Laporan PBB Ungkap Ada Lonjakan Jumlah Ladang Opium di Myanmar

- Harga opium melonjak, memicu minat petani
- Aliran heroin Myanmar bergerak ke pasar luar negeri
- Ekspansi ladang opium memicu kekhawatiran masa depan pasar narkoba
Jakarta, IDN Times – Ladang opium di Myanmar mencatat rekor tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Lahan yang digunakan untuk tanaman itu meningkat 17 persen, dari 45.200 hektare pada 2024 menjadi 53.100 hektare pada 2025 dalam tren beruntun sejak kudeta 2021. Data ini dirilis Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) pada Rabu (3/12/2025) melalui Myanmar Opium Survey 2025.
Dampaknya terlihat cepat karena Myanmar kembali muncul sebagai produsen opium terkemuka yang diketahui secara global. Pergeseran posisi terjadi setelah Afghanistan mengalami penurunan output yang sangat tajam dalam beberapa tahun terakhir, dilansir dari Anadolu Agency.
1. Harga opium yang melonjak memicu minat petani

Nilai jual opium di tingkat petani kini meroket dan menjadi magnet utama bagi masyarakat pedesaan. Satu kilogram opium segar dihargai 329 dolar AS (setara Rp5,46 juta) dari sebelumnya 145 dolar AS (setara Rp2,40 juta) pada 2019.
Tren perluasan lahan terjadi bersamaan dengan produktivitas yang tak ikut terangkat. UNODC menilai kondisi keamanan yang memburuk membuat petani sulit mengelola tanaman hingga panen optimal, sehingga hasil per hektare tak bertambah.
“Didorong oleh konflik yang semakin intens, kebutuhan untuk bertahan hidup, dan daya tarik harga yang terus meningkat,” ujar Delphine Schantz, perwakilan UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, dikutip dari Al Jazeera.
Ia melihat petani di berbagai wilayah semakin mengandalkan opium sebagai jalan keluar. Menurutnya, situasi tersebut menggambarkan ketidakpastian yang melebar akibat perang berkelanjutan dan krisis sosial-ekonomi.
2. Aliran heroin Myanmar mulai bergerak ke pasar luar negeri

UNODC menemukan sinyal bahwa produksi heroin Myanmar mulai mengalir menuju pasar internasional. Banyak wilayah yang sebelumnya mengandalkan pasokan dari Afghanistan didorong mencari sumber baru karena kelangkaan yang berlanjut.
Pada periode 2024 hingga awal 2025, otoritas menyita sekitar 60 kilogram heroin yang diduga berasal dari Myanmar dan kawasan sekitarnya. Barang-barang itu ditemukan pada penumpang pesawat dari Thailand menuju Uni Eropa, menurut Badan Narkoba Uni Eropa (EUDA).
3. Ekspansi ladang memicu kekhawatiran masa depan pasar narkoba

Delphine Schantz, menilai ekspansi besar ini menandai kebangkitan kembali ekonomi opium di Myanmar dalam beberapa tahun terakhir. Ia menyebut dinamika tersebut berpotensi berkembang lebih jauh apabila kondisi tak berubah.
“Peningkatan yang kita lihat dalam setahun terakhir ini akan memiliki implikasi signifikan bagi masa depan Myanmar,” tegas Schantz.
Ia menambahkan bahwa perkembangan di negara itu akan mempengaruhi pergerakan pasar narkoba, baik di kawasan maupun di luar wilayah tersebut, sehingga membutuhkan tindakan cepat.



















