar enam kali sebelum insiden Bon To.

3. Dunia kecam serangan dan desak perlindungan warga Myanmar

Bendera PBB (Denelson83, Zscout370 ve Madden, Public domain, via Wikimedia Commons)
Bendera PBB (Denelson83, Zscout370 ve Madden, Public domain, via Wikimedia Commons)

Amnesty International mengutuk serangan tersebut dan menyerukan perlindungan segera bagi warga sipil Myanmar.

“Laporan mengerikan yang muncul dari lapangan di Myanmar tengah setelah serangan malam hari pada hari Senin harus menjadi panggilan bangun yang mengerikan bahwa warga sipil di Myanmar membutuhkan perlindungan segera,” bunyi pernyataan Amnesty, dikutip dari NBC News.

Organisasi itu menilai penggunaan paralayang oleh militer menunjukkan pola kekerasan sistematis terhadap warga sipil.

Peneliti Myanmar dari Amnesty International, Joe Freeman, meminta Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) meningkatkan tekanan terhadap junta. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sekitar 40 persen penduduk Myanmar kini membutuhkan bantuan kemanusiaan. Sejak kudeta 2021, lebih dari 7.300 orang dilaporkan tewas akibat tindakan pasukan keamanan terhadap warga sipil.

Militer Myanmar membantah telah menargetkan warga sipil. Namun, serangan di Bon To dipandang sebagai bagian dari upaya menekan perlawanan menjelang pemilu Desember 2025, yang dinilai tidak bebas dan tidak adil. Sementara itu, pekan lalu, etnis Muslim Rohingya menghadiri pertemuan tingkat tinggi di PBB untuk menyerukan tindakan global mencegah pembunuhan massal dan memperjuangkan hak hidup mereka yang setara.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us

Latest in News

See More

CEK FAKTA: TNI Cegat Pelaku Begal dan Tabrak Lari di Tol Kebon Jeruk?

09 Okt 2025, 07:21 WIBNews