Kenapa Korsel dan Korut Tak Pernah Akur? Ini Sejarahnya!

- Pembagian Semenanjung Korea pasca-Perang Dunia II
- Perang Korea dan tidak adanya perjanjian damai
- Perbedaan ideologi dan sistem pemerintahan
Konflik antara Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade, menjadikannya salah satu ketegangan geopolitik paling lama di dunia. Meski dunia telah berubah, kedua negara masih secara teknis berperang sejak Perang Korea berakhir hanya dengan gencatan senjata pada 1953, bukan perjanjian damai.
Upaya rekonsiliasi sesekali memang terjadi, seperti pertemuan puncak pada 2018 yang sempat mencuri perhatian dunia. Namun, gesekan kembali muncul akibat program nuklir Korut, provokasi militer, dan perbedaan ideologi yang semakin dalam. Lantas, apa sebenarnya yang membuat dua saudara ini tak kunjung berdamai?
1. Pembagian Semenanjung Korea pasca-Perang Dunia II

Sebelum terbagi, Korea merupakan satu bangsa yang panjang sejarahnya di bawah dinasti Goryeo dan Joseon. Setelah Jepang angkat kaki pada akhir Perang Dunia II, Uni Soviet dan Amerika Serikat (AS) sepakat membagi semenanjung itu di garis lintang ke-38 untuk sementara waktu. Soviet memengaruhi utara, sementara AS mendukung selatan, dilansir dari Bloomberg.
Namun, pembagian sementara itu berubah menjadi permanen karena memanasnya Perang Dingin. Republik Korea berdiri di selatan pada Agustus 1948 di bawah Syngman Rhee, sedangkan Korut membentuk Republik Demokratik Rakyat Korea pada September di bawah Kim Il Sung.
Akibatnya, keluarga dan masyarakat terpisah oleh batas politik dan ideologis. Pemisahan inilah yang menjadi dasar konflik panjang tanpa adanya reunifikasi alami di kemudian hari.
2. Perang Korea dan tidak adanya perjanjian damai

Perang Korea pecah pada Juni 1950 ketika Korut menyerbu Korsel untuk menyatukan semenanjung di bawah kekuasaan gaya Soviet. AS memimpin pasukan PBB untuk membantu Korsel, sementara China mengirim bala bantuan bagi Korut. Dalam tiga tahun, sekitar tiga juta orang tewas, sebagian besar warga sipil.
Dilansir dari National Geographic, meskipun gencatan senjata ditandatangani pada 27 Juli 1953 oleh Korut, China, dan AS, Korsel menolak menandatanganinya karena tidak ingin membenarkan pembagian semenanjung.
Sejak saat itu, tidak ada perjanjian damai resmi. Kondisi ini membuat Korsel dan Korut tetap dalam status perang, menghambat pertukaran lintas batas dan memisahkan keluarga selama puluhan tahun.
3. Perbedaan ideologi dan sistem pemerintahan

Korsel berkembang menjadi negara demokrasi industri yang makmur. Ekonominya mampu menghasilkan lebih banyak dalam enam hari dibandingkan output tahunan Korut, meskipun populasi hanya dua kali lipat. Dengan pendidikan unggul, budaya populer global seperti K-Pop, dan produk teknologi canggih, Korsel mencatat PDB per kapita sekitar 33 ribu dolar AS pada 2023.
Di sisi lain, Korut menjadi negara otoriter yang terisolasi di bawah kendali Kim Jong Un. Ekonomi berbasis komando membuat warganya bergantung pada negara, dengan PDB per kapita hanya sekitar 1.000 dolar AS.
4. Program nuklir Korut

Kim menjadikan pengembangan senjata nuklir sebagai prioritas nasional. Ia memperluas persenjataan dan memodernisasi rudal, meski terkena sanksi internasional. Para pengamat menilai kebijakan ini menjadi semacam asuransi politik agar rezimnya tak digulingkan dari luar.
Dilansir dari Britanica, Korut secara resmi mengakui kepemilikan senjata nuklir pada 2005 dan melakukan uji coba pertama pada 2006, disusul percobaan ketiga pada 2013. Klaim mereka tentang uji bom hidrogen pada 2016 diragukan karena efek seismiknya menunjukkan ledakan kecil.
Langkah itu memicu penempatan sistem pertahanan rudal THAAD oleh AS dan Korsel di Seongju pada 2016. Uji coba rudal balistik antarbenua pada 2017 pun meningkatkan kekhawatiran global, bahkan setelah adanya kesepakatan denuklirisasi sementara pada 2018.
5. Adanya provokasi militer

Meski perang besar tak lagi terjadi, berbagai serangan kecil terus memperkeruh hubungan. Korut disebut memulai banyak provokasi, termasuk upaya pembunuhan Presiden Korsel Park Chung-Hee pada 1968 dan pemboman di Rangoon tahun 1983. Bahkan, pada 1987, pesawat Korsel diledakkan di udara oleh agen Korut.
Pulau Yeonpyeong di Laut Kuning menjadi titik panas pada 2010. Artileri Korut menewaskan empat orang Korsel, termasuk dua warga sipil. Enam bulan sebelumnya, kapal perang Cheonan tenggelam akibat torpedo yang diduga diluncurkan dari utara, menewaskan 46 pelaut.
Insiden Yeonpyeong mendorong Korsel meningkatkan kesiagaan militernya. Momen itu dianggap salah satu ketegangan paling serius sejak perang, meski sempat diwarnai reunian keluarga lintas batas beberapa waktu sebelumnya.
6. Kultus kepribadian dan kontrol ketat di Korut
Dinasti Kim membangun sistem kekuasaan berbasis kultus kepribadian selama tiga generasi. Kim Jong Un, cucu Kim Il Sung, bahkan mulai memperkenalkan putrinya, Kim Ju Ae, ke publik sebagai simbol kelanjutan kekuasaan keluarga.
Media Korut menggambarkan Kim sebagai sosok ayah pelindung, sementara warga dipaksa menunjukkan loyalitas mutlak. Pendapat berbeda bisa berujung hukuman berat, bahkan penjara bagi tiga generasi keluarga.
Sebuah survei pada 2024 terhadap ribuan pembelot menunjukkan hanya 44 persen yang masih ingin Kim berkuasa. Namun, upaya kudeta nyaris mustahil karena sistem pengawasan ketat dan dukungan eksternal seperti bantuan pangan dari Rusia.
7. Peran kekuatan eksternal

Korsel dan Korut sejak awal menjadi ajang tarik-menarik kekuatan besar. AS dan Uni Soviet membagi pengaruh pasca-Perang Dunia II, sedangkan China ikut turun tangan membantu Korut saat perang meletus pada 1950.
China juga membantu mengakhiri kelaparan besar di Korut pada 1990-an yang menewaskan ratusan ribu orang. Di sisi lain, AS memperkuat aliansi militernya dengan Korsel dan menuntut kenaikan biaya kehadiran pasukan.
Rusia kini muncul kembali dalam permainan. Negara itu memberi bantuan makanan dan bahan bakar ke Korut sebagai imbalan atas pasokan senjata untuk perang Ukraina, yang membantu menstabilkan ekonomi Pyongyang.
Sejarah panjang ini menunjukkan satu hal, selama kekuatan besar masih bermain di balik layar, perdamaian di Semenanjung Korea tampaknya akan tetap menjadi impian yang jauh.